Cerita Dewasa:
Serigala Lapar, Trilogi 1: The Clan - 5
Aku menjadi sangat ketagihan menciumi bau selangkangannya. Di lipatan paha dengan perut sebelah kanan dan kiri itu aku mendapatkan sensasi erotik sendiri. Saat bibir dan lidahku menyedot dan menjilati lebih turun lagi lipatan itu hingga mendekati lantai villa, tanganku mengisyaratkan agar Rendi mengangkat kedua pahanya ke atas dan terus melipatnya hingga lututnya menyentuh dadanya. Dan kini yang nampak adalah akhir paling bawah celana dalamnya yang langsung menutupi pada arah analnya. Inilah sasaran impianku. Menciumi wilayah anal Rendi yang masih terbungkus celana dalamnya. Dan bau yang khas pada daerah itu samar-samar mulai tertangkap hidungku. Dengan setengah menungging dan dengan kedua tanganku memeluk kedua pangkal bokong dan pahanya itu, seluruh wajahku terus menyungkup dan menciumi akhir celana dalam Rendi itu.
"Mbak.. Mbak Marinii.. pinter banget sihh..".
Rendi mendapatkan kenikmatan yang luar biasa dariku, istri Mas Adit, teman sekantor sekaligus atasannya. Dan kembali dengan isyarat tanganku yang mendorong agar dia berbalik tengkurap, Rendi menurunkan lipatan kakinya dan bergerak tengkurap. Tetapi saat dalam posisi setengah menungging, dia kutahan. Bahkan kuangkat sedikit agar dia benar-benar menungging. Rupanya Rendi tahu apa yang sangat kutunggu selama ini. Dengan kepalanya yang berbantalkan lantai, dia kini benar-benar menungging dengan menghadapkan pantatnya yang putih itu tepat di depan mukaku. Dan itulah yang kumau.
Aku mendekatkan wajahku ke pantat itu. Sungguh menjadi sensasi erotik yang baru pertama kudapatkan seumur hidupku. Kini aku siap menciumi pantat Rendi. Dengan cepat bau anal Rendi menyergap hidungku. Kususurkan kembali wajah, hidung, bibir dan lidahku ke belahan pantat Rendi. Kubuat kuyup celana dalamnya dengan lidah dan ludahku. Kuhisap-hisap basah tersebut dengan khayalan akan keringat dan serpihan dari duburnya yang bisa kuraih, kukenyam-kenyam dan kutelan untuk membagi kenikmatan pada tenggorokanku.
Kemudian dengan gigi, kucoba untuk menurunkan celana dalam Rendi dari tempatnya. Kukuak sedikit demi sedikit. Dan pada setiap kuakan kujulurkan lidahku untuk menjilati bukit pantat telanjangnya. Setiap kali kuulangi hingga rona merah dengan kerutan-kerutan halus yang mengarah ke titik pusat duburnya muncul terjangkau mata dan hidungku. Baunya yang khas semakin menyengat. Bulu-bulu cukup rimbun tampak mengitari lubang duburnya. Aku tidak tahan untuk menunda lidahku, aku mulai melumati dubur Rendi.
Aku merasakan ada semacam cairan. Itulah cairan analnya. Bukan basah tetapi juga tidak kering. Cairan itu agak terasa lengket-lengket, Dan saat kujilat aku merasakan sepatnya. Aku menjadi sangat bernafsu. Dengan liar hidung, bibir dan lidahku melahap kawasan pantat dan dubur Rendi. Tanganku langsung menurunkan celana dalamnya hingga seluruh onggokan pantat Rendi menjadi utuh telanjang sudah. Mukaku langsung kubenamkan dalam-dalam ke celahan pantatnya itu. Hidung dan bibirku menjadi sibuk menciuminya. Dan lidahku pun tak pernah berhenti menjilatinya.
Untuk pertama kalinya menjilati dubur, dan itu adalah dubur Rendi teman suamiku sendiri, sungguh merupakan sensasi erotis bagiku. Dalam menghadapi Rendi ini aku mendapatkan pengalaman erotis yang sungguh-sungguh membuat segala perasaan ragu-ragu dan rasa jijikku saat mengulum kontol, meminum sperma, menjilat pantat dan dubur lelaki seperti Rendi ini hilang sudah. Aku sendiri heran juga. Koq bisa. Sedangkan pada suamiku sendiri, membayangkannya saja bisa dipastikan aku akan muntah-muntah.
Tetapi memang pantat dan dubur Rendi luar biasa. Dengan kulitnya yang putih bersih, pantat dan dubur Rendi menjadi perangsang libidoku yang hebat. Aku jadi seperti terkena narkoba. Aku mabuk kepayang. Mabuk dalam nikmatnya nafsu birahi yang disebabkan tindakanku menjilati dubur lelaki pasangan selingkuhku. Dan pada akhirnya Rendilah yang tidak tahan. Rangsangan yang hebat dia rasakan dari setiap jilatan lidahku pada duburnya itu. Lidahku yang terus menusuk pantatnya seakan ingin menembusinya membuat Rendi berkelojotan sperti disentuh besi panas. Dengan setengah histeris dia minta aku menghentikannya. Dan Rendi buru-buru bangkit dari lantai sambil meraih dan mengangkat tubuhku menuju ranjang.
Mulai dengan tubuhnya yang menindih tubuhku, kami langsung bergumul. Saling sedot, saling jilat, saling gigit, saling isap. Dan kini dia berganti posisi menjadi dominator. BH-ku dilepaskannya dengan mulutnya yang menggigit tali-talinya dan menariknya hingga dadaku terbuka. Toketku yang tampak langsung dia mainkan. Aktifitas bibir dan lidahnya membuatku menjadi cacing yang kepanasan. Aku bergerak menggelinjang dan menggeliat-geliat menahan hebatnya rangsangan seksual saat puting susuku dikulumnya.
"Ampun Rendii, ampun Rendi, Renddiikuu sayangg.. ampunn..", aku terus meracau menahan nikmatnya.
Kemudian jilatan dan sedotannya turun ke perutku. Pusarku di lumatnya. Terus meluncur lagi ke bawah pusar. Terus turun lagi. Celana dalamku dia gigit dengan gemas. Dia tarik-tarik ke bawah dan diturunkannya hingga ke lututku.
Dia benamkan wajahnya ke selangkanganku. Diciuminya bulu-bulu tipisku. Karena pahaku belum terbuka sepenuhnya, dia kembali ke celana dalamku. Di tariknya hingga lepas satu kaki dan ditinggalkannya pada kakiku satunya. Sekarang dia bisa mengangkangkan pahaku untuk mendapatkan selangkanganku yang terbuka.
Kembali dia benamkan wajahnya ke selangkanganku yang sangat wangi oleh campuran keringat dan parfumku. Rendi benar-benar menjadi liar. Dia mainkan terus celah-celah dan lipatan selangkanganku yang pasti baunya sangat merangsangnya. Dan aku benar-benar telah melayang ke langit ke tujuh. Aku menggoyang-goyangkan kepalaku ke kanan dan ke kiri menahan kenikmatan itu. Aku juga terus menerus meracau dan mendesah-desah. Kujambak rambut Rendi keras-keras. Pasti pedih akibatnya pada kulit kepalanya. Tetapi rupanya itu juga menjadi kenikmatan tersendiri pula baginya.
Kemudian, rasanya Rendi sudah tak mampu lagi menahan kontolnya yang ingin segera menembus nonokku. Rendi lepaskan wajahnya dari selangkanganku dan merangsek naik menindih tubuhku. Dengan memagut bibirku kuat-kuat, tangannya memegang kontolnya yang aduhai itu, mengarahkannya ke nonokku yang dengan cepat pula kuraih. Kontol itu kutepatkan posisinya pada lubang memekku dan, bless.., Oohh.. legit sekali. Kontol besar panjang nikmat bertemu dengan memek yang basah tetapi sempit. Aku terlempar kembali ke sejuta langit kenikmatan. Kupeluk tubuh Rendi dengan penuh hangatnya birahi dan nafsuku. Pantatku kugoyangkan untuk menenggelamkan sepenuhnya kontol Rendi ke dalam memekku.
Dinding-dinding memekku langsung terasa menguncup meremasi batangan kontol besar itu. Saraf-daraf pekaku bergerak menjepit dan melumat ketat batangan itu seakan tidak akan dilepaskannya lagi. Dan saat Rendi menariknya ke atas untuk kembali ditusukkannya, tak bisa kuhindarkan lagi teriakan nikmatku. Aku mendengus-dengus seperti sapi betina. Kuangkat kakiku untuk menjepit pinggul Rendi dan pantatku naik turun dengan cepat menjemput dan menarik kontol Rendi dalam memekku. Seluruh tubuhku bergetar dengan hebat.
Rendi langsung memompa dengan cepat dan keras. Batang kontolnya terasa seperti batu panas yang terus naik turun dan keluar masuk dengan hebat di memekku. Ciuman dan lumatan gilanya bersambut dengan lumatan gilaku juga. Kami berdua tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang bertalu-talu. Akhirnya Rendi yang tak mampu bertahan lagi, memuntahkan spermanya langsung ke dalam memekku. Aku sepenuhnya tidak keberatan. Bahkan sangat merindukan untuk merasakan hangatnya semburan sperma Rendi dalam memekku ini. Aku menyambutnya dengan terus menggoyang-goyang pantatku dan memekku memerasnya hingga seluruh sperma Rendi habis.
Dan tepat pada saat tetes terakhir sperma Rendi, aku kembali merasakan desakan nikmat seperti akan kencing seperti halnya yang kurasakan kemarin di rumah. Aku akan meraih kembali orgasmeku yang sejak 15 jam terakhir sungguh-sungguh kunantikan. Dan saat orgasme datang, aku sudah tak sadar lagi, betapa emosiku yang langsung meledak oleh nafsu birahiku dengan tak sadar telah menancapkan dan menggoreskan kukuku ke punggung Rendi. Persetan. Rendi berteriak kesakitan atas goresan di punggungnya itu. Tetapi dia teruskan saja kocokkan kontolnya dalam upaya membantuku meraih kepuasan orgasmeku.
Begitu usai kami berdua langsung jatuh tergolek di kasur. Tangan-tangan kami terentang untuk menghela nafas-nafas kami agar mudah menarik oksigen villa Bogor yang sejuk ini. Aku dan Rendi terlelap beberapa waktu. Saat aku terbangun jam sudah menunjukkan pukul 5.10 sore. Kubangunkan Rendi. Rasanya masih enak untuk terus tidur. Tetapi kami takut kemalaman sampai Jakarta. Hari ini kami harus cukup puas dengan hanya sekali mendayung kenikmatan dalam lautan perselingkuhan yang nikmat ini.
Dan aku langsung sepakat saat Rendi mengajakku untuk terus mengisi hari-hari sebelum Mas Adit pulang untuk bersama mengarungi samudra nikmatnya perselingkuhan ini. Besok dia akan kembali menunggu di suatu tempat yang belum ditentukannya. Dia berjanji akan meneleponku besok pagi.
Pukul 8 malam, dengan taksi Blue Bird aku sudah sampai di rumah kembali. Aku turun dari taksi tanpa lupa kembali memakai blus lengan panjangku untuk menyembunyikan gaun sensualku yang menampakkan bahu mulusku. Malam itu aku tidur sangat nyenyak dengan mimpi-mimpi indahku. Setelah aku meminum segelas besar juice tomat ditambah semangkuk sedang yoghurt campur madu aku, langsung tertidur dan di jemput mimpiku.
Aku sepertinya sedang terbang di atas awan yang tinggi. Di bawah sana kulihat Mas Adit berada di bukit yang luas dengan rumput yang sangat hijau. Kulihat dia membawa kertas-kertas catatan dan blue print proyek. Dengan topi helm proyeknya dia menengadah ke atas, melihatku dan melambaikan tangannya. Aku datang dan kami langsung berpelukan. Lama bibirnya melumat bibirku. Kemudian rasanya aku menerima roll meter darinya. Aku berlari ke ujung bukit menarik roll meter itu mengukur panjangnya halaman. Kemudian aku berlari kembali ke pelukannya.
Sesaat Mas Adit melepaskan pelukannya untuk beranjak menuju semak rerumputan yang penuh bunga liar. Dia petik setangkai dan diciumnya. Kemudian dia serahkan bunga itu kepadaku. Aku ikut menciumnya. Dia buka blue print di tangannya. Itu adalah gambar rumah kami. Rumah mungil di atas bukit. Ada burung-burung yang terbang bebas. Ada luncuran anak yang berwarna biru. Ada tanaman cabai yang menjadi kesukaan kami berdua. Aku terbangun karena suara teleponku yang berdering. Kulihat jam menujukkan pukul 9.05 pagi. Aku telah tertidur lebih dari 10 jam. Aku turun dengan dengan cepat dari ranjang menghampiri pesawat telepon dan kuraih. Di ujung sana kudengar suara Mas Adit.
"Kemarin aku telepon berkali-kali seharian. Kamu ke mana?", agak geragapan juga aku menjawabnya.
"Ini Mas, aku ke Senen, nyarikan kado buat anaknya Pak Targo tetangga kita yang berulang tahun. Terus aku antarkan dan yaa, jadinya ngobrol sama ibunya sampai jam 8 malam", demikian lancarnya untuk aku yang tidak pernah membohongi suamiku selama ini.
Mas Adit tidak lagi mempersoalkan hilangnya aku kemarin. Dia berkata bahwa kemungkinan ia akan pulang pada hari Senin. Dan dia ulangi lagi bahwa kain tenun yang kuimpikan juga sudah diperolehnya.
"Kini aku sudah tidak mengimpikan lagi kain tenun itu. Kini aku lebih senang mengimpikan kontol Rendi yang besar, panjang dan kepalanya yang mengkilap itu, Mass", ujarku (dalam hati, tentunya).
Saat aku mandi, kembali telepon berdering. Aku pastikan bahwa ini dari Rendi, dan ternyata memang benar.
"Kamu mau makan apa siang ini, Mbak?".
"Terserah Rendi saja".
"Mau Ribnya Tony Romas atau gado-gado pasar Blopo".
"Gado-gado? Boleh juga".
"Gado-gado saja Ren, lagian tidak terlalu jauh dari rumahku".
Hari ini aku memilih mengenakan celana jeans ketatku, dengan blus kaos oblongku yang pendek modelnya, yang memang didesain untuk memperlihatkan pusar pemakainya. Aku memang ingin menunjukkan pusarku pada Rendi agar nafsu birahinya terbakar lebih hebat lagi.