Cerita Dewasa:
Sonny Amulet 2: Roman Picisan - 3
Dari bagian 2
Akhirnya Mbak Widya mau meminjamkan mobilnya dengan syarat aku harus nganterin dia pulang sebelum jemput Denita nanti malam. Selain itu mobilnya harus langsung dibalikin malam itu juga.
"Tapi nanti habis nge-drop kamu di kampus, Mbak ada urusan sampai sore.. Kamu tunggu aja di flat.. Nanti sore Mbak ke sana ok?"
"Ok deh.. Terserah lah yang penting malam ini Sonny pake mobilnya" kataku dengan antusias.
Mbak Widya kemudian mengantarku sampai ke kampus kemudian setelah memindahkan peralatan komputer yang baru saja dibeli, akupun segera pulang ke flat-ku dengan perasaan tidak sabar menantikan kencanku dengan Denita.
Pukul lima sore,
Aku telah bersiap-siap dengan 'full atribut' buat nge-date. Entah kenapa aku merasa kalau malam itu aku harus tampil 'prima' sampai-sampai dicermin aku ngerasa malu sendiri. 'Gile benar' pikirku, sudah lama aku nggak se-niat ini janjian sama cewek. Mungkin karena kali ini aku ngerasa kalau Denita itu adalah gadis yang cukup berkelas sehingga aku-pun harus berusaha tampil 'classy'. Selain itu pikirku Denita di Australi mungkin terbiasa nge-date dengan gaya barat dengan cowok-cowok bule disana dan seperti yang aku liat di film-film, cowok-cowok bule-kan biasanya romantis (sejujurnya saat itu aku sendiri nggak yakin, apa aku ini romantis atau malah blo'on).
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dipintu diiringi suara yang familiar "Son.." Suara Mbak Widya terdengar sangat menyejukan karena aku sempat gelisah kalau dia terlambat. Soalnya aku khan musti nganterin dia pulang dulu baru jemput Denita. Begitu pintu kubuka, Mbak Widya langsung masuk dengan agak tergesa-gesa.
"Lho kenapa Mbak?" tanyaku bingung.
"Sebentar Mbak mau ke kamar mandi dulu.. sudah dari mobil tadi nahan pipis," jawab Mbak Widya langsung ngeloyor ke kamar mandi.
"Brak!" terdengar suara pintu kamar mandi ditutup langsung mengingatkan aku pada sesuatu.
'Walah kameranya probe'nya khan masih terpasang dan belum sempat aku beresin lagi dari kemarin!! Perasaan kuatir melintasi benakku namun dengan otomatis aku bergegas ke arah TV dan menyalakannya. Ironis juga sih, aku sama sekali nggak menyangka kalau 'korban' pertama dari 'hidden kamera' itu adalah kakak-ku sendiri.
Dengan iseng aku menyalakan kamera itu sekedar memuaskan rasa penasaranku melihat seperti apa sih hasil 'bidikan' kamera itu. Kamera itu aku letakan di dalam keranjang di sela-sela tumpukan pakaian kotor. Karena posisi kameranya yang rendah, maka ketika dinyalakan yang terlihat hanyalah tubuh bagian pinggang ke bawah Mbak Widya yang berdiri membelakangi kamera. Karena WC di flatku bukan WC duduk tapi jongkok maka maka Mbak Widya melangkah ke atas injakan WC lalu berbalik menghadap kamera sambil tangannya terlihat merogoh kebalik roknya menurunkan celana dalamnya sebatas lutut.
Aku merasakan sensasi yang aneh karena jantungku mendadak berdebar kencang saat Mbak Widya mengangkat roknya kemudian berjongkok. Aku merasakan adanya 'conflict of interest' dalam diriku dimana hati kecilku merasa malu sendiri karena yang aku intip itu kakaku, namun disaat yang sama aku dilanda ereksi yang sangat kuat melihat organ kewanitaan Mbak Widya amat sangat ter-ekspos di depan mataku.
Dia berjongkok hingga kakinya membentuk posisi 'M'. Aku tidak berani melihat wajahnya walau dia tidak bisa melihatku. Dalam posisi seperti itu semuanya jelas terlihat mulai dari bagian pantatnya yang membentuk huruf 'W' hingga bibir kewanitaannya yang menyembul di bawah rimbunan hitam bulu-bulu kemaluannya. Sangat jelas hingga aku bisa melihat tahi lalat yang terletak persis disebelah kiri organ kewanitaannya. Aku sudah biasa melihat kemaluan wanita namun karena yang ini milik kakak-ku sendiri, aku merasa dengkul menjadi lemas dan perutku seperti mual karena tidak menyangka kalau aku bisa begitu terangsang melihat 'bagian rahasia' milik Mbak Widya.
Dulu Mbak Widya kulitnya sedang-sedang saja, namun sekarang dia tampak sangat putih dan mulus. 'Hmm jelas dia pasti merawatnya dengan telaten. Aku segera mematikan kamera dan televisi karena tidak sanggup menahan perasaan bersalah itu. Kesal juga aku melihat kelakuan 'Si Junior' dibalik celana dalamku yang tetap saja ereksi membabi-buta tanpa perasaan bersalah. Sudahlah, aku tidak ingin membahasnya lebih lanjut karena aku kuatir kualat dan kencanku dengan Denita bakalan gagal total akibat dosa ngintipin Mbak Widya.
Sesaat kemudian aku segera mengantarkan Mbak Widya pulang kerumahnya dengan berusaha menyembunyikan perasaan bersalahku kepadanya. Rupanya akibat kegiatan panjang seharian yang cukup melelahkan, Mbak Widya banyak diam selama perjalanan. Sesekali dia menenggak air mineral dalam botol yang menjadi kebiasaannya. Dia sempat bertanya mengenai Denita dan minta aku bercerita awal mula aku bertemu dengannya.
"Tapi lain kali kamu harusnya nggak usah berlebihan dalam memperlakukan cewek" katanya dengan nada menasihati.
"Kenapa sih nggak mau pake mobil kamu sendiri? Nggak usah gengsi-gengsian dong.. Nanti kamu terjebak sendiri.. Biasain kamu tampil sebagaimana adanya diri kamu.. Cewek tuh suka cowok yang nunjukin respek bukan perhatian gombal dan picisan" ujarnya panjang sampai seolah dia bicara sendiri.
Nah itu satu-satunya hal yang nggak aku suka dari Mbak Widya.. kalau bicara suka panjang banget sehingga pas giliran aku ngomong, bingung mau jawab yang mana.
"Iya.. Ini juga sekali aja koq.. Soalnya mobil Sonny aki-nya lagi soak.. Khan Mbak sendiri suka bilang kalau tidak ada kesempatan kedua buat kesan pertama" jawabku.
Sejujurnya aku masih merasa bersalah sama Mbak Widya karena kejadian tadi. Kesalahan seperti itu yang menurutku guilty feeling-nya paling besar. Mending kalau langsung dimarahin sama yang bersangkutan. Tapi kalau kita berbuat salah tanpa disadari oleh si 'korban', justru lebih terasa besar perasaan bersalah yang ditanggung. (Tapi kali ini sejujurnya aku bersyukur Mbak Widya nggak tahu.. Soalnya enggak bisa dibayangkan kalau dia sampai tahu).
Setelah melewati lalu-lintas yang padat sore itu, akhirnya sampai juga di rumah Mbak Widya di daerah Bintaro. Seperti biasa setiap kali Mbak Widya tahu aku mau nge-date dia selalu bilang" Ingat Son.. Cara paling baik ngelakuin save sex adalah no sex at all" Dan seperti biasa aku selalu melakukan sebaliknya.. Atau setidaknya untuk kencan malam ini.. Berusaha melakukannya! (Denita.. Here i come.. Hehehe!).
Pukul setengah sembilan malam,
Aku menjemput Denita di butik milik ibunya-nya di daerah kebayoran lama. Begitu aku keluar dari mobil, Senyum Denita tampak tersungging cerah dari balik pintu kaca butik. Dia segera keluar dan manyambutku dengan ciuman di pipi. 'Walah aku sama sekali tidak menyangka bakal mendapat sambutan seperti itu. Betul-betul diluar skenario! Sikap Denita terlihat sangat 'mesra' seakan kita telah kenal lama atau bahkan seperti kekasihku saja. Akupun segera menyesuaikan sikap dengan gaya 'let it flow' seperti yang dia tunjukan.
Sempat aku diperkenalkan kepada beberapa pegawai di butik itu yang sepertinya sangat akrab dengan Denita. Malam itu ibunya Denita sudah pulang duluan jadi aku tidak sempat bertemu. Kami lalu segera meluncur menuju sebuah cafe di kawasan Kemang.
Sepanjang perjalanan Denita banyak berbicara tentang hal-hal yang biasa dilakukan di Melbourne di saat seperti ini. Rasa percaya diriku makin tumbuh melihat Denita yang sangat 'comfort' padaku. Sifatnya demikian hangat hingga kita dengan mudah 'get along' bagaikan dua orang yang sudah lama kenal. Ternyata kita memiliki banyak persamaan. Khusus masalah hobi, Denita juga ternyata adalah pecandu komputer dan katanya dia sering online selama berjam-jam. Klop deh sama aku. Aku jadi berharap kalau dia juga memiliki 'hobi' lain yang sama denganku (hehehe).
Begitu tiba, Denita segera menggandeng tanganku mesra dan berjalan mendahuluiku memasuki cafe dengan penuh percaya diri. Denita mengenakan kaos ketat berlengan 3/4 berwarna peach dengan 'V' neck yang sangat rendah hingga belahan indah dibagian dadanya terlihat. Dia mengenakan rok pendek berwarna hitam dengan belahan yang sangat tinggi kira-kira sejengkal saja dari pinggangnya. Jujur saja aku kurang begitu comfort dengan cara berpakaian Denita. Aku memang sangat menyukai cewek berpakaian sexy namun gaya berpakaian Denita cenderung vulgar dan agak terlalu 'show off'. Mungkin karena terbiasa di luar negeri hingga dia sangat comfortable berpakaian seperti itu.
Begitu pikirku mencari pembenaran atas judgement-ku sendiri. Denita memiliki tinggi badan hanya sekitar 155 cm namun postur tubuhnya yang 'ramping' dan proprsional mambuatnya terlihat lebih tinggi. Dia memiliki sepasang kaki yang panjang dan terlihat begitu kencang kokoh diatas sepasang sepatu terbuka ber-hak tinggi yang dikenakannya. Tubuhnya tergolong kurus namun memiliki sepasang bukit yang ranum dan 'firm' di bagian dadanya. Wajahnya sebenarnya biasa saja, namun garis tulang pipinya yang tinggi berpadu dengan hidung bangir serta sepasang mata yang tajam dan penuh misteri menghasilkan kesan unik dan sensual.
Kulitnya yang putih cenderung pucat justru membuatnya begitu 'seductive' dalam keremangan lampu cafe. Selanjutnya kami berdua-pun tenggelam dalam suasana cafe yang menyenangkan dan cukup romantis itu. Tidak seperti kebiasaan cewek pada umumnya dalam memilih minuman di cafe, Denita sangat menyukai bir. Bahkan nyaris menghabiskan satu pitcher bir lokal seorang diri! Dia mengakui bahwa kebiasaan itu didapatnya selama tinggal di Aussi. Akupun mengakui kemampuan minum Denita. Sama sekali tidak terlihat tanda-tanda kalau dia mulai mabuk.
Omongan serta tatapan matanya tetap saja fokus dan derai tawanya yang lepas terdengar belum ngelantur. Terus terang saja aku sempat rada 'g-r' ketika Denita mengatakan bahwa selama dia berada di sini, baru kali ini dia bisa bertemu dengan seorang pria yang bisa mengimbanginya dalam pembicaraan yang serius. Denita memang seorang gadis yang jelas 'punya otak' dan bukan hanya 'punya badan' doang. Walaupun baru berumur 18 tahun, wawasannya begitu luas. Berbeda dengan cewek-cewek yang pernah nge-date sama aku, Denita adalah satu-satunya cewek yang omongannya tidak cuma masalah shoping, fashion atau hal-hal 'gaul' seperti pada umumnya cewek seumurannya (bahkan yang lebih tua darinya).
Kami bicara mulai dari penilaian pribadi satu sama lain hingga ke masalah kuliah, politik bahkan sejarah (what a lady!). Dia juga memuji kemampuan bahasa inggrisku yang katanya cukup baik. Kami ngobrol dalam pembicaraan yang 'bilangual, karena Denita ngomongnya campur Indonesia sama inggris. Bahkan aku sempat kagum akan keramahannya sampai-sampai dia sempat ngajak ngobrol seorang waitress yang malayani table kami dengan bahasa sunda (oh iya Denita itu campuran Sunda-Jawa). Pokoknya dia adalah tipe orang yang gampang 'say hi' dan bergaul.
Gayanya yang intelektual dan dominan mengingatkanku akan gaya Mbak Widya. Yang membedakan mungkin selain usia adalah cara berpakaian. Jelas gaya berpakaian Mbak Widya yang 'classy' sangat kontras dengan gaya berpakaian Denita yang 'seronok'.
Ke bagian 4
Gskahacvwbw
Nsjahhwgcwgwj
Soagakahshs
Ufdjh