Cerita Dewasa:
Pacar Temanku 01
Sengaja aku menyamarkan nama-nama yang tertulis di dalam kisahku ini untuk menjaga segala kemungkinan adanya orang-orang yang ingin mendapatkan keuntungan dari kejadian ini, saya memohon agar alamat e-mail ini disamarkan. Disamping itu aku juga takut kalau-kalau temen, pacar, juga temen pacarku yang secara langsung terlibat dalam kejadian ini malah bisa menjadi bumerang untuk menuntutku.
Kejadian ini berawal sekitar bulan September 1999 yang lalu. Tanggal berapa tepatnya aku sudah lupa. Aku mempunyai seorang teman yang sangat dekat denganku, sebut saja namanya Heri. Aku dan Heri sama-sama kuliah di kota Y pada sebuah universitas swasta yang sama pula. Karena kami satu kampus, maka kami sering bertemu baik waktu kuliah maupun di luar lingkungan kampus.
Begitu akrabnya kami sampai urusan mencari cewek pun kami sering pergi berdua. Hingga suatu saat Heri bener-bener jatuh cinta dengan seorang gadis yang juga kuliah di salah satu akademi di kota Y juga, hubungan kami jadi agak renggang. Entahlah sejak berpacaran dengan Erika, nama pacarnya Heri itu, Heri begitu cemburuan. Memang harus kuakui kalau Erika memang termasuk cantik. Disamping itu Erika memang terlalu cantik untuk ukuran temanku, Heri itu. Padahal kalau menurutku, sih adalah hal yang biasa kalau cowok jelek pacarnya cantik. Kuharap temen-temen pembaca juga setuju.
Kukatakan Erika cantik bukanlah penilaianku secara subjektif. Teman-temanku yang lain juga bilang begitu. Bagi kaum lelaki yang memandang mata Erika boleh jadi langsung birahi. Percaya atau tidak mata Erika begitu sayu seolah-olah minta digituin ditambah lagi dengan bibirnya yang seksi dan suka digigit-gigit kalau Erika sedang gemes. Tapi memang Erika cewek matre. Dasarnya aku berkata demikian karena sebelum pacaran dengan Heri, Erika punya pacar yang jauh lebih ganteng dari temanku, Heri. Erika juga pernah bilang kepadaku kalau lebih baik cowok nggak usah ganteng tapi kaya dibanding cowok ganteng tapi kere. Nah, lho..
Pagi itu aku kebetulan ada perlu sama Heri mengenai masalah kuliah. Aku mengendarai sepeda motor menuju kost Heri yang jaraknya kira-kira 2 km dari kontrakanku. Sesampainya di kost Heri, aku melihat garasi tempat mobil Heri biasa diparkir dalam keadaan kosong yang menandakan Heri sedang keluar. Namun aku tidak mengurungkan niatku untuk bertemu dengan Heri.
Setelah aku memarkir sepeda motor teman yang kupinjam, aku masuk menuju ruang tamu yang pada saat itu pintunya dalam keadaan terbuka langsung menuju ke kamar Heri. Di dalam rumah itu ada 4 kamar dan kamar Heri yang paling pojok. Masing-masing kamar kelihatan tertutup pertanda tidak ada kehidupan di dalam rumah itu. Aku ingin menulis pesan di pintu kamar Heri karena memang aku sangat perlu dengannya. Samar-samar terdengar suara televisi dari dalam kamar Heri pertanda ada seseorang di dalam kamarnya. Aku memastikan kalau yang di dalam kamar itu adalah Erika, pacar Heri. Aku mengetuk pintu perlahan sambil memanggil nama temanku. Tidak beberapa lama kemudian pintu dibuka kira-kira sekepalan tangan dan kulihat wajah Erika nongol dari celah pintu yang terbuka.
"Eh, Mas Doni.. Herinya kuliah Mas," jawabnya sebelum aku bertanya. Entah mengapa pikiranku jadi negatif ketika menatap mata Erika yang sayu itu. Aku sambil tersenyum menatapnya.
"Jam berapa pulangnya, Ka?" tanyaku sekedar berbasa-basi.
"Mungkin jam 2 nanti, tapi mungkin bisa lebih lama, soalnya Heri sering molor sih waktunya,"� jawabnya agak kesal.
Saat itu kira-kira jam 10 pagi berarti Heri pulang kira-kira 4 atau 5 jam lagi, pikirku nakal.
Aku mencoba mencari bahan pembicaraan yang kira-kira bisa memperpanjang obrolan kami agar aku bisa lebih dekat dengannya. Agak lama aku terdiam. Aku memandang matanya, bibirnya yang basah. Bibirnya yang dipoles warna merah menambah sensual bibirnya. Semakin lama aku melihatnya semakin aku terangsang. Sungguh, jantungku deg-degan saat itu.Mata Erika tidak berkedip sekejap pun membalas tatapan mataku.
"Anak-anak ke mana semua, Ka?" tanyaku menanyakan anak-anak kost yang lain setelah agak lama kami terdiam.
"Mas Doni mau cari Heri atau.." kata-katanya terputus tapi aku bisa menerjemahkan kelanjutan kalimatnya dari senyuman di bibirnya.
Akhirnya aku memutuskan untuk to the point aja.
"Aku juga pengen ketemu denganmu, Ka!" jawabku berpura-pura.
Dia tertawa pelan, "Mas Doni kenapa, sih?" Dia memandangku.
"Boleh aku masuk, Ka? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu," jawabku lagi.
"Sebentar, ya Mas Don, kamarnya berantakan!"
Erika lalu menutup pintu di depanku. Tidak beberapa lama berselang pintu terbuka kembali lalu dia mempersilakan aku masuk ke dalam kamar. Aku duduk di atas kasur yang digelar di atas lantai. Erika masih sibuk membereskan pakaian-pakaian yang bertebaran di atas sandaran kursi belajar. Aku menatap tubuh Erika yang membelakangiku. Saat itu dia mengenakan kaos ketat warna kuning yang memperlihatkan pangkal lengannya yang mulus. Aku memandang pinggulnya yang ditutup oleh celana pendek. Tungkainya panjang serta pahanya bulat dan mulus. Kemaluanku jadi tegang memandang semuanya ditambah khayalanku seandainya aku membelai-belai kedua pangkal pahanya.
Kemudian Erika duduk di sampingku. Lututnya ditekuk sehingga celananya agak naik ke atas membuat pahanya semakin terpampang lebar. Kali ini tanpa malu-malu aku menatapnya dengan sepengetahuan Erika. Dia mencoba menarik turun agak ke bawah ujung celananya untuk menutupi pahanya yang sedang kunikmati.
"Mas Doni mau bicara apa, sih?" katanya tiba-tiba.
Saat itu otakku berpikir cepat, aku takut kalau sebenarnya aku tidak punya bahan pembicaraan yang berarti dengannya. Soalnya dalam pikiranku saat itu cuma khayalan-khayalan untuk ngentot dengannya.
"Mmm.. Ka.. aku beberapa hari ini sering bermimpi," kataku berbohong. Entah dari mana aku mendapatkan kalimat itu, aku sendiri tidak tahu tetapi aku merasa agak tenang dengan pernyataan itu.
"Mimpi tentang apa, Mas?" Kelihatannya dia begitu serius menangapiku dilihat dari caranya memandangku.
"Tentang kamu, Ka," jawabku pelan.
Bukannya terkejut, malah sebaliknya dia tertawa mendengar bualanku. Sampai-sampai Erika menutup mulutnya agar suara tawanya tidak terdengar terlalu keras.
"Emangnya Mas Doni mimpi apa sama aku?" tanyanya penasaran.
"Ya.. biasalah, kamu juga pasti tahu," jawabku sambil tertunduk.
Tiba-tiba dia memegang tanganku. Aku benar-benar terkejut lalu menolehnya.
"Mas Doni ini ada-ada saja, Mas Doni kan sudah punya pacar, lagian aku juga kan sudah punya pacar, masa masih mau mimpi-mimpiin orang lain?"
"Makanya aku juga bingung, Ka. Lagian kalaupun bisa aku sebenarnya nggak ingin bermimpi tentang kamu, Ka," jawabku.
Kami sama-sama terdiam. Kuremas jemari tangannya lalu perlahan kuangkat menuju bibirku. Dia memperhatikanku pada saat aku melabuhkan ciuman mesra ke punggung tangannya. Aku menggeser posisi dudukku agar lebih dekat dengan tubuhnya. Aku memandangi wajahnya. Mata kami berpandangan. Wajahku perlahan mendekati wajahnya, mencari bibirnya, semakin dekat dan tiba-tiba wajahnya berpaling sehingga mulutku bendarat di pipinya yang mulus. Kedua tanganku kini bergerak aktif memeluk tubuhnya.
Tangan kananku menggapai dagunya lalu mengarahkan wajahnya berhadapan dengan wajahku. Kuraup mulutnya seketika dengan mulutku. Erika menggeliat pelan sambil menyebutkan namaku.
"Mas Don, cukup Mas!" tangannya mencoba mendorong dadaku untuk menghentikan kegiatanku.
Aku menghentikan aksiku lalu pura-pura meminta maaf kepadanya.
"Maafin aku, Ka.. aku nggak sanggup lagi jika setiap malam memimpikan dirimu."
Aku pura-pura menunduk lagi seolah-olah menyesali perbuatanku.
"Aku mengerti Mas Don, Aku juga nggak bisa menyalahkan Mas Doni karena mimpi itu."
Aku menatap wajahnya lagi. Ada semacam kesedihan di wajahnya hanya saja aku tak tahu apa penyebabnya. Pipinya masih kelihatan memerah bekas cumbuanku tadi.
"Aku juga ingin membantu Mas Doni agar tidak terlalu memikirkanku, tapi.."� kalimatnya terputus. Dalam hati aku tersenyum dengan kalimat ingin membantu yang diucapkannya.
"Ka, aku cuma ingin pergi berdua denganmu, sekali saja.. agar aku bener-bener bisa melupakanmu," kataku memohon.
"Kita kan sama-sama sudah punya pacar, Mas Don, nanti kalau ketahuan gimana?"
� Nah, kalau sudah sampai disini aku merasa mendapat angin. Kesimpulannya dia mau asal jangan sampai ketahuan sama pacarnya. Batinku tertawa penuh kemenangan.
"Seandainya ketahuan aku akan bertanggung jawab, Ka" setelah itu aku memeluknya lagi. Dan kali ini dia benar-benar pasrah dalam pelukanku. Malah tangannya ikut mambalas memeluk tubuhku. Telapak tanganku perlahan mengelus punggungnya dengan mesra sementara bibirku tidak tinggal diam menciumi pipi lalu turun ke lehernya yang jenjang. Erika mendesah. Kuciumi kulitnya dengan penuh nafsu. Mulutku meraup bibirnya. Erika diam saja. Kulumat bibirnya lalu kujulurkan lidahku perlahan seiring mulutnya mempersilakan lidahku untuk menjelajah rongga mulutnya. Nafasnya mulai tidak teratur ketika lidahku memilin lidahnya.
Kesempatan ini kugunakan untuk membelai buah dadanya. Perlahan telapak tanganku kutarik dari punggungnya melalui ketiaknya. Tanpa berhenti membelai telapak tanganku kini sudah berada pada sisi buah dadanya. Aku benar-benar berahi saat itu. Apalagi aku sudah sering membayangkan kesempatan seperti saat ini bersamanya.
Kini telapak tanganku sudah berada di atas gundukan daging di atas dadanya. Besar juga pikirku, kalau tidak salah dari kebiasaan tanganku menggenggam toket cewekku mencoba menduga-duga toketnya ukuran 34. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, justru yang seperti ini yang paling nikmat.
Pada saat tanganku mulai meremas buah dadanya yang sebelah kanan tangan Erika mencoba menahan aksiku. Toketnya masih kencang dan padat membuatku semakin bernafsu untuk meremas-remasnya.
"Mas Don, jangan sekarang Mas.."
"Aku takut.." katanya berulang kali.
Aku juga merasa tindakanku saat itu betul-betul nekat, apalagi pintu kamar masih terbuka setengah. Jangan-jangan ada anak kost lain yang melihat perbuatan kami. Wah, bisa gawat jadinya.
Aku akhirnya berdiri dari tempat dudukku untuk menenangkan suasana. Soalnya bagaimanapun juga Erika sudah bisa kunikmati, tinggal menunggu waktu yang tepat. Lagian aku bukanlah tipe laki-laki yang suka terburu-buru dalam berbagai hal, khususnya dalam masalah seks.
Aku kini duduk di kursi menghadap Erika sedangkan Erika masih di atas kasur sambil memperbaiki rambut dan kaosnya kuningnya yang agak kusut.
"Mas Doni mau ngajakku ke mana, sih," Erika menatap wajahku.
"Pokoknya tempat di mana tidak ada orang yang bisa mengganggu ketenangan kita, Ka," jawabku sambil memandang permukaan dadanya yang baru saja kuremas-remas. Erika duduk sambil bersandar dengan kedua tangan di belakang untuk menahan tubuhnya. Toketnya jadi kelihatan menonjol. Aku memandang nakal ke arah buah dadanya sambil tersenyum. Kakinya diluruskan hingga menyentuh telapak kakiku.
"Tapi kalau ketahuan.. Mas Doni yang tanggung jawab, ya" katanya mencoba menuntut pernjelasanku lagi. Aku mengangguk.
"Terus kapan jalan-jalannya, Mas Don?" "Gimana kalo besok sore jam 4?" tanyaku.
"Ketemu di mana?" tanyanya penasaran.
"Kamu telepon aku dari wartel lalu aku akan menjemputmu di wartel itu, gimana?" tanyaku lagi.
Dia tersenyum menatapku, "Wah, Mas Doni ternyata pintar banget untuk urusan begituan."
Aku tertawa.
"Tapi aku nggak mau kalau Mas Doni nidurin aku," tegasnya.
Aku terkejut namun pura-pura mengiyakan, soalnya tadi aku merasa besok aku sudah bisa menikmati kehangatan tubuh Erika. Makanya besok sengaja aku memilih waktu sore hari karena aku ingin mengajaknya menginap. Namun aku diam saja, yang penting dia sudah mau aku ajak pergi, tinggal penyelesaiannya saja. Lagian ngapain dia mesti minta tanggung jawab seandainya aku tidak berbuat apa-apa dengannya, pikirku lagi. Ah, lihat besok sajalah.
Akhirnya aku mesti pulang ke rumah, di samping memang Erika juga menyuruhku segera pulang karena dia juga takut kalau tiba-tiba Heri memergoki kami sedang berdua di kamar. Namun sebelum pulang aku masih sempat menikmati bibir Erika sekali lagi waktu berdiri di samping pintu. Aku malah sempat menekan tubuh Erika hingga punggungnya bersandar di dinding. Kesempatan ini kugunakan untuk menekan kejantananku yang sedari tadi butuh penyaluran ke selangkangannya. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena situasinya memang tidak memungkinkan.
Di rumah aku gelisah terus. Kemaluanku tegang terus membayangkan apa yang telah dan bakal aku lakukan terhadap Erika. Akhirnya sore itu aku menjemput pacarku Era untuk melampiaskan nafsuku yang sudah tidak terkendali lagi. Bersama Era aku mencoba berfantasi sedang ngentot dengan Erika. Untung saja Era tidak tahu kalau sebenarnya aku sedang membayangkan Erika karena pada saat orgasme mulutku mengerang memanggil nama Erika.
Bersambung ke bagian 02