Cerita Dewasa:
Ilalang Patah 02
Sambungan dari bagian 01
Tanganku bergerak tanpa terencana mengelus lehernya. Ika membalas dengan menekan punggungku. Mungkin itu tanda dia terpengaruh. Ada urat kecil yang berdenyut cepat di lehernya. Matanya menutup membuka dengan ritme tidak teratur begitu tanganku mulai turun. Aku memperhatikan dada putihnya yang seperti membesar dan keras. Daerah itu kubelai sekelilingnya. Gerakan ini membuat tekanan di punggungku makin kuat. Perlahan tapi pasti, jariku menelusup ke balik bra-nya. Dia melenguh tertahan. Tangannya pindah memeluk leherku. Kakinya juga bergerak menyilang saling himpit. Tidak dapat menahan diri, bra-nya kugeser naik. Ah, bukit kembar putih seperti salak terkupas kulitnya itu amat memikat. Seperti inikah dada seorang gadis? desahku dalam hati.
Tiba-tiba Ika bergerak. Tangannya menutup dua bukit kembarnya.
"Risih dilihat-lihat," ringisnya, tapi lebih mirip senyum.
Kususupkan tanganku ke belakang tubuhnya dan melepas pengait bra. Kulepas hati-hati, berharap dia tidak melarang. Ika menatap tajam begitu kuraih tangannya ke leherku. Kini dari pinggang ke atas, tubuhnya terbuka. Dalam keadaan begitu, Ika lebih mirip bayi cantik yang menggemaskan. Dia memperhatikanku melepas kaosku sendiri. Kami sudah sama-sama tidak berpenutup dada saat aku setengah telungkup di atas tubuhnya.
Kembali kukecup dua kelopak matanya yang segera menutup. Turun ke hidung hingga akhirnya menempel di bibirnya. Dalam posisi begitu, dadanya yang berukuran standar itu menempel lekat di dadaku. Sambil menyibak dan menggigit-gigit kecil bibirnnya, kugoyang pelan dadaku hingga bukit kembarnya juga ikut terbawa.
Kecupanku turun ke leher. Turun lagi dan akhirnya bibirku bermain-main di sekeliling gundukan dadanya. Belahan dada Ika memiliki aroma yang khas. Di situ kubenamkan wajahku dan menghirupnya dalam-dalam seolah ingin memindahkan seluruh aroma itu ke dadaku. Pipiku jadi terhimpit dua gundukan halus itu. Begitu lidahku bermain-main di boba susunya yang berwarna ungu kecoklatan dan tegang, dua tangan Ika menekan kepalaku seperti melarangku berhenti. Lenguhannya terdengar lagi, panjang pendek. Dua boba itu basah oleh lidahku.
Saat boba susunya kuemut sambil sesekali mengisap dan menggigitnya pelan, tanganku memilin, mengusap dan menarik-narik pelan boba yang satunya. Kali ini lenguhan Ika agak keras dan tekanan tangannya juga menguat.
Semenit kemudian, tanganku bergerak ke bawah sementara lidahku tetap di atas. Jari kananku berputar-putar dan mencucuk-cucuk pusarnya. Di situ Ika menggeliat-geliat dan merintih. Tanganku terus ke bawah, menarik reslueting turun. Sesaat ia tegang, tapi akhirnya pahanya membuka memudahkanku menurunkan resluiting. Ikat pinggangnya gampang dilepas hingga dengan cepat telapak tanganku kemudian mendarat penuh di antara pahanya yang membusung. Daerah yang terbungkus CD itu terasa hangat. Aneh, pikirku. Kok, panas?
Aku tidak berniat melepas celana panjang dan CD-nya. Telapak tanganku menempel lama di situ, merasakan kehangatan yang empuk dan ajaib itu. Tubuh Ika meliuk-liuk kusentuh di dua tempat begitu. Dia berusaha menahan rintihannya, tapi sesekali terlepas juga. Ekor mataku melihat dia berusaha membasahi bibir dengan lidahnya. Seperti kehausan.
Tidak cukup, telapak tanganku kutekan ke dalam hingga daerah yang gemuk itu seperti melebar, lalu jari tengahku membuat gerakan menggaris, ke atas ke bawah. Aku tahu, tepat di tengah gundukan hangat itu ada lekuk belahan memanjang. Lama-lama CD di lekukan itu basah dan agak lengket. Rintihan Ika mulai bergelombang. Daerah pusarnya juga turun naik seperti ombak. Napasnya mulai megap-megap.
Sambil tanganku terus melakukan gerakan turun naik dan sesekali mengilik bagian atas yang ada klentitnya. Pilinan, gigitan dan sedotanku pada boba susunya juga kuperkuat. Rasanya aku tidak habis pikir kenapa semua itu kulakukan. Mungkin pengaruh bacaan dan film yang pernah kutonton.
Sedikit kesadaran menghampiriku. Tapi itu sudah cukup untuk membuatku berhenti. Tubuhku kutarik ke atas dan mengecup keningnya tulus. Geliatnya juga berhenti dan kelopak matanya membuka. Aku merasa dia penasaran. Tapi aku jadi kasihan. Rasa sayangku melebihi gairahku saat itu. Kulihat di keningnya ada bintik-bintik keringat. Ah Ika, desahku dalam hati. Aku mencintaimu, tapi kenapa aku melakukan ini padamu? Penuh rasa penyesalan, aku membaringkan tubuh di sampingnya. Lama kami terdiam dengan tatapan ke langit-langit kamar.
"Ika gemetaran Kak." bisiknya parau.
Tanganku bergerak ke bawah menaikkan celana dan CD-nya.
"Maafkan aku, Ik." bisikku pelan di telinganya.
Ia menengadah dan kudapati matanya berlinang.
"Ika berharap jadi adikmu Kak," jawabnya, juga pelan. "Mestinya Ika tadi tidak buka baju. Jadinya begini deh." dia meringis kecut.
"Kakak juga nggak bisa tahan diri. Penasaran, sih."
"Kakak pernah begini?"
Aku menggeleng keras. "Cuma pernah lihat di film aja. Pernah juga baca novelnya. Jadinya ya, pengen rasa betulan, hihi."
"Sama seperti tadi?" dia mendelik nakal.
Cepat-cepat kuraih bra dan kemeja lalu mengancingnya. Geloraku naik lagi begitu menyentuh dadanya kembali. Tapi aku menguatkan diri untuk tidak terpengaruh. Ika tersenyum-senyum menatapku.
"Ika tadi cuma pengen buka baju aja. Kalau Kakak terus ke bawah, Ika akan larang. Tapi kok Ika nggak mampu larang ya? Rasanya Ika keenakan. Pengen terus."
"Itu bahaya banget, Ik."
"Kok, Kakak bisa nahan diri ya?"
Aku tertegun. Iya ya? ulangku dalam hati.
"Mungkin aku ingat kamu akan jadi adikku."
Aku mencium keningnya, lagi.
"Kalau Papamu tau, bukan cuma perang dunia yang terjadi. Armageddon, malah."
Ika meringis. Dia meraih kaosku dan memakaikan ke tubuhku. Tangannya sempat mencubit bobaku yang dilingkari bulu-bulu halus. Aku memekik kecil lalu mendorongnya. Kulumat sekali lagi bibirnya sebelum akhirnya melompat turun.
"Jam empat, Ik. Mandi yuk..!"
"Kakak duluan gih. Ika nyusul. Beresin sprei dulu."
Kamar mandi kututup tapi tidak kukunci. Aku yakin Ika menyusul. Aku juga yakin dapat menahan diri menghadapinya. Kubuka pakaian dan menyisakan CD. Tidak biasanya aku mandi begitu. Tapi aku risih kalau polos di depannya. Ika menyusul dengan lipatan handuk dan beberapa potong pakaian. Cepat-cepat aku masuk bathtub. Ika juga menyisakan CD-nya dan masuk. Aku menelan ludah melihatnya.
"Tubuhmu indah Ik," sambutku meraih pinggang dan menuntunnya duduk membelakangiku.
"Kamu juga atletis, Kak."
Aku menyiram dan mulai menyabuninya. Menyentuh daerah dadanya, Ika rebah di dadaku.
"Ihh..!" tiba-tiba ia memekik.
Tangannya mencari-cari bagian bawah tubuhku. Sebelum kusadari, ia sudah memegang daerah rahasiaku dan menggenggamnya.
"Jangan..!" sentakku panik. "Bahaya Ik."
"Hihihi. Besar, ya.." ia terkikik dengan wajah merah melepas genggamannya. "Tegang, ya..?"
Aku tahu dia penasaran. Tapi ia tidak boleh kubiarkan. Bisa-bisa aku tidak mampu menahan diri.
Melampiaskan rasa penasarannya, dia berbalik menunduk di dadaku dan mengecup kuat hingga membekaskan tanda merah. Sesaat aku tergetar. Kususupkan kepalaku ke dadanya dan balas mengecup satu setengah senti dari bobanya. Ika menggeliat-geliat. Ditekannya kepalaku kuat-kuat ke dadanya. Kutau dia terangsang hebat. Timbul pikiran untuk menyusupkan tanganku ke balik CD-nya. Tapi aku khawatir tidak dapat menahan diri. Akhirnya kubalikkan lagi tubuhnya. Kusabuni seluruh tubuhnya pelan. Tanganku gemetar di pangkal paha. Cepat-cepat kupindahkan ke dadanya. Daerah lembut kenyal itu kubelai sambil sesekali menekan. Ika tersenyum memeluk leherku. Kulihat dia keenakan tapi dapat bersikap wajar.
Tidak puas-puasnya aku memandang dan membelai dada indahnya. Ia menyadari itu dan mengatupkan mata.
"Gadis yanng sempurna," ucapku dalam hati tidak bosan-bosannya.
"Ika seperti mau pipis, Kak." bisiknya tiba-tiba.
Pinggul dan betisnya bergerak-gerak, sementara lengannya erat menekan lenganku.
"Eh?!" Aku tertegun kaget. Mau pipis? Jangan-jangan dia mau orgasme. Menurut yang kubaca, orgasme adalah puncak kenikmatan seks.
Weeh, kulihat gerakan Ika semakin tidak terkendali, sementara tanganku tanpa sadar menekan dan menggoyang buah dadanya agak cepat. Dua jari telunjukku menjepit bobanya.
"Aaah.. Emmh.. Kak," dia merintih membuat tanganku bergerak turun ke bawah. Di segitiga pengamannya, telapakku menekan kuat. Itu membuatnya makin menggelinjang. Aku tambah yakin dia mau orgasme.
Tangan kanannya pindah ke tepi, mencengkeram bathtub, sementara yang kiri turun menempel di tanganku yang masih menekan CD-nya. Ditempeli begitu, jari tengahku kugerakkan membentuk garis ke atas dan ke bawah. Tangannya juga ikut terbawa. Ah, rintihan dan geliat tubuhnya mempengaruhi 'adek kecil'-ku yang terbawa gerakan pinggulnya. Rasanya seperti mau pipis juga. Hey, seperti inikah rasanya kalau mau orgasme? Saya sudah berulang-ulang orgasme lewat mimpi. Tapi nyata-nyata seperti ini adalah hal baru. Jadi ini adalah pengalaman pertama.
Kulihat kening Ika berkerut dengan kepala yang bergoyang gelisah ke kiri dan kanan. Tangannya yang menempeli tanganku kunaikkan ke dada yang satunya, lalu kembali ke bawah. Dengan kebebasan begitu, jari tengahku kugerakkan makin cepat dengan tekanan yang lebih kuat. Tangan yang di dada juga bergerak meremas memilin makin gemas.
Gerakan Ika tambah liar di antara rintihannya yang tertahan-tahan. Aku juga merasa di tengah tubuhku seperti ingin melepas sesuatu yang mendesak-desak. Tubuhku terasa bergetar, entah karena getaran tubuhku atau getaran tubuh Ika.
"Emh.. Mhh.. Mhh.. Kaak..!"
"Yaa.. Emhh.. Emhh.." rintihan Ika menulariku.
Keringat keluar deras di keningnya dan keningku. Matanya tertutup rapat dengan hidung kembang kempis dan napas megap-megap. Aku merasa tidak jauh beda dengannya.
Tiba-tiba di tengah gerak tanganku yang turun naik, Ika mencengkeram kuat tanganku di bagian atas CD-nya. Kupikir itu daerah klit-nya, sebab terasa ada tonjolan kecil seperti butir jagung, tapi lebih kecil lagi. Kupaksakan turun agak ke bawah dan menekan kuat di situ. Gerakan tubuh Ika membuatku terangsang hebat. Tiba-tiba tangan kiriku mencengkeram dan meremas kuat bukit dadanya, sementara jari tengahku tertekan kuat di belahan paling bawah CD-nya. Aku menggeletar hebat dipengaruhi sesuatu yang menderu deras di 'adek kecil'-ku.
Aliran deras itu mendesak kuat dan.. jebol! Aku megap-megap ingin berontak. Gerakan itu menyebabkan jariku tegang dan menusuk kuat hingga masuk hampir setengahnya bersama CD Ika. Saat itu juga Ika memekik gemetar dan menggelepar-gelepar. Rupanya dia tiba di puncak menyusulku.
"I.. Ik.. Ika.. pipis Kaak..! Ah.. ah.. aahh..!"
Tanganku seperti mau patah dicengkeramnya. Di antara sisa-sisa orgasmeku, aku merasa jari tengahku panas dijepit kuat oleh belahan agak bawah di antara pahanya. Ada kedutan yang keras. Sungguh kuat dan menjepit. Lama-lama kian melemah.
Ika dan aku sama-sama terkulai lemas. Kami menentramkan perasaan dan mengatur napas yang masih memburu. Tiga menit kemudian, Ika berbalik memelukku, menelusupkan kepalanya di leherku.
"Ika lemas, Kak." bisiknya lemah.
Aku menggigit-gigit bahunya pelan. Coba me-replay perasaan yang kurasakan. Ajaib nan nikmat.
"Ika seperti terbang," bisiknya lagi. "Enak banget."
Aku terdiam. Ika mungkin tidak tahu kalau aku juga mencapai klimaks. Mungkin karena pengaruh geliat tubuh dan rintihannya. Atau mungkin karena sudah tegang sejak beberapa jam lalu. Atau karena yang kuhadapi adalah Ika, gadis yang telah lama memikatku ini. Atau mungkin karena ketiga-tiganya.
Ika menggeliat linglung, melepaskan diri dari dekapanku. Aku ikut bangkit. Kuraih dan mendekap tubuhnya di bawah shower yang mengguyur kami.
Jam lima sore di teras, kulihat mata Ika yang malu-malu seperti dipenuhi bintang. Dengan rambut masih agak basah begini dia kelihatan lebih cantik. Duduk bersisian begitu, membuat beberapa tamu hotel mencuri-curi pandang ke arah kami. Aku senyum-senyum bingung, tidak tahu persis apa yang ada di benakku. Di sisi lain aku bahagia, di sisi lain aku merasa malu dengan perasaan berdosa. Ah, sepertinya rasa malu lebih mendominasi perasaanku.
"Kita telah melakukan kesalahan, Ik."
"Jangan disebut-sebut lagi Kak. Ika malu."
"Iya, tapi mengenai ini Kakak nggak bakal lupa."
Ika tidak menjawab, hanya mencubit pahaku pelan.
Kami kembali pulang hanya dengan satu trophy. Ika meraih nomor tiga dalam LKTI itu. Aku hanya dinilai berbakat. Aku memang gagal, tapi yang kualami dengan Ika lebih bernilai daripada sebuah trophy. Kuakui itu membuatku merasa dikejar-kejar perasaan malu dan berdosa, tapi di sisi lain itu adalah hal terindah sejak aku mengenal dunia.
Di sekolah, kami memang akrab. Tapi tidak beda jauh dibanding hari-hari sekolah sebelumnya. Malah terkesan seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal aku ingin sekali dapat mendekapnya lagi, walaupun hanya menghirup aromanya.
Suatu hari ia datang ke rumahku. Aku senang sekaligus bingung melihat wajahnya disaput kabut.
"Papa dapat promosi Kak. Terpaksa pindah dan Ika harus ikut."
Berita itu seperti memaku tubuhku ke kursi. Aku hanya terdiam dan tertegun menatapnya. Air matanya turun dan membasahi pipi mungilnya. Khawatir kepergok Mama, aku hanya mengecup dan memeluknya singkat.
Itu hari terakhir aku bertemu dia. Sampai lima bulan kami masih berkirim surat. Tapi setelah itu, setelah dia mengatakan akan dipindahkan lagi, aku dan Mama juga pindah. Pamanku di Manado yang panggil. Beliau pengusaha sukses. Sampai aku selesai SMU, menyelesaikan diploma teknik sipilku, kerja di kontraktor tiga tahun dan kini sedang cari S1 di teknik arsitektur sebuah Universitas swasta di Ujung Pandang, aku tidak dengar lagi beritanya. Dimanakah kau Ika?
Ika, cerita ini khusus untuk kamu. Tahukah kamu bahwa aku tidak mau menjadi kakakmu? Aku ingin kamu jadi istriku! Tahukah kamu bahwa tidak ada nama gadis lain selain kamu di hatiku? Di lebaran kemarin ini, aku ingin minta maafmu atas kesalahanku waktu itu. Andai kamu sekarang sudah jadi milik orang lain, masih bolehkah kita bertemu walau hanya sekedar menatap dan mencium aroma harum rambutmu? Ah, dimanakah kau Ika sayang..?
TAMAT