Cerita Dewasa:
Eksanti, Love or Just Passion ? - 2
Lanjutan dari bagian 1
Aku mengangkat tubuh Eksanti dan kami pun berdiri berpelukan. Aku melepaskan blazer dan blouse-nya, kemudian menarik perlahan retsleting roknya. Aku menarik rok itu ke bawah, sehingga rok mininya terjatuh ke lantai. Eksanti masih asyik mengulum dan menciumi sekujur dada, punggung serta leherku sambil mengeluarkan suara yang tak beraturan dari mulutnya, "Hhhm.. aacchh.. mm.. aacchh.."
"Aku suka wangi parfummu, Mas", ujarnya manja, "..aku sudah lama kangen sama baunya, Mas". Jemari lentik tangannya masih terus menjelajahi dada, leher dan kadang turun ke perutku.
Saat itu aku sedang menciumi rambutnya sambil mengelus-elus lembut dadanya. Lalu kedua tanganku berpindah ke punggungnya dan aku membuka pengait bra-nya. Bra Eksanti pun langsung terjatuh ke lantai. Aku mengangkat dagu Eksanti yang sedang asyik menjelajahi dadaku.
Kami pun bertatapan, aku melihat nafas Eksanti mulai menderu. Dadanya naik turun seirama dan kedua toketnya terlihat mekar dengan indahnya. Sambil menatap wajahnya, aku mengelus-elus lembut kedua toketnya dengan gerakan memutar tanpa menyentuh kedua putingnya. Mulutku mulai menciumi mulutnya kembali dan perlahan-lahan turun ke bawah, ke dagu.., terus lidahku menjilati lehernya.., terus ke samping leher.. Aku mengulum pangkal lehernya sambil lidahku aktif menari-nari di sana. Lalu aku bergeser ke bawah telinganya.., lalu daun telinganya aku jilati sambil aku tekan lubang telinganya.., lalu aku kulum daun telinganya sambil aku gigit-gigit halus. Eksanti hanya bisa mendesah-desah sambil tangannya meremas punggung dan kejantananku dari balik celanaku. "aah gelii.. eenaak.. Mass..", katanya.
Kedua tanganku masih asyik mengelus-elus lembut kedua toketnya dengan gerakan memutar dan kadang meremas kedua toketnya, tetapi putingnya tetap tidak aku sentuh.
"Mas, remas puting Santi, please..", rengeknya manja dengan berusaha menarik kedua tanganku.
"No, not yet. Sabar Santi", kataku sambil mengelus dadanya berputar, tetap menghindari kedua putingnya. Kembali aku memagut bibirnya. Eksanti pun memeluk leherku dan berkonsentrasi menikmati ciuman kami untuk kesekian kalinya. Mukaku turun sambil terus menciumi pipi, dagu, lalu turun ke leher jenjangnya. Eksanti menarik kepalanya ke belakang sehingga aku dapat lebih menikmati lehernya yang mulus itu dengan leluasa. Berlanjut, sentuhan bibirku turun ke bahu, dada, masih menghindari putingnya, lalu langsung menuju ke perutnya yang ramping. Lidahku menjilati sekitar perut dengan gerakan melingkar dan akhirnya aku menjilati pusarnya.
"Aacch.. geelii.. Mass..", erang Eksanti menikmati sensasi bibir dan lidahku.
Kedua tanganku mengelus lutut hingga pangkal pahanya dan terus naik turun memberikan rangsangan yang semakin meninggikan sensasi yang dirasakan Eksanti. Aku berlutut sambil menengadah ke atas. Aku menatap mata Eksanti yang nampak mulai liar bernafsu. Dengan kedua tangan, aku menyelipkan kedua telunjukku dari celah samping celana dalamnya yang berwarna hitam berenda transparan itu. Aku menarik celana dalamnya ke bawah, dan dengan bantuan Eksanti yang mengangkat kakinya satu persatu, maka terlepaslah celana dalam itu dari tubuh indahnya.
Aku mundur beberapa langkah dan menatap sekujur tubuh indah yang ada di hadapanku. Tampaklah seorang wanita yang cantik dan sexy, dengan hanya mengenakan stocking halter, stocking dan sepatu hak tinggi yang semuanya berwarna hitam. Sungguh kontras dengan warna kulit tubuhnya yang seputih susu, dengan putingnya berwarna pink kecoklatan.
"Kamu cantik sekali, Santi", kataku berterus terang. Mataku bergantian menatap dari ujung kaki hingga ke ujung rambutnya. Tak terasa beberapa detik berlalu.
"Ayo, kita ke ranjang Santi, Mas..", kata Eksanti sambil melangkah kepadaku.
"Stop! berhenti di situ!" aku berkata dengan tiba-tiba.
Ia pun berhenti dan kembali berdiri tegak. "Putar tubuhmu, Santi", kataku memohon. Ia pun berputar sambil tersenyum menggoda.
Aku mendesah, "..lagi.., kali ini pelan-pelan yaa..!"
Eksanti pun berputar-putar perlahan. Tangannya bergerak meremas kedua toketnya, lantas naik dan akhirnya kedua tangannya memanjang tinggi di atas kepalanya, dengan kedua punggung tangan yang disatukan.
"Kamu suka, Mas?", tanyanya sambil tersenyum menggoda.
Aku tidak menjawab tetapi malah melepaskan sepatu, celana dan kaos kakiku. Eksanti memandangi kejantananku yang telah berdiri perkasa di dalam celana dalamku.
"Hmm.. kejantananmu sudah tegang tuh Mas", kata Eksanti sambil mendelikkan matanya menatap sebuah garis tebal yang membekas di atas celana dalamku.
Aku mendatangi Eksanti sambil terus menatap matanya. Aku menarik dan mendudukkan tubuhnya di atas sofa, lalu aku membuka lebar kedua pahanya. Kini aku berlutut di hadapannya, aku menatap mesra kedua bola matanya, lalu aku ganti menatap kedua puting toketnya. Aku bertanya pelan, "Kamu ingin aku melakukannya sekarang, Santi?"
"Yes, please, Mas..", jawab Eksanti tersenyum senang sambil menggelinjang.
Aku menciumi bibirnya, lidah kami saling menari-nari. Kadang aku menyedot lidahnya, kadang aku menggigit halus lidah bawahnya. Kepala kami bergerak ke kiri ke kanan, bergantian. Terkadang keluar suara aneh yang erotis, prt-prrt.. mmnguuh.. mm.. dari bibir kami yang saling menyedot keras. Kembali kedua tanganku meremas dan mengitari toketnya dengan tetap menghindari kedua putingnya. Aku mengarahkan mulutku ke dadanya dan lidahku mulai mengitari dada kanannya. Aku menjilat di sekeliling dada kanannya, sambil terkadang aku mencium halus dan terkadang aku menyeret bibirku di atas dadanya. Hal yang sama aku ulang di dada kirinya. Aku menatap mata Eksanti, lalu perlahan aku mengarahkan bibirku ke puting kanannya. Aku membuka bibirku, lidahku pun terjulur keluar dan menyapu halus puting kanan Eksanti.
Eksanti yang telah lama menantikan kenikmatan ini melenguh panjang, "Oocchh.. oochh.. eennaak.. geelii.. oocch.. Mas eennaak.." Lidahku masih terus menjilati dengan perlahan-lahan puting kanannya. "Eeecchh.. hmm.. ehmm.. eennaak.."
Puting kanannya berdiri tegak. Aku memindahkan bibirku ke puting kirinya, kembali aku menjilat halus, Eksanti pun melenguh panjang, "eecchh.."
Aku mencium dada kirinya, sambil mengemut puting kirinya dan aku memutar-mutarkan lidahku di sana. Kadang naik turun merangsang puting kirinya. Dan tak lama kemudian saat aku asyik mengulum puting kirinya, punggung Eksanti terangkat melengkung dan bergetar mengejang sambil berteriak dengan nada yang tinggi, "Aaacchh..". Lalu tertahan sebentar dan turun lemas. Rupanya Eksanti mampu mengalami orgasme hanya dengan rangsangan di toketnya.
Tanpa henti, aku terus saja mengulum puting kirinya, yang masih sangat tegang. Lalu aku beralih mengulum puting kanannya, sambil meremas dada kirinya. Lenguhan Eksanti sudah tidak karuan lagi. Rupanya puting adalah salah satu daerah paling sensitifnya. Aku pun sangat senang menikmati dada yang indah, kenyal, kencang berwarna putih, dengan semburat pink kecoklatan di sekitar putingnya itu. Aku terus menikmati kedua toket Eksanti. Kadang satu persatu, kadang bergantian kiri-kanan sambil aku geleng-gelengkan kepalaku. Tidak lupa aku menciumi belahan dadanya, sambil menjilat-jilat lembut di sana. Nikmat sekali melihat Eksanti puas, dan nampaknya ia mulai menuju klimaksnya lagi.
Tangan kananku turun, aku menyusuri perut, aku mengusap-usap lembut, turun ke rambut kewanitaannya. Jemari tanganku mengitari kewanitaannya dengan mengelus di sekitar pangkal pahanya. Aku terus mengelus dengan telapak tangan naik turun di atas kewanitaannya, lalu ujung jari tengahku memutar di pinggir celahnya. Setelah puluhan kali putaran jari telunjukku, akhirnya Eksanti mulai bergetar dan menggoyang pinggulnya. Ujung jari tanganku bergerak naik turun di atas kewanitaannya dari rambut kewanitaan hingga ke lubang anusnya, naik turun berkali-kali. Tak lama kemudian tubuh Eksanti bergetar dan makin mengejang. Tidak ada gerakan yang aku hentikan, malah jari tanganku mencari-cari sebuah daging kecil berwarna merah di celah lipatannya, yang aku tahu akan semakin meningkatkan sensasi orgasmenya. Akhirnya aku temukan clitorisnya itu. Aku menekan dan aku mengelus lembut dengan telapak ujung jari tengahku. "Aaacchh.. aacchh.. aku keluarr..," teriak Eksanti.
Ciuman di puting maupun elusan di clitorisnya tidak aku hentikan. Agak lama juga Eksanti berteriak, kadang mendesah, melenguh, hingga akhirnya tubuhnya kembali lemas dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Gila kamu Mas, sudah dua kali Santi klimaks, padahal kejantananmu belum ngapa-ngapain," katanya.
Aku menghentikan ciumanku, aku menatap kembali wajahnya. "Santai saja Santi, yang barusan kamu alami, baru awalnya saja.." Lalu aku kembali mencium belahan dada, turun ke perut, ke rambut kewanitaannya, terus ke celah kewanitaannya, pangkal pahanya, dan kembali lagi ke celah kewanitaannya.
Eksanti membuka pahanya lebih lebar sehingga aku dapat lebih leluasa menikmati seluruh lipatan-lipatan kewanitaannya. Kewanitaannya yang putih dengan bibir yang berwarna merah kecoklatan masih tertutup rapat oleh rimbun hitam bulu-bulu pubisnya. Aku menciumi, lalu dengan lidah aku membelah (bagai membelah bibir mulut yang tertutup) dan akhirnya terbukalah bibir kewanitaannya. Aku menciumi sambil menjilatinya, kadang naik turun, kadang menyamping, kadang melingkar, lalu aku berkonsentrasi menjilati daging kecil merahnya yang kecil tapi tampak tegang mengeras. "Uuucchh.. aacchh..," Eksanti melenguh.
Lalu tiba giliran kedua bibir kewanitaannya yang aku jilati. Terkadang aku mengulum, terkadang aku menyedot hingga keduanya memerah. Aku menjilati rongga dalam kewanitaannya yang sudah sangat basah, memutar, kanan kiri dan kadang aku menusuk-nusuk dengan ujung lidahku yang sengaja aku bulatkan. Aku menusuk, menekan dan aku memutar lidahku di lubang kewanitaannya. Tidak aku perhatikan lagi lenguhan Eksanti, karena terus terang aku pun sangat terangsang, memberikan rasa nikmat yang luar biasa pada Eksanti. Tangan Eksanti mulai mendorong kepalaku ke arah lubang kewanitaannya sambil pinggulnya bergoyang dengan desah yang tak beraturan lagi, "Uucch.. aacchh.. eennaakk.. aacchh.."
Akhirnya Eksanti pun mencapai klimaksnya lagi sambil menarik kepalaku. Ia membenamkan kepalaku ke arah kewanitaannya, sambil mendekap dengan kedua pahanya cukup kencang. Aku terpaksa menggapai-gapai udara yang hangat tipis, lalu tubuh Eksanti kembali mengejang, tertahan, lalu terjatuh. Aku terus menjilati lelehan cairan hangat cintanya itu, dan langsung menelan penuh rasa nikmat.
Kemudian telunjukku aku jilati dan aku basahi dengan air liurku. Aku mulai memasukkan jariku ke dalam lubang kewanitaannya. Aku menggerakkannya maju mundur, memutar, lalu aku membengkokkan supaya bisa lebih merangsang G-spot kewanitaan Eksanti. Rangsangan maju mundur, masih terus.. dan terus.. aku berikan dengan jari kanan telunjukku. Tangan kiriku meremas dan mengelus-elus lembut toket kanannya, sementara lidahku mengulum dan menjilati clitorisnya.
"Lebih cepat lagi Mas, please..", lenguh Eksanti yang aku jawab dengan memasukkan jari tengahku. Sekarang ada dua jari yang keluar masuk di dalam kewanitaan Eksanti. Kecepatan gerakannya berirama, mula-mula lambat, lalu makin cepat dan makin cepat lagi. Beberapa menit kemudian, aku melihat perut Eksanti menegang dan aku makin mempercepat gerakan jari tanganku, "Te.. te.. tee.. ruu.. ruu.. ruus.. faa.. faa..assterr," desah Eksanti. Aku makin mempercepat gerakan jari tanganku hingga akhirnya Eksanti mencapai klimaksnya yang ketiga, yang sedemikian tinggi sensasinya. Kedua jemariku terasa diurut-urut dan diremas dinding-dinding kewanitaan dengan kerasnya. Aku tidak segera menghentikan kegiatanku, sehingga sensasi Eksanti itu cukup bertahan lama dirasakannya. Lalu lidahku kembali menjilati kewanitaannya dan aku menelan sisa-sisa cairan nikmat Eksanti hingga bersih. Setelah orgasme Eksanti berlalu, aku merebahkan kepalaku di dadanya.
"Aacch.. Mas, kamu masih seperti yang dulu. Mas selalu bisa memuaskan hasratku", kata Eksanti sambil mengelus kepalaku. "..kini giliran Santi yang akan memuaskanmu, Mas", katanya melanjutkan.
Eksanti lalu menggeserkan tubuhnya, ia hendak memberikan felatio kepadaku. Tetapi aku lebih dulu bangkit berdiri dengan kejantananku yang telah mengacung gagah. Aku mundur beberapa langkah hingga akhirnya badanku bersender pada dinding. Eksanti sempat terperangah menyaksikan tingkahku, tetapi kemudian ia mengerti. Dengan menengadah seperti harimau lapar, kedua tangan dan lutut Eksanti bertumpu menyentuh lantai. Wajahnya tersenyum menggoda, namun matanya memicing gemas dengan penuh nafsu. Perlahan-lahan Eksanti bergerak ke arahku. Ia menijilati dengkulku yang kanan, menciuminya lalu menjilatinya lagi. Bergantian, kini dengkul kiriku yang dijilatinya.
Bersambung ke bagian 3