Cerita Dewasa:
Eksanti, The Riot - 2
Lanjutan dari bagian 1
Setelah selesai berkata dan tanpa menunggu jawabanku, Eksanti segera masuk lagi ke kamar mandi serta menguncinya dari dalam. Aku menjadi sangat terperangah melihat ke-sexy-an Eksanti tadi yang hanya mengenakan lilitan handuk. Sejenak aku sempat melihat belahan dadanya sedikit tersembul di balik handuk yang menutup dadanya, bahkan kulit pahanya yang putih serta mulus itu, tidak sempat tertutup dengan rapat. Tidak terasa, kejadian yang hanya sesaat itu ternyata sudah mampu membuat birahiku naik ke permukaan, sehingga kejantananku menjadi berdiri tegang. Setelah aku membuka baju dan celanaku, aku segera membungkus badanku dengan handuk yang diberikan Santi.
Aku mencari formulir laundry di dalam map hotel di sebelah meja TV, dan segera mengisinya. Tetapi karena aku tidak mengetahui jenis apa saja pakaian Eksanti yang akan dicuci, terpaksa aku membuka pakaian Eksanti yang digulungnya tadi, satu per satu. Ternyata selain blouse dan roknya, di dalam gulungan itu terdapat bra warna cream dengan renda-renda indah di sekitar cup-nya yang kira-kira mempunyai ukuran 32. Selain itu ada lagi celana dalam dari bahan satin yang sangat tipis berwarna cream, yang juga memilik renda-renda tak kalah indahnya. Melihat bra dan celana dalam ini, perasaanku menjadi semakin terangsang. Sebelum aku memasukkan ke dalam laundry bag, aku sempat mencium celana dalam dan branya beberapa saat. Tercium aroma keringat dan kewanitaannya dengan wangi khas yang sangat aku kenal. Puas melakukan itu, aku baru memanggil room boy untuk mengambil pakaian-pakaian kotor, dengan pesan singkat agar diantar kembali secepat mungkin, paling lambat besok pagi.
Aku mendengar kunci kamar mandi dibuka dan Eksanti muncul dengan rambut yang masih basah. Wajahnya terlihat segar, roman mukanya bertambah cantik dan semakin sensual. Apalagi badannya masih terlilit dengan handuknya, sehingga kembali membuat mataku sedikit terbelalak, karena menyaksikan belahan toketnya serta kulit pahanya yang putih mulus itu.
"Mas, ngelihatnya kok begitu amat sih?, iihh.., menakutkan sekali?, kata Eksanti sambil berjalan menuju kaca. "Mas, sekarang gantian deh, supaya badan Mas kembali segar, Mas mandi. 'Ntar Santi pesankan makan, Mas mau makan apa..?", lanjutnya lagi.
"Makan apa yaa..?, sahutku seakan bertanya, "Makan Santi.., aja deh", lanjutku santai sambil berjalan menuju kamar mandi.
"Haah.., makan apa Mas..?", sahut Santi sambil membelalakkan matanya dan mencubit tanganku ketika aku melewatinya.
"Aacch.., maaf Santi, Mas salah ngomong, maksudku, makan seperti yang Santi pesan saja", jawabku sambil tersenyum dan lalu masuk ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi, aku melihat makanan sudah siap di atas meja sofa yang ada di sudut kamar. Karena sudah merasa sangat lapar, kami langsung makan dengan hanya mengenakan lilitan handuk di badan. Sesekali aku melirik paha Eksanti yang selama makan di tumpangkan ke paha satunya. Aku berharap, siapa tahu Eksanti merubah posisi duduknya sehingga aku bisa melihat bagian dalam pahanya yang aku yakin tidak memakai celana dalam karena semua pakaiannya sedang dicuci. Tetapi harapanku tidak pernah terwujud sampai acara makan kami selesai.
Setelah selesai makan, kami meneruskan dengan mengobrol masalah demonstrasi tadi, masalah kesibukan pekerjaan, dan masalah-masalah lain sambil melihat acara TV. Sampai akhirnya aku melihat Eksanti menguap dan aku melihat jam sudah menunjukkan pukul 21.45 malam.
Segera saja aku mengatakan, "Santi.., sudah malam nih, kita tidur saja.., biar kita bisa bangun pagi-pagi dan terus pulang", kataku sambil mengambil satu bantal diantara tiga bantal yang ada di tempat tidur.
Tidak lupa aku juga menarik bed cover dan meletakkannya di atas Sofa.
Melihat tindakanku itu, segera saja Eksanti berkata, "Mas.., lho.., kok Mas tidur di situ?
"Nggak apa apa deh.., Santi.., tadi 'kan Mas sudah janji nggak akan nggangguin kamu. Lagi pula biar Santi bisa tidur lebih nyenyak", sahutku dengan tersenyum sambil merebahkan tubuhku di atas sofa dan menarik bed cover untuk menyelimuti badanku.
"Mas, tidur di sini saja, 'kan tempat tidurnya cukup lebar", kata Eksanti sambil tiduran dan masuk ke dalam selimut serta meletakkan salah satu bantal di tengah-tengah tempat tidur.
"Sudahlah Santi.., nggak apa-apa kok.., tidurlah", kataku sambil terus memejamkan mata.
Tetapi Eksanti masih tetap saja memaksa agar aku tidur di atas tempat tidur, "Mas, ayoo.., doong.., tidur di sini.., Santi 'kan jadi nggak enak", kata Eksanti lagi.
Karena terus dipaksa, akhirnya aku beranjak menuju ke tempat tidur. Aku memasukkan badanku ke dalam selimut sambil melepaskan lilitan handuk yang ada di tubuhku.
Aku mendengar suara Eksanti agak mengguman, "Tapi.., janji jangan nakal yaa.., Mas", sambil memiringkan badannya sehingga tidurnya membelakangiku.
Aku tidur dengan posisi telentang. Aku menumpangkan tangan kananku di atas bantal yang tadi diletakkan Eksanti di tengah kasur sebagai pemisah tubuh kami. Aku berusaha keras memejamkan mataku agar cepat bisa tertidur. Beberapa lama kemudian, ketika aku sudah hampir terlelap, tiba-tiba aku merasakan telapak tangan kananku ditimpa oleh tangan halus Eksanti. Tidurku menjadi agak terjaga dan aku terpaksa membuka mata sedikit. Aku melihat Eksanti telah tidur telentang juga. Karena sudah mengantuk sekali, aku membiarkan saja telapak tangan kirinya bertumpu di atas telapak tangan kananku, karena aku fikir Eksantipun sudah tertidur lelap. Tetapi beberapa saat kemudian, aku merasakan jari-jemari tangan Eksanti seperti mengelus telapak tanganku.
Mula-mula aku membiarkan saja dan aku tidak mengacuhkannya, karena aku beranggapan kalau orang tidur, kadang-kadang tangannya memang suka bergerak-gerak. Tetapi setelah aku rasakan beberapa saat, ternyata jari-jemari tangan Santi sekarang mulai memijat jari tanganku walaupun tidak terlalu keras. Ketika merasakan pijatan-pijatan halus di tanganku itu, rasa kantukku mendadak menjadi hilang, tetapi aku masih tetap berpura-pura seolah-olah masih lelap tertidur. Aku membiarkan jari-jemari lentik Eksanti meremasi jari tanganku. Makin lama remasan jemari Eksanti semakin agak keras, sehingga aku menjadi semakin yakin kalau sebenarnya Eksanti juga masih belum tertidur.
Sambil tetap memejamkan mataku, aku menarik nafas sedikit agak panjang. Aku menggerakkan dan memiringkan posisi tidurku menghadap ke arah Eksanti. Tangan kiriku aku jatuhkan di atas bantal pemisah, tetapi telapak tangannya sengaja aku jatuhkan perlahan tepat di atas toket Eksanti yang masih tertutup selimut rapat. Aku mengatur nafasku seolah aku sudah tertidur nyenyak, tetapi aku tidak bisa mengontrol kejantananku yang mulai berdiri. Eksanti kelihatannya mendiamkan saja posisi tanganku ini dan sama sekali tidak berusaha untuk menggeser telapak tanganku yang berada tepat di atas toketnya. Eksanti tetap saja melanjutkan remasan-remasan lembut jemarinya ke jari-jari tangan kananku, karena mungkin masih menyangka kalau aku sudah tertidur nyenyak. Sesekali aku tekankan telapak tangan kiriku pelan-pelan ke toketnya, tetapi masih saja Eksanti tidak bereaksi sehingga membuatku bertambah berani. Tekanan jari tanganku aku ubah menjadi remasan-remasan yang halus pada toketnya.
"Mas..?", tiba-tiba terdengar suara lemah Eksanti seraya memelukku, setelah ia membuang bantal pemisah ke atas lantai.
Momen indah ini tidak aku sia-siakan. Langsung saja aku memeluk erat tubuh Eksanti. Tanpa canggung lagi bibirku mulai mencium lembut bibirnya, dan ternyata Eksanti pun membalas. Eksanti begitu menggebu-gebu melumat bibirku disertai dengan juluran lidahnya ke dalam mulutku. Nafasnya mulai terdengar cepat, serta mulai tidak beraturan. Seperti pengalamanku sebelumnya, Eksanti begitu mudah terangsang oleh ciumanku, sehingga aku langsung meneruskan dengan menjilati leher jenjangnya disertai dengan melakukan gigitan-gigitan kecil disana. Tanganku mulai bergerilya dengan menelusupkan jemariku di balik selimutnya. Oocchh.. aku sudah tidak sabar ingin segera menyaksikan keindahan di baliknya, sehingga aku mempergunakan kesempatan yang ada untuk melepas selimut dan handuk yang menutupi tubuh kami berdua. Dengan kasar aku menarik kain selimut bagian atas tubuhnya itu ke samping. Maka tampaklah dua buah bukit indah dengan puting yang merah kecoklatan. Begitu bersih dan putih tubuhnya. Aku terpana sesaat dan kembali lidahku menjilati lehernya, lalu pelan-pelan turun ke arah dadanya. Eksanti mendengus perlahan sambil mengacak-acak rambutku. Ketika aku melingkar-lingkarkan lidahku di seputar puting toketnya, Eksanti makin keras melenguh.
Lenguhannya semakin membuat emosi jiwaku memuncak, "Hisaap.. Mas.. hisapp.. teruss.. aacchh..", ia mulai meracau merasakan nikmat.
Aku menyedot, menghisap putingnya, lalu seiring dengan makin memuncaknya birahi yang ia rasakan, aku menggigit putingnya dengan lembut. Mulut Eksanti semakin meracau, menggila, mendesah-desah tidak karuan.
Sementara itu, dibawah sana perlahan-lahan aku memasukkan jemari tanganku di balik kain selimutnya. Ooocch.., begitu halus bulu kewanitaannya dan aku bisa merasakan begitu basah belahan daging lembutnya. Aku kembali tidak sabar, kain selimut bagian bawah itu aku campakkan ke samping, sehingga tubuh Eksanti yang telanjang bulat segera tampak, begitu mulus dan putih kulitnya. Sejenak aku memandangi tubuh indahnya dengan tertegun, kini sudah tidak ada lagi bagian tubuh kami yang tertutup kain, kini kami berdua telah telanjang bulat tanpa selembar benang pun. Kepalaku kembali mendekat ke arahnya, dan aku segera menggigit-gigit kecil serta menjilati perutnya perlahan-lahan. Mulutku terus turun ke arah pangkal pahanya, lalu.. turun lagi sampai ke telapak kaki kiri dan kanan.
Aku membalikkan badannya hingga ia tengkurap, lalu dari belakang leher aku menjilati perlahan-lahan sambil menggigit kecil dan turun.. terus turun.., "Occhh.. Mass.. terus Mass.. och.. och.. enak Mass.." erang Eksanti disertai dengan remasan kasar telapak tangannya di atas kain seprei.
Bibirku terus merayap turun, lidahku menjilat-jilat dari punggung merayap melalui deretan tulang belakang, ke arah bukit pantatnya. Sampai di sana, lidahku kembali menjilat, menusuk, membasahi celah di sekitar anusnya, dan akhirnya mulutku menggigit gemas dua bongkah daging kenyal itu. Eksanti meregang.. menjerit kecil, menikmati sensasi nikmat yang aku berikan kepadanya.
Lalu tubuhnya kembali aku balik, hingga kini kepalaku tepat berada di daerah selangkangannya. Aku melihat dengan jelas bibir kewanitaannya telah memerah, basah berkilat-kilat terkena lendir birahinya. Pelan-pelan aku menjilati bagian pinggir kewanitaanya dengan gerakan melingkar di sepanjang bibirnya. Aku pun mulai membuka bibir kewanitaannya dengan kedua jemari tanganku, hinga tampaklah daging kecil di celah lepitannya yang tampak menegang berwarna merah. Perlahan-lahan aku mejilat itilnya, perlahan tapi pasti sambil aku gerakkan ujung-ujung lidahku naik turun di sepanjang garis celah kewanitaannya. Eksanti semakin mengerang, menghempaskan badannya ke kiri dan ke kanan sambil sesekali menjambak rambutku disertai teriakan-teriakan kecil.
Beberapa saat kemudian Eksanti mulai mengejang dan bergetar sambil meringis menahan sesuatu, "Acchh.. acchh.. Mass.. aku kelluuaar.." sambil menggigit bibirnya.
Bersambung ke bagian 3