Cerita Dewasa:
Ketika Nafsu Menjadi Raja 01
Tokoh pria utama:
1. Agus (Sang Peramal)
Profil: Tampan dengan sepasang mata yang bagus dan tatapan yang tajam
Alat Vital: 14 cm, diameter 4.5 cm
Keistimewaan: tegang setiap saat
Umur: 26 tahun
Pekerjaan: Pengangguran (bank tempat bekerja dilikuidasi)
2. Peter (Sang Cendikiawan)
Profil: Mirip Andy Lau, bintang film Hongkong
Alat Vital: 12 cm, diameter 5 cm
Keistimewaan: bisa mengatur waktu ejakulasi
Umur: 27 tahun
Pekerjaan: Sales Manager di perusahaan Jepang
3. Andi (Pembersih Kolong)
Profil: Sangat menarik, selalu tersenyum
Alat Vital: 17 cm, diameter 3 cm
Keistimewaan: jilatan sejuta kenikmatan
Umur: 27 tahun
Pekerjaan: Pemilik toko komputer di Mangga Dua
4. Gunawan (Sang Perjaka)
Profil: Polos dan jujur
Alat Vital: 13 cm, diameter 4 cm
Keistimewaan: belum ketahuan soalnya masih perjaka
Umur: 20 tahun
Pekerjaan: Mahasiswa
Tokoh pria non utama: Janto, Stephen, Charles, Boy.
Jakarta, 4 September 1999
Malam ini adalah malam minggu terakhir saya di Jakarta (Senin tanggal 6 September 1999 saya akan berangkat ke UK). Jam dinding sudah menunjukkan 21.20. Dengan tidak sabaran saya berjalan mondar-mandir di ruang tamu kost saya. Saya sudah janjian dengan ketujuh teman saya untuk pergi ke karaoke malam sebagai acara perpisahan. Dengan kaos ketat Calvin Klein berwarna hitam dan jeans biru saya terlihat sangat rapi dan menarik, apalagi bau parfum saya begitu semerbak.
"Tuutt.. Tuutt.." terdengar klakson mobil dan disusul teriakan,
"Guss.. Ayo.." Dari suaranya saya tahu itu adalah Gunawan, sang Perjaka. Dengan buru-buru saya berlari ke kamar untuk mengambil HP dan kunci kamar saya. Sesudah itu saya mengunci pintu kamar dan bergegas keluar. Di halaman kost saya terlihat dua mobil, satu Toyota Corola warna putih yang merupakan milik si Peter dan satu Suzuki Esteem milik si Herry (bukan tokoh utama). Saya melihat si mobilnya si Herry sudah berisi empat orang, jadi saya menuju mobilnya si Peter. "Wow.. cakep nih.. kayaknya ini malam yang tidak terlupakan.." komentar si Andi yang duduk di samping Peter yang mengemudikan mobil ketika saya masuk. Perkataan tanpa ia sadari akan menjadi kenyataan.
Kemudian meluncurlah kedua mobil tersebut ke daerah Mangga Besar. Berdasarkan petunjuk Peter dan ramalan saya (hihi..) kami sepakat untuk pergi ke karaoke di hotel transit Mangga Besar (saya lupa Mangga Besar berapa, tetapi kalau dari Mangga Besar mengarah ke Gunung Sahari, belok ke sebelah kanan sekitar 50 meter). Dalam perjalanan kami bercanda apa saja, dari pacar baru Gunawan yang sangat montok, petualangan baru si Andi, sampai ke tamu Jepangnya si Peter yang bernafsu dengan wanita Indonesia.
Tanpa terasa sampailah kami di depan hotel tersebut. Terlihat keempat teman saya yang lainnya sudah menunggu. Setelah memarkir mobil, Peter memimpin kami ke dalam (soalnya dia sudah sering ke sini). kami berjalan melewati lobby hotel, terlihat beberapa cewek cantik yang berpakaian seronok.
"Wah.. adik gua udah berontak nih.." kata saya yang dilanjuti dengan tertawa teman-teman saya. Memang saya terkenal dengan nafsu saya yang besar, prinsip saya ya mirip semboyannya lampu Philips Tegang Terus.
Di ujung lorong tersebut, Peter meminta kami menunggu, dia berbelok ke kanan untuk mencari manager karaoke untuk mem-booking kamar. Iseng-iseng saya berjalan ke lorong sebelah kiri. Di ruangan pertama terdapat cafetaria atau semacam restoran. Di dalamnya, amboi.. banyak cewek cantik yang berpakaian seksi. Benar-benar cantik. Saya mulai menghitung satu, dua, tiga.. setidaknya ada 13 cewek yang cakepnya selangit.
"Cakep ya?" tanya si Andi.
"Kalau loe mau disini juga ada cewek yang langsung bisa dipakai, harganya 250 ribu berikut kamarnya," seperti germo saja itu anak.
"Nggak mau ah.." jawab saya.
Saya memang tidak suka membayar untuk urusan bercinta, bukannya pelit tetapi saya tidak mau bercinta dengan sembarang perempuan. Harus perempuan yang saya cinta dan dianya juga harus cinta dengan saya. Dengan begitu pasti lebih nikmat kan? Asyiknya saya gampang sekali jatuh cinta (hahaha..).
"Ayo.. teman-teman, ikut gua.. gua udah booking kamar yang cukup untuk 20 orang," seru si Peter. Terpaksa deh saya mengalihkan perhatian saya dari belasan wanita di cafetaria tersebut. Seperti anak ayam, kami mengikuti Peter ke kamar karaoke. Ruangan karaoke tersebut cukup luas, terdapat sofa yang besar dan di dekat pintu masuk ruangan tersebut saya melihat ada toilet yang cukup bonafide. Asyik juga.
"silakan duduk," kata seorang tante dengan dandanannya yang menor.
Saya menebak ini pasti germonya yang biasa dipanggil Mami.
"Mau pesan berapa cewek?" tanya si Mami.
"Pesan.." pikir saya, seperti barang saja.
"Tolong panggilin 8 orang cewek dong!" jawab si Peter dengan bahasa yang lebih halus. Memang teman saya ini tutur bahasanya sangat sopan dan halus. Tetapi kami-kami ini semuanya terlihat sopan dan polos lho. Jarang ada cewek yang bisa menebak kalau kami-kami ini adalah cowok yang suka memuaskan wanita.
"Seperti biasa, cariin gua yang rada tomboi dan berambut pendek," lanjut si Peter, memang dia ini sukanya dengan perempuan yang rada tomboi.
Kemudian si Mami keluar dan dalam waktu singkat dia sudah kembali dengan membawa 6 orang perempuan. Dengan cepat mata saya menyapu mereka yang datang, cakep-cakep. Mereka masuk dan berkenalan dengan kami. Saya sih tidak memperhatikan nama mereka, yang penting saat itu adalah rok pendek tanpa stocking (hihi..). Teman-teman tahu dong maksud saya? Di ruangan gelap seperti karaoke ini mau apa sih cari yang cakep banget kalau dianya pakai baju yang tebal dan celana jeans. Dengan cepat otak dan mata saya bekerja. Kemudian saya melambaikan tangan saya ke seorang perempuan yang bernama Dian. Dia memakai rok super mini, kaos ketat tanpa lengan, dan tanpa stocking. Saya meminta dia duduk di sebelah saya. Akhirnya kelima teman saya sudah mendapatkan pasangan mereka, tinggal si Boy dan Gunawan yang masih terlihat ragu-ragu. Tetapi karena hanya 6 perempuan, terpaksa deh merekanya menunggu. Tetapi tidak lama kemudian si Mami sudah kembali lagi dengan dua orang perempuan. Satu seorang perempuan yang baru datang tersebut sangat menarik perhatian saya (saya sedikit menyesal sudah memilih Dian), namanya Bella. Postur tubuhnya kecil (sekitar 155 cm) dan agak montok. Namun ada yang misterius di tatapan matanya. Oh ya, saya paling suka memperhatikan mata seseorang, buat saya mata bisa menceritakan kondisi orang tersebut.
Kami bisa tahu orang tersebut lagi sedih, senang, terangsang, orgasme (hehe..), dan sebagainya. Tatapan si Bella ini begitu liar dan menantang. Akhirnya Gunawan memilih si Bella. Sementara itu saya terus menerus memperhatikan si Bella. Saya begitu penasaran. Setelah itu kami bernyanyi riuh rendah. Suara si Peter yang sangat bagus bercampur baur dengan suaranya Andi yang sumbang. Pokoknya ribut sekali. Sambil bernyanyi kami bercanda dan mengobrol ke sana ke mari. Dari situ saya tahu Dian berasal dari Bandung sementara wanita lain ada yang berasal dari Medan, Padang, Surabaya, Batam, dan sebagainya. Ternyata prinsip Bhineka Tunggal Ika berlaku juga di sini. Si Bella sendiri berasal dari Jakarta. Tetapi beda dengan yang lain, si Bella ini lebih pendiam. Karena Gunawan sendiri tidak begitu pintar bergaul, jadinya mereka hanya diam-diaman. Saya sendiri sudah bercanda kemana-mana dengan si Dian, kadang tersenggol buah dadanya yang montok, kadang saya meletakkan tangan saya di pahanya yang mulus.
Setelah hampir dua jam bernyanyi, saya melihat Bella berjalan keluar. Dengan alasan lapar, saya menyusul dia keluar. Terlihat Bella berjalan menuju lobby dan merokok di sofa yang terletak dekat pintu masuk.
"Hai.. ngapain disini?" tanya saya.
Bella menatap tajam ke saya.
"Panas di dalam.. mau cari udara seger," jawab dia. Setelah itu saya memancing dia dengan pertanyaan-pertanyaan seputar dia, tetapi jawaban dia hanya singkat-singkat saja, saya memutar otak.
"Boleh melihat telapak tangan loe?" tanya saya, akhirnya saya memutuskan untuk mengeluarkan ilmu ramalan saya.
"Mau ngapain?" tanya dia cuek.
"Mau melihat nasib loe.." jawab saya.
Bella memandang saya dengan ragu-ragu, kemudian dia menyodorkan tangan kanannya.
"Yang sebelah kiri.." kata saya.
Kemudian dia menjulurkan telapak tangan kirinya ke saya. Saya pegang tangannya. Hmm.. sangat halus. Kemudian saya memperhatikan garis-garis tangannya. Jujur saja, saat itu saya begitu kaget, garis tangan begitu amburadul yang menandakan kehidupan dia yang juga amburadul.
Saya memperhatikan garis cintanya, kemudian saya berkata,
"Kamu sangat susah mencintai seseorang dengan sungguh-sungguh, tetapi baru-baru kamu menemukan orang tersebut, sayang kalian harus berpisah.."
Saya menatap wajahnya, matanya yang besar terbelalak.
"Teruskan.." kata dia.
"Kalian berpisah karena persoalan yang sangat prinsipil, bisa masalah agama atau suku," lanjut saya.
"Gua nggak tahu pasti tetapi orang tua dia atau orang tua kamu tidak setuju dengan percintaan kalian.."
Sekarang tatapan matanya yang liar menjadi lembut, terlihat sendu dan sedih. Dia menghela nafas panjang.
"Orang tua dia nggak setuju.." jawab dia lemas.
"Terus?" tanya dia lagi.
Saya memperhatikan garis keluarga dia, hancur.
"Kamu sendiri tidak mempunyai keluarga yang harmonis, kamu sering berantem dan jarang berhubungan dengan keluarga kamu lagi. Bahkan kamu membenci mereka.."
Kali ini terlihat matanya berkaca-kaca. Wah, saya paling tidak bisa melihat perempuan menangis di hadapan saya. Saya sedikit menyesal. Akhirnya saya memutuskan untuk berbicara sesuatu yang menyenangkan.
"Tetapi kalau kamu nggak berputus asa, kamu akan menemukan lelaki kedua yang sangat mencintai kamu," kata saya.
Sebenarnya perkataan ini hanya untuk menghibur dia. Ternyata efeknya luar biasa, terlihat keriangan dan secercah harapan di sorot matanya.
"Terus..?" selanjutnya saya cuma asal bicara saja, saya bilang kalau dia berusaha dia akan sukses (tentu saja bukan?).
Setelah itu kami menjadi akrab, dia bicara banyak mengenai kondisi dia. Ternyata ramalan saya hampir seluruhnya benar. Kemudian timbul keisengan saya, saya meminta agar dia menunjukkan telapak tangannya lagi. Kemudian saya bilang, "Jangan marah ya, gua melihat kamunya udah nggak perawan.. dan mempunyai banyak cowok.." Hehe.. tentu saja, masa sih ada wanita malam yang masih perawan, hihi. Sebagai informasi, berdasarkan hasil survey saya dengan pertanyaan ini, hampir 80% perempuan (perempuan baik-baik yang belum kawin!) di Jakarta mengaku mereka tidak perawan lagi.
"Kok tahu sich?" jawab Bella dengan polos sambil melihat telapak tangannya sendiri.
Hehe.. mana bisa sich tahu perawan nggak perawan dari telapak tangan, pikir saya. Buat rekan yang belum pengalaman, jangan coba-coba menanyakan persoalan tersebut ke perempuan yang baru anda kenal, ok? Biasanya saya memberikan ramalan yang jitu dulu baru bertanya hal tersebut, jadinya mereka sudah percaya dengan saya. Kalau datang-datang terus kalian tanya perawan atau tidak ya siap-siap digampar.
Setelah itu kami sepakat untuk masuk kembali ke ruangan karaoke. Singkat cerita, kami menyanyi atau teriak-teriak selama 5 jam, sesudah membayar (hampir 2.4 juta!) kami saling pamitan dengan perempuan masing-masing. Saya lihat teman-teman saya pada minta nomor telepon, saya sendiri tidak begitu tertarik dengan Dian. Setelah saya sudah mau berangkat ke UK, tetapi mata saya terus terpaku ke satu sosok.. Bella! Sambil berjalan keluar saya mendekati Bella dan menawarkan jasa untuk mengantar dia. Pertama dia menolak. Oh ya, perempuan di karaoke ini biasanya high class dan tidak bisa langsung diajak tidur. Kecuali dia suka sekali atau bayarannya mahal sekali.
"Ayo dong, kasian loe-nya sendirian.. Entar diculik lagi.. ama kami-kami kan aman. Dijamin nggak diapa-apain dech.." bujuk saya.
"Itu yang gua takutin, nggak di apa-apain.." jawab Bella.
Eh, nantang nich.
Akhirnya dia setuju juga diantarkan oleh kami. Kami mempersilakan dia duduk di depan, di samping Peter yang menyetir mobil. Saya sendiri duduk di belakang, di tengah, jadi bisa agak maju ke depan untuk mengobrol dengan Bella. Di sebelah saya duduk Andi dan Gunawan. Sewaktu di mobil si Peter menanyakan alamat si Bella, tetapi anehnya dia tidak mau memberitahu kami.
"Muter-muter saja dech.. gua malas pulang," jawab Bella.
Akhirnya si Peter cuma putar-putar di daerah Kota, tanpa tujuan. Waktu itu kami banyak mengobrol dan menurut Bella dia anak orang kaya yang tinggal di daerah Pondok Indah, dan dia ke karaoke cuma untuk bersenang-senang, bukan untuk duit. Dia itu freelance, dan kami percaya dengan dia, soalnya si Peter tidak pernah melihat dia sebelumnya (si Peter hampir setiap hari nongkrong di karaoke tersebut).
Saya sendiri sibuk berpikir, maunya apa sich ini anak? Akhirnya saya bertanya ke Bella,
"Gua ngantuk nich, cari hotel saja ya?" Jawabannya sangat mengagetkan,
"Siapa takut.. tetapi saya nggak mau berdua.. maunya loe semua ikut."
Saat itu yang timbul di benak saya adalah dia tidak mau bersenggama, jadi cuma tidur ramai-ramai. Akhirnya saya meminta Peter untuk mencarikan hotel, habis capai putar-putar terus. Setelah berdiskusi cukup lama, kami memutuskan untuk check in di motel yang berlokasi di Jalan Daan Mogot (saya lupa namanya). Tetapi saya tahu ada tiga motel di Daan Mogot, kami menuju ke motel yang berada di sebelah kiri (kalau mengarah ke perempatan Grogol). Motel ini sangat lux dan biayanya tidak mahal-mahal sekali. Saat itu harganya 98 ribu untuk enam jam. Tetapi masalahnya, motel hanya memperbolehkan dua orang di dalam kamar. Sekarang kami berlima, bagaimana ya? Akhirnya kami sepakat untuk check in secara sembunyi-sembunyi.
Tiba di motel tersebut, Peter membelokkan mobilnya ke dalam. Kami yang dibelakang harus membungkuk dan bersembunyi. Saya mengintip sedikit, terlihat pintu-pintu garasi yang tertutup, gila.. penuh sekali. Akhirnya kami menemukan garasi yang kosong di ujung jalan masuk. Peter segera memasukkan mobilnya ke garasi, setelah itu menutup pintu garasinya dengan menekan satu tombol.
Saat itu saya sedikit was-was, bisa tidak ya kami-kami dijebak atau sebagainya. Tetapi pikir-pikir tidak mungkin juga, akhirnya sesudah pintu garasi ditutup kami berhamburan naik ke kamar yang berlokasi di atas garasi. Kamar motel ini termasuk lux dan bersih. Di dalam kamar terdapat satu kasur air berwarna hijau yang cukup besar. Di sebelah pintu masuk terdapat toilet dan shower. Uniknya shower ini tidak mempunyai pintu, hanya dindingnya berupa kaca jadi tentunya orang yang di dalam kamar bisa melihat orang yang lagi mandi. Saya berpikir, kalau roomboy-nya datang ketahuan tidak ya? Biasanya sekitar 15 menit kemudian room boy-nya akan datang untuk memungut bayaran.
Saya memperhatikan jam tangan saya, hampir jam 3 malam. Melihat kasur, langsung saja kami menjatuhkan diri ke sofa dan ke ranjang. Saya sendiri berbaring di samping Bella. Sekarang di ruangan yang terang benderang baru saya sadari kalau si Bella ini cakep sekali. Kulitnya putih mulus. Dadanya tidak terlihat besar namun terlihat sangat kenyal. Iseng-iseng saya mencoba memeluk dia. Dia tidak menolak. Saya mengarahkan ciuman saya ke pipinya, lagi-lagi dia cuma diam. Tetapi saya tidak berani melangkah lebih jauh, soalnya ada tiga teman saya di ruangan tersebut.
Peter terlihat sangat tertarik ke Bella, dia berbaring di sisi lain dari Bella. Sekarang Bella berbaring di antara saya dan Peter. Rok pendeknya tidak sanggup menyembunyikan celana dalamnya yang berwarna putih, kontras dengan roknya yang hitam. Saya melihat tangan Peter mengelus pahanya. Otak saya bekerja keras, bagaimana caranya bisa main ya? Sepertinya paling tidak meminta teman-teman saya menunggu di mobil, jadi kami bisa bergantian.
"Pet, Gun, dan Andi gimana kalau kalian menunggu di bawah?" tanya saya.
"Tentu kalau room boynya udah pergi," kata saya lagi.
"Nggak mau ah.." ternyata si Bella yang menjawab.
"Gua mau kalian semuanya berada di kamar ini!" kata Bella.
"Loe kuat emangnya..?" pancing si Andi.
"Emangnya loe sendiri kuat?" jawab si Bella menantang.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Dengan buru-buru, saya, Gunawan dan Andi masuk ke toilet. Bella tetap berbaring di kasur dan Peter membukakan pintu. Dia sendiri sudah menyiapkan uangnya sebesar 140 ribu (kamar 98 ribu, kondom 30 ribu, dan sisanya buat tip). Roomboy-nya sendiri cukup tahu diri, dia hanya berdiri di luar kamar.
"Mas, tolong beliin kondom dong, satu bungkus!" terdengar suara si Peter.
"Isi tiga biji Mas?" roomboy-nya menjawab.
"Nggak, yang isi 12 biji dan mereknya harus Durex (hihi.. gua di sponsor Durex nih)," jawab Peter.
Kami yang di kamar mandi hampir tertawa, kok sepertinya nafsu sekali ya! Ketika Peter sedang membayar, Bella berjalan ke kamar mandi.
Di kamar mandi yang berukuran 1.5 x 1.5 m ini sekarang penuh terisi 4 orang. Di hadapan kami yang terbegong-bengong, Bella menurunkan celana dalam putihnya secara perlahan hingga ke atas lututnya dan memamerkan bulu kemaluannya yang tipis. Kami cuma melongo melihat dia pipis di hadapan kami. Mau bersuara pada tidak berani soalnya roomboy-nya masih di depan pintu. Saya melihat muka si Gunawan mulai memerah. Bella sendiri terus tersenyum sambil memperhatikan muka kami yang pasti keliatan bloon. Ketika selesai, dia melepaskan celana dalamnya dan meletakkannya di kaitan di kamar mandi. Setelah itu dengan senyum memancing dia berjalan dan berbaring telungkup di kasur.
Ketika mendengar pintu kamar ditutup Peter, kami segera berhamburan mendekati Bella. Si Peter sendiri masih belum menyadari apa yang terjadi. Saya berdiri di belakang Bella dan pahanya sedikit terbuka, dari situ saya bisa melihat belahan kemaluannya yang berwarna merah. Terlihat bagus dan tanpa kerutan. Saat itu Andi sudah berbaring di sebelah Bella, terlihat dia meraba punggung dan pundak Bella yang masih tertutup kaos. Gunawan berdiri di samping, terlihat ragu-ragu untuk berbuat sesuatu. Peter dengan sigap membaca situasi, dengan cepat dia sudah berada di sisi lain dari Bella dan mulai membelai paha Bella yang mulus. Saya sendiri masih ragu-ragu, main ramai-ramai? Malu dong.. Masa dilihat teman-teman saya? Saya pernah bermimpi untuk main ramai-ramai tetapi dengan beberapa perempuan dan laki-lakinya cuma saya. Tetapi sekarang kondisi yang saya hadapi begitu berbeda. Maju atau mundur ya?
Bersambung ke bagian 02