Cerita Dewasa:
Cerita Asli 02
Sambungan dari bagian 01
Kami berdua berpelukan, bergulingan, berciuman, yang tanpa disadari hampir setengah jam kami melakukan itu. Entah yang keberapa kalinya aku mencium dan menjilati daging kecil dengan jumputan bulu di antara kedua paha di bawah pusarnya. Harum yang khas membuat hasratku semakin menggebu. Apalagi saat itu dia mengelinjang kegelian bercampur dengan kenikmatan yang dirasakannya. Nafsu semakin memuncak dan pada akhirnya aku yang masih dalam keadaan terkendali memutuskan untuk melakukan penetrasi memeknya dengan penisku.
Terbersit wajah takut penuh pertanyaan pada Irda, tapi aku meyakinkannya dengan anggukanku. Dia membalas dan menganggukan kepalanya. Tak kubiarkan terlalu lama, langsung saja si kepala baja yang kerasnya sudah seperti kayu kumasukkan dalam mulut memeknya. Irda merintih dan aku membiarkannya dan terus mendesak penisku untuk masuk dengan pasti. Irda menjerit lirih dan mendorong tubuhku. Tampak dia seperti kesakitan. Dari memeknya nampak cairan berwarna merah muda yang encer. Kuusapkan telunjukku pada cairan itu.
"Kamu masih perawan Irda, apakah kamu tidak akan menyesalinya?"
Irda terdiam. Sejenak kami terdiam dalam suasana yang tidak mengenakkan.
"Adi, tolong ulangi sekali lagi, aku ingin mencobanya."
"Kamu.."
"Sudahlah, ayo kita lakukan sekali lagi."
"Baiklah."
Suasana tadi membuat gairahku menurun dan si kepala baja kelihatan sudah tidak semangat lagi untuk melakukan peperangan, dan Irda mengerti akan keadaan itu. Lalu dia mulai membelai si kepala baja, menciuminya, mengulumnya. Keluar, masuk, keluar, masuk melalui mulutnya, dan secara otomatis kepala baja yang cukup besarnya mengeras kembali.
"Ayo Adi 'dia' sudah siap..!"
Tak kutunggu lagi, kumasukkan si kepala baja ke dalam mulut memek yang sudah semenjak tadi lembab. Rupaya ketika sedang mengulum penis, Irda merasakan rangsangannya melonjak. Tak susah seperti tadi, dan karena lembab si kepala baja tidak menemui kesulitan untuk penetrasi. Dan Irda pun sepertinya tidak merasa kesakitan, malahan kulihat wajahnya yang tampak memohon untuk mempercepat masuknya si kepala baja.
Sleep.., Irda tampak melenguh. Mungkin liang memeknya yang tadinya sepet kini kemasukan sebuah benda yang cukup besar dan memberi kenikmatan yang luar biasa. Kutekan pinggulku, kuangkat, tekan, angkat sampai beberapa kali lamanya, sampai menimbulkan suara yang indah didengar. Dan untuk sekali lagi kami melakukan senggama dengan semangat 45 dan akhirnya kami berdua puas sekali. Setelah kejadian itu hampir 2 kali dalam satu bulan, kami melakukan senggama, sesempat-sempatnya, di rumah Irda, di mobil atau di mana saja asal terlampiaskan hasrat kami berdua.
Tiga Bulan Berlalu.
Pagi cerah diiringi lagu Chrisye yang mengalun dari speaker active pada komputerku membuat suasana hati bersemangat untuk melakukan aktivitas keseharianku, sampai pada akhirnya aku merasa ada yang tak beres dengan perutku. Laparr oy.
Beranjak menuju warung (baca=warung, tapi agak besar dan lengkap) dengan niat membeli sebungkus Indomie.
"Mbak beli Indomienya dan telur satu butir!"
Aku tidak mengira bahwa yang biasanya meladeni warung itu adalah wanita setengah baya, tapi kini warung tersebut diladeni oleh seorang gadis yang belum mandi dan cengar-cengir melihat ke arahku.
"Beli apa?" sapanya.
"E..e beli Indomie Mbak.." kataku hampir tergagap.
Meskipun belum mandi tapi garis wajahnya dan garis tubuhnya membersitkan kecantikan dan keindahan yang jarang sekali dimiliki oleh gadis lain. Aku memujanya. Entah karena sifat playboy-ku atau rasa penasaran yang selalu dan selalu menggoda setiap kali melihat gadis yang cantik. Tapi ini lain, dia lebih cantik dari gadis-gadis yang telah kukenal sebelumnya. Bukan Adi kalau tidak penasaran mendapatkan apa saja dari Gadis itu.
"Eh rasanya saya baru melihat kamu di sini.." kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku tanpa kusadari sebelumnya.
"Iyah, aku sedang liburan. Aku berasal dari Bundang, kamu orang sini asli yah?" tanyanya.
"Bukan, aku asli orang Bundang juga. Di mana rumahmu di Bundang?"
"Di Perumahan Bundang Riung Permai. Kamu di mana..?"
"Aku di jalan Rawajali.." kataku.
Dari pembicaraan yang berujung sebuah perkenalan kecil, namanya Viera, akhirnya aku mendapatkan apa yang kuincar dari dia, apalagi kalau bukan nomor telepon, alamat rumah. Selang beberapa hari yang kesetiap harinya aku selalu saja membuat alasan untuk membeli, permenlah, rokok, Indomie, pokoknya alasan yang bisa bikin aku ngobrol sama dia. Aku mengajaknya nonton bioskop, dan dia mau.
Waktu itu aku menonton film yang agak panjang jalan ceritanya. Kalau tidk salah film berjudul "Brave heart" sebuah film kolosal yang penuh dengan drama. Awalnya kami hanya berbincang-bincang, tapi selanjutnya kami.. hanya berciuman, (hanya) dan saat itulah aku merasa dunia ini mau pecah, ketika aku menciumnya dan dia membalas ciumanku. Bibir kami berdua benar-benar terpagut dan aku merasakan untuk pertama kalinya wanita mempunyai ciuman yang dasyat, hebat. Entah gaya apa yang dia pakai, tapi cukup membuatku kerepotan membalasnya. Wanita hebat pikirku.
Dari hal tersebut di atas, hubungan kami berkelanjutan sampai pada suatu hari kami menetapkan hari jadian kami berpacaran, tapi ada syarat yang dia ajukan, yaitu dia tidak mau terikat apapun dengan segala urusan yang berbau cemburu, ketidak bolehan dan lain-lain yang pasalnya tidak mau repot dengan aturan undang-undang pacaran. Aku oke saja sebatas aku dan dia saling percaya.Tambah satu koleksiku.
Seperti halnya anak kecil yang mempunyai mainan baru, aku hampir lupa bahwa aku tidak saja mempunyai pacar 1 tapi kini 2, dan aku harus dapat mengatur jadwal untuk mengunjungi sang pacarku itu masing-masing.
Hubunganku dengan Viera biasa saja, tak ada yang spesial, hanya saja aku bangga bahwa aku dapat bergaul dengan gadis yang cantiknya seperti.. tepatnya foto model yang biasa kutemukan di majalah remaja. Apa karena dia anak seorang jendral aku tidak pernah berani melakukan apa saja yang sifatnya mengarah ke hubungan intim, sejauh itu kami hanya berciuman, berpelukan. Yah, karena kebutuhan sexualku kucurahkan semuanya ke Irda. Aku masih perlu waktu.
September 1995
Amel! Dia kan yang berjalan itu? aku bergumam sendirian. Yah pasti dia itu si Amel. Kemana saja dia selama ini, aku hampir lupa bahwa aku punya janji sama dia, janji bukan Adi kalau aku tidak dapat berkenalan dengannya.
Pucuk di cinta ulam tiba, atau hanya suatu kebetulan, pagi hari aku dapat telpon, ternyata dari Amel.
"Ini Mas Adi?" sahut suara di seberang telpon di sana.
"Iyah ini Adi, ini siapa yah, dan ada perlu apa?"
"Ini Amel, ada perlu, sedikit minta tolong boleh kan?" tanyanya dengan suara manja.
"Boleh aja tapi jangan minta duit, aku engga punya.." aku berseloroh.
"Bukan, bukan itu yang dimaksud. Amel mau minta Mas Adi nganter Amel bersama teman-teman ke tempat di mana Amel mau caving (baca=kegiatan mengarungi gua)."
"Oh bisa, kapan ya?" tanyaku.
"Besok, hari Sabtu jam 6 pagi Amel tunggu di depan Sekolah Amel. Ok!" manjanya.
Wow, yes, cihui, akhirnya kudapatkan yang kutunggu selama ini, awas yah kamu! Tapi aku bingung, darimana dia tahu nomor telepon dan namaku. Usut punya usut, ternyata selama ini dia adalah keponakan dari salah satu penghuni rumah di belakang kantorku, yang ternyata tantenya (janda=red) mempunyai hubungan khusus dengan salah satu bos-ku (bosku ada 4). Dia tahu tentang aku dari bosku itu.
Cerita mengantar Amel ke kegiatannya tidak menarik, dan rasanya kurang seru bila aku menceritakannya. Karena tidak seperti yang kuharapkan sebelumnya, dia masih cuek. Tapi yang seru, ketika aku mengantarnya pulang ke rumah tantenya itu, didapati sang tante yang kelihatannya kurang enak badan. Sang tante dengan wajah yang kuyu itu minta diantar ke dokter yang letaknya tidak berjauhan dengan rumah Amel sebenarnya.
Sambil menunggu giliran diperiksa dokter, aku diajak Amel ke rumah dia yang sebenarnya adalah rumah neneknya. Tapi selama ini, dari kecil dia diurus oleh neneknya yang kelihatan baik tapi wajahnya memancarkan sifat yang disiplin. Dari sana aku tahu banyak tentang dirinya, tapi tidak sampai pada latar belakangnya, dan itu tak ingin aku mengetahuinya, cukup sampai aku mulai kenal dan seterusnya.
Aku pulang dengan tantenya, karena Amel tidak harus menginap di rumah tantenya, maka seharusnyalah aku yang mengantar tantenya itu, dan itu beralasan karena rumah kami berdekatan.
Hari demi hari, minggu ke minggu, sampai dua bulan berlalu, Amel tidak mengetahui aku sudah punya pacar 2 orang. Dia hanya tahu bahwa setiap akhir Minggu aku harus pulang menjenguk orang tuaku. Dan selama itu kami sering bertemu, bercerita, bercengkrama, nonton, tanpa ada hal-hal negatif yang muncul dari pikiranku. Kenapa yah aku ini? Biasanya ada ikan langsung sambar, tapi kali ini lain rasanya. Mungkin karena dia anak sekolah dan aku harus menghormatinya dan tidak ingin merusak keluguan dari anak sekolah yang mulai beranjak dewasa. (Jadi agak dewasa nih).
Sampai pada akhirnya dia mengungkapkan isi hatinya kepadaku bahwa dia selama dua bulan ini kagum kepada diriku, karena aku dapat membuat dirinya bahagia, keluar dari masalah keluarganya, dan pendeknya dia mulai mencintaiku.
29 Desember 1995
Aku jadian dengannya. Amel gadis lugu dengan sifat yang sedikit egois, arogan dan cantik.
"Uhh ahh.. teruskan Adi, jangan berhenti di situ."
Lala dengan mata terpejam-pejam dan tangan yang mengapai-gapai tak karuan, sehingga sedikitnya kukunya menggores pipiku. Kumasukkan lagi si kepala bajaku ke dalam memeknya yang sudah penuh dengan cairan kewanitaannya, sehingga menimbulkan suara yang ribut tapi indah. Yah, aku dan Lala sedang bersenggama di dalam mobil temanku. Ceritanya aku pulang ke Bundang untuk menyambangi orang tuaku, dan ketika Lala mengajakku pergi keluar lewat telepon, aku tidak menolaknya. Aku dan dia berteman dan aku sudah lupa tentang hubungan kami dulu, tapi kalau diajak keluar sekedar makan dan jajan aku tidak keberatan. Tapi yang dia minta ternyata lain, sesudah makan dan jajan dia mengajakku berhubungan intim. Tentu saja kami tidak mempunyai tempat selain dalam mobil, dan mobil itu kupinjam dari salah seorang temanku.
"Adi oh.. Ufh nikmat sekali sayang, teruskan, teruskan."
Aku mengocok alat vitalku dengan hitungan rumus yang kudapatkan dari salah satu buku sex, yaitu 1 s/d 9 secara pelan dan yang kesepuluh keras, lalu 1 s/d 8 pelan dan 9 s/d 10 keras begitu seterusnya, dan cukup membuat Lala membisikkan kata teruus.. karena perlakuanku. Sampailah gelegak darah yang kurasakan pada pangkal leherku dan terus menjalar sampai keubun-ubun, dan bersamaan dengan itu rasanya ujung penisku mulai didesaki desakan hebat dari arah dalam. Pada kondisi tersebut kulihat Lala yang masih memejamkan mata dan sesekali merintih.
"Kamu sudah sampai belum?" tanyaku.
"Sedikit lagi sayang, sudah hampir.." jawabnya.
"Aku sudah tak kuat lagi nih.." engahku.
Tanpa basa basi dia bangkit dan mengeluarkan penisku dari memeknya.
"Sebentar sayang, jangan sekarang. Kita sama-sama menuju puncaknya yah."
Tanpa aku kira sebelumnya, dia menggenggam ujung penisku dan menekannya hingga aku merasa kesakitan.
"Ehh.. mau diapain itu..?" sergahku.
"Tenang, aku mau bikin kamu kuat 1 atau 2 menit lagi."
Oh begitu, ternyata dia dapatkan sedikit ilmunya itu dari membaca buku.
Setelah itu dalam posisi duduk dia mengangkangiku dari atas dan tubuhnya menghadapku. Dia jongkok dan memasukkan penisku ke dalam memeknya. Naik, turun, naik, turun tubuhnya, maju dan mundur dengan pagutan bibir yang tak henti-hentinya mengeluarkan bisikan uff heh dan sebagainya. Benar saja hal yang dilakukannya tadi membuat penisku yang tadinya terasa melesak hebat kini tidak terasa lagi. Aku jadi semangat untuk membuat kita menuju klimaks. Goyangan pinggulnya membuat mataku terpejam-pejam. Pagutan lengan kita berdua rasanya tidak bisa dilepaskan. Sampai akhirnya kami pun klimaks secara bersama-sama dengan kenikmatan yang luar biasa nikmatnya. Lalu kami pulang.
TAMAT