Cerita Dewasa:
Iparku Yang Kesatu 01
Entah dapat durian runtuh darimana, tiga dari iparku, pernah bermain cinta denganku. Padahal aku bukan termasuk tipe pengejar cinta. Walaupun pengalaman sex-ku cukup lumayan banyak, Tapi aku bukan sex maniak. Ini adalah seri percintaan dengan ipar iparku yang kalau aku punya waktu akan aku tuliskan untuk anda, dan sekedear melepaskan uneg uneg hatiku, karena selama ini cerita ini hanya kupendam untuk diriku sendiri.
Aku biasa memanggilnya Mbak Rina (samaran), wajahnya tidak terlalu cantik, tetapi wajahnya lembut dan tubuhnya putih langsing. Dia adalah istri dari kakaknya istriku. Usianya sekitar 45 tahunan, kedua anaknya kuliah di luar kota, sedangkan suaminya mempunyi pekerjaan yang mengharuskan dia jarang ada di rumah. Dia tinggal di Jakarta, sedangkan aku di kota S, namun demikian aku sering ke rumahnya karena hampir tiap bulan aku dinas ke Jakarta. Atas permintaan istri, aku selalu diminta untuk mampir untuk sekedar memberikan oleh-oleh untuknya.
Hal ini berjalan bertahun tahun, walaupun aku lebih sering ketemu dengan Mbak Rina tanpa di dampingi suaminya, tetapi kami tidak pernah melakukan hal yang tidak sopan. Apalagi perbuatan, berpikir ke arah sana pun aku tidak pernah. Hingga suatu hari, peristiwa itu terjadilah.
Sore itu selesai rapat dinas di Jakarta, aku segera menelpon ke Mbak Rina bahwa aku membawa titipan dari istriku dan kalau Mbak Rina tidak kemana-mana aku akan mampir ke rumahnya. Setelah mendapat konfirmasi, segera aku kembali ke hotel untuk mengambil kerupuk mentah titipan istriku dan tasku untuk check out. Memang aku merencanakan dari rumah Mbak Sri aku mau langsung ke Pulogadung untuk langsung pulang ke kotaku naik Bis malam.
Aku sampai di rumahnya yang asri dan luas jam sekitar 17.00. Tidak seperti biasanya, tampak rumah sedang keadaan setengah dibongkar, dan terlihat beberapa tukang sedang berbenah untuk pulang. Aku disambut dengan gembira dengan ciuman pipi (biasa kami lakukan di antara keluarga).
"Wah Dik Ton, maaf ya rumah masih berantakan, mau direnovasi dan baru tadi Mas Slamet (suaminya) berangkat, sayang nggak ketemu ya." ujarnya.
"Iya Mbak, hampir setengah tahun saya nggak jumpa sama Mas Slamet." balasku.
Kami terlibat pembicaraan yang hangat dan akrab, sampai hari mulai gelap dan Mbak Rina menyuruhku mandi.
"Mandi dulu Dik, di kamar saja, soalnya kamar mandi satunya dibongkar. Disana sudah saya sediakan sarung dan handuk bersih."
"Ya Mbak."
Aku segera ke kamar mandi utama, sungguh luas kamar mandinya. Walaupun aku sering mandi di rumah ini, tetapi baru kali ini aku mandi di kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya.Selesai membersihkan diri, masih dalam keadaan telanjang aku gosok gigi menghadap ke cermin. Tanpa sengaja mataku melihat sesuatu yang aneh menyelip di belakang cermin. Dengan penuh rasa penasaran kuambil barang itu, dan aku terkesiap ternyata barang itu adalah kontol buatan (dildo), segera barang itu kukembalikan ke tempatnya tanpa merubah posisi.
Aku baru sadar bahwa Mbak Rina di balik wajahnya yang lembut dan polos adalah tetap seorang wanita yang membutuhkan pemenuhan biologis. Aku yakin barang itu adalah pemberian suaminya, sebab sangatlah tidak mungkin kalau Mbak Rina menerima dari orang lain atau membeli sendiri. Aku pun jadi teringat cerita istriku bahwa sudah lama Mas Slamet mengalami gangguan sex, karena penyakit yang dideritanya.
Membayangkan Mbak Rina menggunakan dildo tersebut, aku jadi terangsang dan entah dari mana ide ini datang bahwa aku bermaksud untuk mengajak bercinta Mbak Rina malam ini. Ya. Malam ini aku harus menginap disini. Sempat kuelus-elus kontolku, yang sudah terangsang betul, tapi tidak sampai muncrat, karena aku masih punya tujuan yang sangat kurahasiakan. Kupakai sarung dan kaos pinjaman tanpa CD.
Tidak berapa lama Mbak Rina mengajakku makan malam, dia masih belum tahu maksud jahatku. Kulihat pembantunya yang masih muda menyiapkan segalanya. Di meja makan aku mulai melancarkan strategi yang sudah kususun dengan rapih.
"Mbak, saya malam ini sudah nggak dapat jatah di hotel, harusnya malam ini saya pulang, tapi saya capek. Apa boleh nginep di sini..?" tanyaku.
"Lho saya kan sudah bilang dari dulu kalau dinas itu nggak usah nginep di hotel, nginep sini aja. Ya tentu saja boleh. Cuman gimana ya, kamar anak-anak sedang dibongkar." ujarnya.
"Nggak apa-apa Mbak, saya tidur di kursi saja."
Selesai makan malam, kami ngobrol berdua sambil nonton TV, sengaja pembicaraan kuarahkan ke hal-hal yang nyempet-nyrempet. Kadang Mbak Rina tertawa renyah, kadang wajahnya tersipu-sipu malu. Setelah beberapa lama dia mulai akrab berbicara tentang sex, dan aku menduga birahinya juga bangkit. Tetapi aku masih ragu-ragu, bahkan aku tidak berani untuk memulai.
"Kalau Mas Slamet lagi pulang, semalem bisa dua kali tiga kali dong Mbak. Ngrapel kan..?" kataku pura-pura.
"Lho.., Dik Sri (istriku) apa nggak pernah cerita..? Mas Slamet itu sudah agak lama impoten. Jadi gimana lagi. Lagian saya kan udah umur, anak-anak udah gede-gede." katanya.
"Maaf Mbak saya enggak tahu, tapi siapa bilang sudah berumur..? Mbak masih cantik, masih sexy. Terus gimana kalau lagi pengen..?" aku mencoba merayu.
Tanpa terasa kontolku mulai mengeras. Karena aku tidak memakai CD, maka burungku mencuat di bawah sarung, dudukku segera kuperbaiki untuk menutupi tonjolan sarungku. Tetapi terlambat, Mbak Rina melirik ke sarungku, wajahnya tampak memerah. Aku tidak tahu apa yang ada di balik batinnya.
"Sudah ah, saya mau tidur, sebentar saya ambilkan bantal ya..?" dia berdiri masuk ke kamar dan mengambil batal serta selimut untukku.
"Selamat tidur ya, besok mau dibangunkan jam berapa..?"
"Jam lima Mbak."
Aku sangat menyesal, usahaku yang tadinya kuyakini dapat berhasil ternyata gagal total. Aku pikir aku terlalu ragu-ragu, terlalu penakut.
Satu jam telah berlalu, tapi aku tidak berhasil memejamkan mataku. Pikiranku masih tertuju pada Mbak Rina. Akhirnya kubulatkan tekad melaksanakan rencana lanjutan. Aku harus berhasil. Sambil meneteng bantal, dengan berdebar-debar kuketok pintu kamarnya. Tidak ada jawaban. Kuketok lagi kamarnya dengan agak keras, kutunggu. Akhirnya terdengar anak kunci yang diputar dan pintu kamar terbuka.
Di depanku berdiri seorang bidadari yang memakai daster tidur yang tipis, tergantung dengan tali kecil di pundaknya yang putih mulus. Hampir aku tidak tahan menahan gejolak birahiku, tetapi kutahan dan aku berusaha bersikap wajar tanpa dosa.
"Sorry Mbak, saya nggak bisa tidur. Banyak nyamuk di luar, boleh saya tidur di dalam..? Di lantai juga nggak apa-apa." kataku.
Dia tidak berkata apa-apa, mungkin dia merasa tidak enak kalau menolak.
Aku segera masuk kamarnya dan meletakkan bantal di bawah tempat tidurnya, dan menggeletakan badan di sana. Mbak Rina terlihat salah tingkah, dia tidak segera tidur tapi masih mondar mandir.
Akhirnya dia berkata, "Dik Ton tidur di atas saja, saya nanti di pinggir sini."
"Terima kasih Mbak."
Aku segera pindah ke tempat tidurnya, dan dia sendiri mengambil tempat di pinggir dan membelakangiku.
Kupandangi pundaknya yang putih mulus, pinggulnya, ingin rasanya aku memeluk dan membelainya, namun aku tidak berani. Lama kami berdiam diri, walaupun aku yakin dia belum tidur. Kuberanikan diriku untuk bergeser mendekat, kumiringkan tubuhku menghadap ke punggungnya, jarak kami hanya beberapa centimeter. Walaupun kami tidak bersentuhan, tapi aku yakin dia tahu kalau aku menggeser mendekati dia. Tidak ada reaksi darinya.
Dengan dada yang berdegup keras aku memberanikan diri berbicara, "Mbak Rin, saya boleh memeluk ya..? Biar anget..!" sambil kupeluk dari belakang tubuhnya tanpa persetujuannya.
"Tapi meluk aja ya Dik Ton..!" jawabannya sungguh membuat hatiku plong.
Birahiku semakin tinggi, kemaluanku sudah tegang penuh tapi aku berusaha untuk tidak ceroboh. Kupeluk Mbak Rina dengan lembut tetapi tetap kujaga jarak agar kemaluanku tidak menyetuh tubuhnya. Kuelus tangannya, pundaknya dan kuremas jari tanganya, dia diam saja.
"Mbak Rin, kulitnya halus sekali ya. Tiap minggu ke salon ya Mbak..?" aku mulai merayu.
"Ah enggak koq, saya enggak pernah ke salon kecuali kalau potong rambut." jawabnya.
Suaranya sedikit bergetar. Dan aku makin yakin bahwa Mbak Rina mulai menikmati dekapanku dan elusan tanganku. Pelan-pelan kusingkapkan kain sarungku. Karena aku tidak memakai CD, maka burungku yang sudah terangsang dan tegang keras keluar dari sarangnya tanpa sepengetahuan Mbak Rina. Dekapanku ke Mbak Rina makin kuperketat, kemaluanku kutempelkan di pantatnya yang masih terbalut dengan dasternya yang tipis. Kurasakan denyut kenikmatan di sepanjang kontolku.
"Dik Ton, ini apa koq keras banget di belakang..? Aku nggak mau lho kalau macem-macem..!" nadanya mengancam.
"Nggak apa-apa koq Mbak, aman. Biasa Mbak, Yuniorku ini nggak bisa dekat sama perempuan cantik. Apalagi sudah seminggu lebih isinya nggak dikeluarin, habis Sri lagi palang merah." jawabku berbohong.
Kutelusupkan tanganku ke bawah lengannya sehingga tanganku menempel pada buah dadanya. Di balik dasternya kurasakan dia tidak memakai BH.
"Kalau lagi pengen gituan gimana Mbak..?" tanyaku memancing.
"Biasanya Mas Slamet yang bantu, pakai tangan. Lama-lama terbiasa koq, nggak ada masalah."
"Kalau nggak ada Mas Slamet..?" kejarku.
"Ya udah, ditahan aja, nunggu dia pulang."
Ternyata dia tidak mau berterus terang soal dildonya. Dan aku pun tidak berani menanyakannya. Tanganku mulai mengelus-elus pangkal dadanya yang terbuka, dia diam saja, dan aku pun tambah terangsang. Tetapi berkat pengalaman sex-ku, aku mampu mengendalikan diri untuk tidak terburu. Justru tahapan demi tahapan kunikmati betul.
Kulepas tali daster yang ada di pundaknya sehingga buah dadanya separuh terbuka. Kupindahkan elusanku ke buah dadanya yang berukuran sedang. Ketika telapak tanganku melewati bobanya, kurasakan bobanya sudah mengeras, tapi gerakanku terhenti ketika tangannya menahan tanganku.
"Dik Ton, yang itu nggak boleh, nanti kebablasan, soalnya saya nggak tahan kalau tetek yang dipegang-pegang..!"
Kuhentikan elusanku, tapi tanganku tetap memegang buah dadanya, dan kelihatannya dia tidak keberatan.
"Kan ada aku Mbak. Nanti saya bantu dengan tangan atau lainnya."
"Nggak mau ah, nanti ketagihan jadi berabe. Apalagi kalau sampai ketahuan orang."
Dalam posisi kupeluk dari belakang, dia menggeser tubuhnya merapat kepadaku. Bersamaan dengan itu kusingkapkan dasternya ke atas, sehingga paha yang mulus sudah tebuka penuh dan membuatku kaget, ternyata dia tidak memakai CD. Kusesuaikan posisi ujung kontolku agar dapat kuselipkan di belahan paha dekat kemaluannya. Kuelus-elus paha belakangnya sambil sedidikt kudorong kemaluanku ke depan.
Dia diam saja, dan usahaku menyelipkan burung di pangkal paha ternyata berjalan lancar, karena disamping cairan memeknya sudah membasahi luar kemaluannya sehingga pangkal pahanya licin, juga karena dia sedikit membuka pahanya untuk memberi kesempatan padaku menyelipkan burungku utuh di antara paha atasnya. Kontolku berdenyut nikmat sekali, tapi aku tetap terkontrol.
Bersambung ke bagian 02