Cerita Dewasa:
Nikmat Membawa Sengsara - 4
Wiwin memonyongkan bibirnya yang seksi.
"Males ngewe yach? Ya udah ngentot aja kalau begitu", katanya menggoda.
Tangannya mulai menyelusuri selangkanganku yang cuma terbalut sarung.
Aku tetap menggeleng, "Males ah", jawabku.
"Males ngentot? ya udah main emut ajah ya. Wiwin mau minum maninya Mas Nano sampai abis".
Tangannya sudah menyelusup ke dalam sarungku. Batang kemaluanku yang terbaring lemas diremas-remas dan dikocok dengan ahlinya. Dan seperti biasanya, aku mengalah. Dengan mendesah setengah malas, aku memelorotkan sarung dan celana dalamku.
Wiwin tertawa gembira, "Gitu doong Mas. Kan Wiwin sebentar lagi mau pergi Amsterdam. Kapan lagi kita menikmati seperti ini".
Dan tanpa basa basi lagi, dilahapnya batang kemaluanku sedalam-dalamnya, sehingga tiga perempat batangku melesak masuk mulutnya. Kurasakan kepala kemaluanku sudah menyentuh kerongkongannya.
Atok yang duduk di karpet tepat di sebelah dengkulku, memalingkan wajahnya dan memandang ke kepala Wiwin yang sedang terbenam di selangkanganku.
"Masuk sampai kerongkongan ya No? Enak ya?", aku hanya mengangguk.
Sungguh di antara kami tidak ada rasa malu lagi, saling berdiskusi dengan biasa begitu saat sedang bercinta.
"Ikutan yok. Daripada dingin-dingin, kita lanjutin pesta orgi semalam", ajakku.
Atok mengangguk dan berdiri menuju pinggul Wiwin. Dengan tenang dan profesional dibukanya bongkahan pantat Wiwin yang bahenol. Kemudian dijulurkannya lidahnya dan dijilatinya lubang pantat Wiwin dengan bersemangat. Tindakan yang mungkin dahulu tidak terbayangkan dan menjijikkan, sekarang sudah rutin kita lakukan berkat pelajaran si Wiwin. Setelah lubang itu basah, Atok berdiri dan mulai mengarahkan batang kemaluannya ke lubang pantat yang berkerut kemerahan itu. Sekali tekan, masuklah batang kemaluannya ke dalam pantat si Wiwin (itu memang lubang favorit si Atok).
Dia mulai menggoyangkan pantatnya naik turun, matanya merem melek merasakan kenikmatan yang entah sudah berapa puluh kali dirasakannya dalam dua bulan terakhir ini. Sedangkan mulut Wiwin mulai bergerak naik turun, mengulum kemaluanku yang juga sudah tegang. Setelah beberapa lama, aku melepaskan kulumannya dari kemaluanku.
Aku memerintahkan, "Win, isep bolaku dong. Jilatin lubang pantatnya sekalian."
Wiwin dengan patuh menurut, memasukkan bola kemaluanku ke mulutnya dan menyedot dengan kuat sehingga terdengar suara berkecipak.
Aku mulai terangsang berat, seperti biasanya. Kutarik-tarik rambut Wiwin yang ikal, dan tangannya kubimbing untuk memegang batang kemaluanku yang sudah tegak berdiri dan mengocoknya. Lidah Wiwin sekarang berpindah sasaran, mulai menjilati lubang pantatku dengan bersemangat. Nikmat sekali.
Sepanjang kami bermain tersebut, Dwi sama sekali tidak bergairah untuk ikut. Mungkin dia mulai bosan juga, setiap hari main seks seakan tidak ada habis-habisnya. Dia hanya memandang aktivitas kami selintas dan kembali memperhatikan sinetron di TV (pemainnya Meriam Bellina, yang ukuran dadanya kayaknya hampir sama dengan dada si Wiwin). Sebaliknya aku dan Atok semakin naik nafsunya, sehingga sofa tempat kami duduk terdengar berderit-derit. Kemaluanku dikulum lagi oleh Wiwin, disodokkan sedalam-dalamnya hingga mendesak ke dalam kerongkongannya. Sungguh wanita profesional dan penuh pengalaman, kalau wanita lain pasti sudah muntah-muntah karena tersedak.
Aku menggerakkan kepalaku ke depan dan ke belakang menahan nafsu. Mataku tertutup, sedangkan tanganku seperti biasa meremas-remas buah dada si Wiwin. Duuh.., seandainya bisa, kenikmatan harian macam begini jangan sampai pernah berakhir, pikirku. Coba, kalau main ke pelacuran, berapa duit harus habis karena ngentot tiap hari kaya begini, hayo? Belum lagi penyakitnya. Kan kalau Wiwin jelas bersih.
Bersih? apa betul?
Saat segala pikiran berseliweran di kepalaku dan ditambah nafsu yang membara karena sedotan-sedotan professional si Wiwin, samar-samar kudengar pintu depan berderit terbuka. Angin dingin menerpa masuk, seiring dengan suara deras hujan yang sedang mengguyur. Aku membuka mataku, dan kulihat Dwi dan Atok memandang ke pintu di belakang tubuhku dengan melongo. Aku cepat cepat menoleh ke belakang..
Itu si Roni, bekas pacar si Wiwin, yang sudah hampir dua bulan ini tidak pernah nongol di rumah kost ini. Dia memakai jas hujan yang basah kuyup. Dan di kepalanya yang juga basah kuyup, terpampang wajah yang menampakkan ekspresi sangat aneh, kaget dan keheranan.
Wiwin juga melihatnya, dan anehnya tampak dia sama sekali tidak kaget atau risih.
"Eeii, Bang Roni abangku sayang, tumben ke sini. Ayo masuk, gabung main yok. Lagi enak enaknya nih".
Katanya lucu, sambil menarik-narik dan memutar-mutar batang kemaluanku secara demonstratif. Sebaliknya, akulah yang jadi jengah luar biasa. Kulepaskan genggaman tangan Wiwin dari kemaluanku, dan mencoba menjelaskan pada Roni.
"Ron, aku..", suaraku tercekat di kerongkongan.
Kulihat Roni berdiri mematung. Tiba-tiba wajahnya yang tadinya menampakkan keheranan, kini berubah. Kukira akan kulihat ledakan kecemburuan, tetapi ternyata tidak. Kulihat wajahnya mengernyit, seakan menampakkan kengerian yang sangat. Tangannya bergetar, dan dia melempar setumpuk buku yang dibalut plastik supaya tidak kehujanan.
"Gua kesini cuman mau kembaliin diklat loe, No", katanya.
Setelah itu secepat kilat dia berbalik, membanting pintu dan menghilang di kegelapan malam berhujan. Samar-samar kudengar suara sepeda motor distarter dan bannya berdecit ketika berputar tiba-tiba dengan kecepatan tinggi.
Aku berdiri seperti patung, tetap memandang ke arah pintu yang sudah tertutup itu. Aku baru tersadar ketika mendengar suara tawa Wiwin.
"Heii.., kenapa kok berdiri kaya orang bego begitu? Sini dong Mas, terusin main emutnya, udah tanggung nih. Wiwin belum ngerasain mani sedikitpun hari ini nih".
Tapi aku menepis tangannya dengan cepat. Rasa jengah dan malu tadi menyadarkan aku bahwa tindakanku dan teman-temanku ini sudah keterlaluan. Aku cepat-cepat pergi ke kamarku, meninggalkan Wiwin dan Atok (yang kemaluannya masih menancap di pantat Wiwin) memandang kebingungan. Aku segera mematikan lampu dan menggelosor di dipanku.
Pagi harinya..
Aku keluar kamar dengan wajah kuyu, siap mandi untuk ke kampus. Waktu melewati ruang tamu, kulihat Wiwin, Atok dan Dwi sedang tidur di karpet, telanjang bulat (kayaknya si Dwi terangsang juga, menggantikan posisiku semalam). Wiwin tidur dengan kepalanya bertumpu di selangkangan Dwi, wajahnya setengah terbenam dalam kelebatan bulu kemaluan Dwi. Mulutnya setengah terbuka, dan di dalamnya terselip batang kemaluan Dwi yang sudah mengkerut. Di pinggir bibirnya masih kulihat mani mengering, tampaknya Dwi sudah menyemprot ke mulutnya habis-habisan semalam. Dan mereka langsung tidur, tanpa mengubah posisi terakhir mereka.
Aku menghela napas dan menggeleng. Dasar perek, pikirku. Sungguh luar biasa daya pikatnya, sehingga kami seperti tersihir dan mau saja melayani nafsu seksnya setiap hari. Aku keluar dan menstarter sepeda motorku menuju kampus.
Hanya sepuluh menit, aku sudah sampai ke halaman parkir kampus. Aku kaget ketika kulihat Roni berdiri di pinggir tempat parkir, jelas dia menungguku. Rasa jengah kembali menyergapku, aku pura-pura tidak melihatnya dan bergegas ke gedung rektorat yang letaknya tepat di depan pelataran parkir, diapit dua gedung kuliah yang menjulang tinggi (hayo tebak, aku ada di kampus mana). Dari sudut mataku kulihat Roni mengikuti. Aku pura-pura tetap tidak melihat, bergegas menuju ruang rektorat. Di lorong aku berbelok ke kiri, menuju ruang admnistrasi kampus. Tetapi di sana ternyata Roni sudah mencegat.
Dipegangnya tanganku dengan erat, "No, gua mau bicara".
Aku berusaha menyembunyikan rasa jengahku, "Masalah apa Ron?", tanyaku.
"Masalah semalam, masalah si Wiwin".
Aku mengutuk dalam hati. Apa lagi maunya?
Aku pura pura bersikap tegas.
"Ron, kayaknya kita harus menempatkan masalah sesuai proporsinya ya. Setahuku si Wiwin sudah bukan pacarmu lagi, jadi apapun yang dia lakukan itu hak dia penuh. Kamu tidak boleh cemburu".
Mendengar itu Roni menggelengkan kepalanya dengan keras.
"Cemburu apaan? Aku sama sekali tidak ada rasa cemburu lagi, No. Cuma aku kasihan sama kalian. Mau aku jelaskan?"
Aku mengangguk. Kami beriringan keluar dari gedung rektorat dan menuju kantin di kiri bangunan. Kami duduk dan memesan es jeruk. Roni mengocok sendok di gelasnya dan bertanya dengan suara bergetar.
"Udah berapa lama kalian lakukan yang kayak semalam itu No?", tanyanya.
Aku agak tersinggung, "Apa urusanmu sih Ron? setiap hari kek kami lakukan, itu urusan kami. Suka sama suka kok".
Mendengar jawabanku, anehnya Roni sama sekali tidak tersinggung. Malah di wajahnya terbersit pandangan kasihan.
"No, No, elo kan temen gua juga. Aku bertanya begitu bukan karena mau intervensi privacy kalian, tetapi untuk mengingatkan kalian bahwa si Wiwin itu kan sakit. Elo tahu sakit apa dia?", aku menggeleng.
"Sakit apa dia?", tanyaku.
Roni memandangku lekat-lekat.
"Jangan kaget No. sakitnya berat sekali, Acquired Immune Deficieny Syndrome. Tahu lu?"
"Nggak", kataku seperti orang bego (orang ekonomi macem aku mana tahu nama penyakit).
"Apa itu?".
Roni menghela napas.
"Acquired Immune Deficiency Syndrome. Kalau gua sebut singkatannya elo pasti kenal, AIDS".
Aku terlompat, "Ha? AIDS?" aku terdiam, seperti tidak bisa berkata-kata.
Akhirnya aku meledak.
"Elo ngaco Ron. Nggak mungkin. Elo cuman mau nakuti gua karena elo cemburu. Ya kan? Ya kan?", tanpa sadar aku mencondongkan tubuhku ke depan.
Beberapa mahasiswi di sebelah mejaku memandang tingkahku dan tersenyum-senyum mendengar kata-kataku yang cukup keras. Paling cowok lagi rebutan pacar, pikir mereka.
Roni menggelengkan kepalanya dengan keras.
"Demi Tuhan, No. aku tidak bohong. Dia itu ternyata sudah mengidap virus HIV bertahun-tahun yang lalu, tertular akibat permainan seks bebas dan pakai narkoba. Dua bulan lalu, dia mulai sakit. Batuk-batuk, panas, dikira sakit paru-paru biasa. Ternyata sakitnya sudah berkembang menjadi "full blown" AIDS. Batuknya itu adalah penyakit Pneumaticis Carinii, yang sering diidap penderita AIDS. Aku dengar kalau akhir-akhir ini sudah timbul bercak-bercak hitam di kulitnya. Bu Hidayat yang cerita lewat telepon, benar?"
Aku mengangguk. Mulutku terasa kering. Ternyata si Roni tetap memantau kondisi bekas kekasihnya itu.
"Itu penyakit kanker kulit, Sarcoma Kaposii. Dia benar-benar sakit parah, No. Dan kamu pasti tahu, AIDS sangat menular. Belum ada obatnya. Maka itu dia akan pergi ke Amsterdam, paling tidak di sana dia bisa dirawat lebih baik, sekedar memperpanjang hidupnya saja."
Aku makin kebingungan.
"Tetapi dia kan tahu penyakitnya Ron? Kalau tahu penyakitnya menular, kenapa dia masih saja mau main dengan cowok?".
Roni menghela napas, "Ha, itulah gilanya. Dia sangat dendam pada cowok-cowok yang telah menularinya dahulu, dan dia pernah histeris di rumah sakit, berteriak-teriak kalau dia mau menulari cowok lain sebanyak-banyaknya. Kukira waktu itu dia cuma bercanda doang, tetapi sungguh aku kaget melihat kalian kemarin main pesta seks dengan dia segitu gilanya. Pasti dia sudah merencanakan sebelumnya. Orang dia sebenarnya tidak hiperseks kok. Nafsunya biasa-biasa saja. Kalau dia melakukan seperti dengan kalian itu, tentu karena dia bermaksud menulari kalian semua".
Dia menerawang, "Untungnya gua tidak kena getahnya. Gua dulunya benar-benar mau serius dengan dia, makanya gua tidak mau main aneh-aneh, meskipun dia terus menggoda. Jadi waktu dia diketahui positip, gua bebas. Wong kita putus hubungan juga dengan baik-baik kok. Dia maklum alasanku tidak meneruskan hubungan itu karena sakitnya".
"Jadi, bagaimana denganku?", kataku, benar-benar seperti orang bengong.
Roni tertawa getir, "Lha, mana aku tahu kamu sudah ketularan atau belum? Ya cepat-cepat sajalah kalian berempat periksa ke dokter.
"Dia meneruskan tawanya, "Kalau nggak ketularan, ya syukur. Kalau ketularan, ya sudah mau apa. Tinggal menghitung umur saja. Toh, kalian juga sudah merasakan kenikmatannya, ya toh?"
Kepalaku terasa berputar. Kulihat Bapak dan Ibuku yang sudah tua, tetap bekerja membanting tulang di tokonya untuk mendapatkan dana kuliah untukku dan adik-adikku. Pandanganku beralih, pada tubuh seksi si Wiwin dan gayanya tiap pagi ketika membangunkanku dengan cara mengisap batang kemaluanku dan berkata dengan manja, "Selamat pagi, kontolku sayaang..".
Aku menunduk lemas. Pandanganku semakin lama semakin gelap.