Cerita Dewasa:
Serigala Lapar, Trilogi 1: The Clan - 6
Sesuai dengan janji, tepat pukul 12 aku sudah duduk di bangku warung gado-gado Boplo yang sangat terkenal di seantero Jakarta itu. Harganya selangit. Untuk seporsi gado-gadonya Rendi mesti membayar Rp. 25 ribu. Bandingkan dengan tukang gado-gado di rumah, hanya Rp. 2,500 saja. Sepuluh kalinya. Tiba-tiba saat menunggu pesanan, masuklah sebuah Lancer sedan dan parkir tepat di samping mobil Rendi. Nampak Rendi terkejut. Dia berkata bahwa itu adalah mobil teman kantornya.
Kemudian kulihat ada 2 orang turun dari mobil itu. Wow, cukup keren juga mereka. Tampak Rendi menjadi gugup tetapi tidak bisa mengelak. Teman-temannya itu langsung pula menatap dan mendatangi kami.
"Hai, ketemu di sini, nih.. asyik juga yaa..".
Dan mau tidak mau Rendi terpaksa memperkenalkan mereka padaku. Yang bernama Burhan, cukup jangkung dengan kulitnya yang agak gelap. Yang satunya bernama Wijaya, nampaknya keturunan chinese, tubuhnya berotot seperti binaragawan. Mereka tersenyum ramah padaku. Saat Rendi menyebutkan bahwa aku adalah Bu Adit mereka tidak terlalu terkeju. Hanya nampak mata-mata mereka yang nakal seakan ingin melahap tubuhku.
"Kami pernah melihat Ibu di tempat Pak Anggoro, boss kami, saat ada pesta tunangan putranya", begitu mereka menjelaskan mengenai kenalnya mereka padaku.
Aku mencoba mengingat-ingatnya. Kemudian mereka mencari tempat duduk yang agak berjauhan dari tempat duduk kami. Aku setuju saja saat Rendi mengusulkan untuk kembali ke villa di Bogor itu. Dan kami segera bergegas agar punya waktu lebih panjang untuk berasyik masyuk di sana.
Saat kami beranjak meninggalkan warung itu, kami melambaikan tangan untuk teman-teman Rendi yang juga teman suamiku itu. Mereka membalasnya, dan kulihat mata Burhan yang nakal mengernyitkan alisnya padaku dan melepas senyumannya. Ah, dia nampak jantan juga. Dengan kulitnya yang agak gelap, seperti apa ya kontolnya, pikiran gatalku lewat begitu saja.
Sepanjang jalan Rendi lebih banyak diam. Mungkin dia agak panik hingga hilang "mood"nya. Tapi aku berusaha menenangkannya. Biasanya antar lelaki tak akan membocorkan rahasia temannya. Kutepuk pundaknya supaya tenang. Sepertinya dia ingin menunda kencan selingkuh ini, tetapi tampaknya dia malu kalau akan dianggap sebagai pengecut olehku. Lagian mana aku mau..!! Persetan dengan teman-teman Rendi yang juga teman suamiku itu..
Jam 2 tepat kami sudah memasuki halaman villa. Pak Samin membukakan pintu halaman. Rendi memakirkan mobilnya di tempat parkir kemarin. Kami turun dari mobil dan aku menaiki tangga villa, sementara Rendi menemui Pak Samin sebentar. Begitu memasuki kamar kembali, sebagaimana kami memasuki kamar yang sama kemarin, kami langsung berpagutan. Kali ini kami saling menikmati pagutan-pagutan kami cukup lama. Nampaknya Rendi sudah tak lagi terpengaruh dengan teman-temannya tadi.
Aku buka saja ikat pinggangnya, kancing celananya, resluitingnya. Aku lepaskan celananya dan kulemparkan ke bangku yang ada di kamar itu. Begitu pula kemejanya hingga yang tertinggal hanya celana dalamnya. Hal yang amat kusukai adalah melihat Rendi setengah telanjang seperti itu. Sebelum aku sendiri melucuti kaos oblongku, Rendi menciumi pusarku yang sejak tadi telah begitu menarik libidonya. Aku menikmati sepenuh sanubariku. Kuelus-elus kepala Rendi yang bibrrnya sedang melumat pusarku dengan lembut itu. Kemudian hanya dengan membuka blus dan BH-ku sehingga nampak toketku yang lepas dan belum menanggalkan celana jeansku, kudorong Rendi ke ranjang. Aku terobsesi mengulangi seperti kemarin, menciumi lehernya, menjilati dan menggigit dadanya dan lembah harum ketiaknya.
Rendi hanya pasrah dan membiarkanku menikmati apa yang ingin kunikmati dari tubuhnya. Dia hanya mendesah dan setiap kali mengelus kepalaku sambil menyibakkan rambutku agar tidak mengganggu kesenanganku.
Tiba-tiba terdengar pintu halaman villa berderit. Ada yang datang. Rendi buru-buru bangkit. Kali ini kulihat dia sangat terkejut. Aku menyusul bangkit untuk melihat siapa yang datang. Ternyata itu mobil Lancer sedan. Rupanya Burhan dan Wijaya sengaja membuntuti kami. Rendi memukul tangannya sendiri menahan kekesalannya. Aku sendiri berusaha untuk tenang. Kulihat Burhan dan Wijaya turun dari mobil dan menaiki tangga villa. Mereka langsung duduk di berandanya. Rendi yang sangat kesal buru-buru berpakaian, tidak terlampau rapi dan dengan terpaksa dia keluar. Dia menemui kedua temannya tersebut.
"Huh, kamu mbuntuti aku ya..", nada bicaranya nampak sangat tidak bersahabat.
"Ah, nggak kok, kami memang sering main ke villa Pak Anggoro ini. Ya Wid, omong-omong bagi-bagi dong", Burhan menyahut sewotnya Rendi dan dengan enteng menyampaikan keinginannya untuk ikut mendapatkan bagian nikmat.
Aku tahu pasti yang dimaksud adalah minta kesempatan agar mereka juga kebagian ikut menikmati tubuhku sementara suaminya yang teman mereka sendiri sedang bertugas keluar kota. Hatiku sendiri berdesir mendengar omongan mereka ini. Aku mencoba mengintip dari celah pintu. Nampak Rendi sedang menempelkan jari telunjuknya di bibirnya, maksudnya agar tidak terlampau keras bicara karena takut aku akan mendengarnya.
"Memangnya kenapa..? Mungkin dia suka juga lho kita main bertiga..", kurang ajar orang-orang ini.
Kuperhatikan mereka semuanya. Rupanya mereka semua ini adalah serigala-serigala yang lapar. Lama mereka saling berbisik tanpa nampak ada jalan keluar. Tiba-tiba ada yang menjalar dalam darahku. Sesuatu yang sangat menggairahkan. Sesuatu yang mungkin akan memberikan sensasi bagiku. Exciting dan sensasional yang akan membakar seluruh atom dalam tubuhku. Aku membayangkan seandainya saja mereka bertiga ini telanjang bulat, dengan kontol-kontol mereka yang ngaceng berat mengerumuniku yang terjongkok di lantai, sambil tangan-tangan mereka mengocok kontolnya masing-masing dan bersiap sewaktu-waktu sperma mereka muncrat menghujani muka, rambut dan mulutku. Aku akan menganga selebar-lebarnya agar sperma-sperma mereka tidak terbuang sia-sia. Aku jadi "horny" sekali.
Kutengok lagi mereka dari celah pintu. Mereka belum juga kunjung mendapatkan solusi. Sementara libidoku mendesak nafsu birahiku yang datang akibat bayanganku tentang mereka yang telanjang dan menyemprotku dengan spermanya yang muncrat-muncrat. Aku tak lagi mampu sabar menunggu. Aku kuakkan saja pintu kamar itu. Dan mereka semua, Rendi, Burhan dan Wijaya serentak menengok ke pintu.
Aku, dengan dada yang telah terbuka langsung membuat mereka tertegun. Entah kaget, entah heran entah bernafsu. Dan aku, sambil melepas senyuman, kunikmati adegan saat para serigala lapar itu memelototkan matanya kepadaku. Aku sama sekali tidak perlu berbicara. Aku diam saja dengan senyumku sementara tanganku bergerak, jariku memilin-milin sendiri putingku, aku sengaja mendesah keras agar mereka mendengar desahanku dan terangsang.
"Mmass.. oohh..", aku merasa sangat kehausan.
Dan sangat menginginkan mereka bertiga segera melahapku. Aku merelakan diri dan tubuhku untuk mereka kunyah-kunyah. Aku ingin sekali gigi mereka segera menancap pada pahaku yang lembut, pada bokongku yang menurut orang sangat sintal, pada buah dadaku yang ranum, pada puting susuku. Aku heran juga, darimana munculnya sebuah keberanian dan kenekadan yang -bukan main- telah kulakukan di depan teman-teman suamiku ini. Aku heran juga akan hadirnya dengan tiba-tiba nafsu "exhibitionist" ini. Kupertontonkan pada mereka bertiga dadaku yang terbuka dengan toketku berikut puting-puting-nya yang sangat ranum ini. Kudengar suara Rendi yang tersendat.
"Maarr..".
Tetapi juga suara-suara yang lain. Bukan pembicaraan. Itu adalah suara dengusan Burhan atau Wijaya. Yang kemudian kulihat adalah Burhan mendahului langkah Rendi mendekatiku. Dia meraihku dan menutup pintu kamar tidur. Dia pagut bibirku. Dia pagut leher, pundak maupun toketku dengan liar. Dia kesetanan tanpa kontrol. Dia dorong aku ke ranjang. Aku di gumulinya. Dia remasinya bokongku, dia lumat-lumat toketku berikut putingnya.
Kudengar pintu kamar digedor-gedor dan akhirnya terbuka. Wijaya masuk kamar. Dia juga langsung merangsekku. Mungkin dia juga merasa bahwa haknya sama dengan Burhan untuk juga menggelutiku saat ini. Aku sangat menikmati keroyokan mereka. Untuk menyatakan "welcome"-ku, aku mendesis dan mendesah sambil tanganku menggapai ikat pinggang Burhan dan melepasnya. Kubuka celananya, kurogoh kontolnya. Demikian pula kulakukan yang sama pada Wijaya. Mereka kini sudah setengah telanjang. Dan selebihnya mereka sendiri yang melucuti dirinya hingga telanjang bulat.
Burhan dengan penuh ketidaksabaran melucuti celana jeansku. Dan Wijaya turut membantu melepasnya dari kaki-kakiku. Dengan sekali renggut celana dalamku juga langsung dilepas oleh Burhan. Ditariknya kakiku sehingga tubuhku berposisi diagonal dengan pantatku berada di tepian ranjang. Burhan berdiri di arah kakiku. Dia kuakkan selangkanganku dan dengan jelasnya menyaksikan nonokku yang mestinya sangat menantang kontolnya. Kemudian tangan kanannya meraih kaki kiriku, diangkatnya ke arah pundaknya. Dan selanjutnya dengan ketangkasan yang dimilikinya dan dengan serta merta dia meraih kontolnya yang telah ngaceng berat untuk di masukkan ke liang kemaluanku.
Kusaksikan sebentar kontolnya yang hitam. Wow, ukurannya sama persis dengan besar dan panjangnya kontol Rendi.
Aku bergetar. Aku merindukan kontol seperti itu sejak meninggalkan warung gado-gado tadi. Sayangnya kontol Rendi tak jadi menyerangku karena adanya gangguan dari Burhan dan Wijaya ini. Tapi bagiku akhirnya tak ada bedanya. Kontol Rendi atau kontol Burhan sama saja. Aku akan memberikan kepuasan seksual untuk pemilik kontol-kontol indah ini. Kontol Burhan baru saja menempel ke liang memekku ketika Wijaya yang juga telah telanjang bulat naik ke ranjang dan mengangkangiku. Dia berjongkok persis di atas dadaku. Dan kontolnya yang juga ternyata sebesar para koleganya, si Rendi dan Burhan, sudah mengacung keras dan kuat, berkilatan batang dan kepalanya tepat di depan wajahku. Sungguh sangat menggairahkan dan sensasional. Telanjang bulat dikeroyok teman-teman suamiku yang sama-sama berkontol besar, yang satu berusaha menembus nonokku, yang lain minta dijilati dan diisap.
Aku tidak tahu di mana Rendi. Mungkin dia mengambek. Aku membayangkan dia sedang bengong duduk di beranda. Aku sungguh merasa sangat beruntung. Aneh juga, hal yang beberapa saat sebelumnya hanya dapat kubayangkan, sekarang telah benar-benar kualami. Burhan mengentot nonokku. Kontolnya yang hitam besar dan sangat legit kurasakan saat menembus memekku yang telah membasah sejak bersama Rendi tadi. Sementara itu, Wijaya yang ngentot mulutku meracau.
"Ayoo, Bu Adit.. isepp Buu.. ayyoo isep Bu Aditt.. besar mana sama kontol Pak Aditt heehh..", racauannya persis seperti orang kemasukkan setan pohon randu di belakang kampung di desa kelahiranku.
Kontol Wijaya ini sangat lezat. Kujilati akarnya yang menggunung tepat di bawah pangkal batang dan biji pelirnya. Dan dengan setengah merangkak, Wijaya menusukkan kontol putih besarnya merangsek mulutku. Dan pelan-pelan memompanya. Entah dimana aku saat ini. Yang dapat kurasakan hanyalah kenikmatan yang melayang-layang akibat tusukan kontol Burhan di memekku dan rangsekan kontol Wijaya di mulutku. Dan saat lamat-lamat kudengar rintihan tak tertahankan dari mulut Burhan. Itu pertanda bahwa tak lama lagi spermanya pasti muncrat. Dengan serta merta kutarik tangan Burhan dan kuajak naik ke ranjang dan sementara kulepaskan kuluman mulutku pada kontol Wijaya. Aku ingin agar Burhan menumpahkan spermanya ke mulutku. Aku ingin meminum spermanya. Burhan dan Wijaya secara berbarengan tahu apa yang kuinginkan dan mereka melayaniku dengan baik. Wijaya turun menggantikan peran Burhan mengentot memekku dan Burhan naik untuk mengocok kontolnya sendiri dan memuncratkan spermanya ke mulutku.