Cerita Dewasa:
Kehidupan yang Indah 03
Sambungan dari bagian 02
Aku baru sadar waktu Anya membuka mata menatapku. Aku cuma bisa senyum lalu menunduk sedikit. Aku salah tingkah sekali. Tapi mungkin Anya menganggapnya berbeda. Dia bangun dari posisi tidurnya, mengambil daguku perlahan. Lalu ia terpejam, meraba pipiku sambil berbisik, "Vi, ini Anya." Terus kami berciuman lembut, tidak menjadi buas. Memang dasarnya aku saja kali yah yang nakal, aku mulai menurunkan ciumanku ke arah leher dada, menjilati ke dua buah dadanya. Tanganku terus meraba punggung Anya. Anya hanya bersandar pada kedua tangannya, membiarkanku memberi banyak kecupan basah pada dada yang bulat mengacung ke atas itu. Mengindrai perut Anya dengan lidahku, juga menyenangkan untukku. Tapi lama kelamaan jadi ketebak deh arah dan tujuannya, ya ke situ-situ juga ujung-ujungnya.
Saat jilatan-jilatan lidahku sampai ke perut bawah, di bawah pusarnya, Anya mengelus halus pipiku. Saat aku menengadah mencari tahu, Anya hanya menggelengkan kepalanya sedikit. Suatu larangan bukan. Okay, dalam hatiku. Jujur, padahal waktu itu aku kepingin sekali merasakan cairan-cairan yang keluar dari kemaluan Anya. Pingin banget. Anya tetap menempelkan jemarinya di pipiku, sambil ia sendiri mencari posisi untuk tidur. Kutunggu Anya sebentar untuk sempat merapikan sebuah bantal dan rambutnya sebelum ia menarik pelan belakang kepalaku untuk bercumbu lagi dengan menidurinya. Ia menyambut dengan isyarat kedua tangan terbuka, dan kedua paha yang dibuka untuk menyambutku. Aku merangkak pelan dari bawah, saling menatap kosong pada kedua mata kami. Rambutku dielus, dan sejalan dengan itu, tubuhku perlahan-lahan turun menindihnya. Ada tempelan kedua toket hangat di dadaku. Kemaluan kelakianku semakin terasa hangat memanas diapit oleh kedua perut kami.
Aku begitu menikmati suasana itu, entah sepertinya aku dan Anya hanya bertatapan kosong. Arah mata yang hanya saling bergerak ke kiri dan ke kanan melihat kepada mataku dan dia. Tatapan itu benar-benar dalam, dan aku juga benar-benar terbawa hanya karena tatapan itu. Dalam, iya itu kata yang tepat. Aku bisa merasakan dada Anya bergerak. Denyutan kemaluanku yang terapit itu juga bisa terasa pada perut kami. Aku mengecup bibirnya sekali, lalu kembali menatapnya lagi. Anya hanya menjalankan tangannya pada punggungku, berjalan-jalan pada titik keringat yang kian tersebar dimana-mana. Tangan kecilnya mencoba mencengkram bulatan pantatku. Menggaruknya sekali-kali. Kami terus bertatap seakan tidak peduli apa yang terjadi di bawah karena kami telah sama-sama mengetahuinya dari tatapan kami yang tanpa kata. Bahkan kini Anya, menyelipkan tangannya di antara perut, menggenggam kejantananku. Aku hanya mengangkat pantatku untuk memberikannya keputusan ke Anya, mau dibawa kemana punyaku itu. Anya membawanya mendekati kemaluannya. Kemaluanku sempat diraba-rabanya dahulu, bahkan sampai ke bagian biji yang menggelantung di sana. Kemudian batang kemaluanku diusap-usapkan pada ujung kemaluannya. Benaran aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan waktu itu, soalnya aku hanya terus berpandangan tanpa pernah melihat ke bawah.
Aku sempat memajukan pinggangku agar sedikit masuk di dalam bibir vertikal itu, namun Anya menahannya. Itu aku rasakan waktu tangan Anya yang berada di atas pantatku, tiba-tiba bergerak ke pinggangku. Jadi akhirnya ya, kubiarkan aku menahan pantatku, agar Anya bebas bermain dengan ujung kemaluanku yang memang besar pada bagian itu. Tak lama setelah itu, Anya yang kian melebarkan bukaan pahanya. Dan di atas pantatku terdapat dorongan kecil dari jemari Anya. Secara naluri aku memajukan sedikit pantatku. Anya mengangguk kecil, seakan menjawab pertanyaan mataku tentang keraguanku sendiri tentang kepastiannya untuk melakukan ini. Aku hanya mengikuti bahasa Anya dari jemarinya yang ada di pantatku dan satu lagi jemari yang memastikan posisi kelaminku pada liang kemaluannya.
Aku hanya merasakan kepala kemaluanku ditekan kuat pada seluruh permukaannya secara merata oleh kelamin Anya. Dan di ujung kelaminku, aku merasa agak dingin. Anya menekan pantatku terus perlahan, dan berhenti, kemudian mengisyaratkan menekan lagi. Aku hanya merasakan melalui tatapan mataku, benaran aku sama sekali tidak melihat kemana-mana. Aku bisa merasakan, Anya menarik nafas lewat mulutnya, walau kadang seperti orang kepedasan sedikit. Aku bisa melihat otot pipinya cepat tertarik seperti tertawa yang dibatalkan. Waktu sudah dapat dipastikan bahwa setengah kelamin kami saling menyatukan diri, Anya kini buru-buru menaruh kedua tangannya pada pantatku. Melebarkan jemarinya menelungkup pada bundaran pantatku. Lalu tangan itu mendorong pelan agak lama. Aku hanya mengikuti dorongan jemari itu, dan hasilnya perlahan pasti semua kelaminku telah masuk bersatu dalam liang kemaluan Anya. Dan dalam detik-detik itu, mata Anya memutih meredup, meskipun tidak berkedip. Bola mata hitamnya menghilang ke atas yang mungkin kenikmatan.
Anya kembali lagi menatapku dengan mulutnya yang terbuka tipis dan sesekali dijilat. Satu kalimat Anya yang aku tidak lupa adalah, "Anya ngerasa penuh dengan kamu." Aku tidak menjawab, benaran aku tidak konsen habis. Aku ingin sekali langsung kugoyangi itu pantatku, wah pokoknya doktrin gaya film bokep di otakku banget deh. Aku sendiri juga heran, kenapa akhirnya aku tetap diam saja yah. Tahu tidak apa yang membuat aku berhenti dari pikiranku yang tidak-tidak itu. Tiba-tiba batang kemaluanku dijepit tiga kali dengan Anya. Satu dua tiga. Masih saling bertatap, tapi jelas aku tahu apa yang dia lakukan barusan di bawah sana. Dari tatapanku seakan aku bilang, hayoo nakal yah kamu. Aku coba menarik batang kemaluanku, agak terasa geli sedikit sih, lalu pelan sekali aku masukan lagi. Sesuai tanda dari ibu guruku yaitu tangan Anya yang ada di pinggang dan pantatku. Anya menjepit lagi di bawah sana dua kali, lalu aku inisiatif saja menarik dan masukan pelan. Lama-lama jadi konstan sendiri deh. Punyaku dijepit dua kali, lalu keluarkan dan masukkan. Tapi kadang juga jadi ngaco juga sih. Anya juga jadi jarang menjepit-jepit lagi. Cuma tangannya saja yang konstan untuk memberi irama kapan aku harus menarik dan kapan aku harus memasukkan batang kemaluanku. Aku jadi suka berimprovisasi, aku sekali-kali memutar pinggangku, sehingga ber-efek seperti memutarkan kemaluanku waktu masuk ke liang kemaluan Anya.
Oh yah, seringkali pada saat melakukan ini, tiba-tiba pandanganku jadi hilang sama sekali. Tiba-tiba saja seperti aku tidak sadar, kadang seperti hilang melayang. Kembali lagi untuk menatap mata dan wajah Anya. Wajah Anya itu nafsuin banget deh, kadang dia memandang kosong ke seputaran wajahku. Kadang ya itu dia sampai seperti orang teler sayu matanya dan bola matanya menghilang ke atas. Mulutnya terbuka kalau sudah seperti itu. Dan saat-saat menatap, bibirnya terbuka kecil dan sering kali dibasahinya berulang-ulang. Atau malah kadang ia menggigit kedua bibirnya. Yang paling aku suka sekali adalah raut wajahnya yang tampak seringkali seperti menangis. Mulutnya terbuka tanpa satu katapun, alisnya demikian mengkerut, matanya sayu dan seringkali tertutup. Semula aku kaget melihat ekspresi ini loh. Tapi lama-lama aku tahu juga kalau itu ekspresi dia. Aku juga heran, padahal ini tidak seperti film bokep loh iramanya. Bukan yang cepat-cepat begitu. Cuma pelan tapi konstan, malah kalau bisa kubilang lebih lambat dari alunan kursi goyang. Yah, aku kan cuma mengikuti perintah tangan yang ada di pinggangku itu.
Aku tidak sempat menghitung berapa lama, aku terlalu dalam permainan saling menatap itu. Lagi pula aku sepertinya tidak peduli waktu dalam hal seperti itu, aku lebih mempedulikan seberapa dalam perasaan yang dibagi dan saling memberi hati yang melayani. Bagiku dengan posisiku yang berada di atas bukan berarti superior tentang kesombongan pria menjajah wanita yang di bawahnya. Aku justru berpikir bahwa aku justru melayani wanita. Itu makanya aku tetap berusaha untuk selalu mempertahankan irama yang konstan. Walaupun jujur banget, bahuku sudah sakit sekali. Aku mengganti banyak posisi tangan untuk menopang tubuhku. Bahuku lama kelamaan pegal sekali. Tapi dengan melihat wajah Anya yang merupakan gambaran kenikmatan dalam menyatukan kelaminnya, aku jadi enggan berganti sikap. Aku juga ingin untuk menyudahi permainan ini. Aku tahu bagaimana harus memulai sebuah permainan, tetapi tanpa pengetahuan untuk kapan dan bagaimana berhenti, itu juga bisa jadi celaka. Seperti mobil yang mampu mencapai kecepatan maksimum, tapi tidak punya teknologi rem untuk berhenti, itu akan mencelakakan. Aku tidak ingin cepat-cepat berhenti, bukan seperti layaknya pria perkasa yang berpikir kalau bisa dua tahun yah dua tahun deh untuk tidak ejakulasi. Aku memberi semangat untuk pada diriku sendiri untukm mencapai ejakulasi. Tapi aku juga benar-benar kacau, bahuku pegel sekali. Semakin aku coba untuk ejakulasi semakin aku tidak merasa apa-apa.
Pada saat-saat aku berpikir seperti itu, tiba-tiba Anya berbisik rancu, "Vi, tolong lepasin punya Anya, Vi. Keluarin punya Anya, Vi." Ya, Anya melakukannya lagi. Dia merasa seperti memiliki batang kemaluan yang ada di tubuhku. Entah kenapa aku merasa terangsang sekali. Erotis sekali dengar dan membayangkan maksudnya, bahwa aku terbayang saja memiliki batang kemaluan Anya. Aku sih nafsu saat itu, tidak tahu deh kalau yang lain. Sudah begitu, Anya terus mengulangi kalimat-kalimat seperti itu sambil menatap sayu mataku. Bagaimana tidak tambah hormonku naik ke kepala dengan kalimat-kalimat seperti, "Vi, kontolin Anya Vi. Tolong, please. Anya penuh dengan kontol kamu sayang." Ih, baru dengar aku Anya ngomong jorok gitu. Tapi kalau dipikir-pikir ngomong jorok di tempat tidur tuh nafsuin loh.
Aku hanya bisa menjawab dengan mulut yang lebih bersuara ngos-ngosan, merapat dan menumpuk dada Anya, lalu memacu dengan irama yang cepat. Banyak sekali yang membikin aku terangsang berat. Selain Anya yang kini merem dan menengadah ke atas, juga bunyi penyatuan kelaminku bisa terdengar begitu. Lucu yah bunyinya. Lucu yah karena ada loh yang mirip suara buang angin, hihihi. Tapi waktu itu, aku benar-benar nafsu pokoknya. Tetap saja aku tidak mau kalah untuk terus menatapnya. Soalnya kosa kata dan wajah Anya benar-benar sudah tidak karuan sekarang. Antara bicara, desahan, desisan, raut wajah menangis yang diulang-ulang. Soalnya hal yang sama juga kulakukan. Gilaa, enak yah ngentot, hihihihi. Bersenggama dengan saling menatap pasangan.
Ah, aku malu kasih lihat ekspresi mukaku. Aku menunduk di samping kuping Anya. Aku mendesah kenikmatan di samping telingannya terpotong-potong oleh desahan nafas yang memburu. "Alvi keluar sayang. Alvi sayang kamu." Kenapa juga aku pilih kalimat itu di saat-saat seperti puncak birahiku. Detik-detik yang membuat kesadaranku melemah dan melayang. Aku cuma sempat dengar Anya berbisik pelan, "Keluarin Vi, iya basahin Anya dengan punya kamu. Keluarin Vi, keluarin." Terus yang bersisa hanya desahan nafas yang mulai tertib. Anya masih ingin tubuhku di atasnya dan menikmati suasana ketelanjangan yang hening itu. Di keheningan itu, aku masih sempat-sempatnya saja ingat, anjingku belum aku kasih makan. Eh, kalau hamil bagaimana yah. Malas banget 'kan.
Aku mulai menidurkan diri di sampingnya, sebelum menarik selimut untuk mengusir dingin. Anya seperti meringkuk ngantuk tersenyum. Aku mulai melantur saja ah, pikirku, "Hmm.. Nya, makasih, aku hutang banyak perasaan untuk kebaikan budi kamu." Kukecup keningnya, tapi sebelum aku sempat bicara lagi, Anya menutup bibirku, "Anya sayang kamu tau," sambil memelukku tersenyum dan terpejam. Setelah bengong lama tentang bahuku yang bena-benar pegal sekali, aku juga sempat memikirkan kebodohanku. Kebodohanku yang berbeda dengan pria lain dalam memandang bagaimana memperlakukan seorang wanita. Bahkan aku sendiri juga tidak tahu kalau ditanya Anya masih perawan atau tidak. Jawabanku adalah, aku tidak peduli. Kadang kupikir lucu juga, aku jarang berpikir jorok untuk mendapat kehormatan meniduri Anya, tetapi Anya kini di sampingku tertidur.
Mungkin ini hadiah atau justru malah sebuah karma. Aku tidak pernah menemukan di pasar tentang kalung keberuntungan dalam hal bercinta. Nasib cintaku dengan Anya bubar juga karena di luar faktor kami berdua. Cerita cinta sederhana dari sebuah titik kehidupan, dan tidak berakhir dengan happy ending. Tapi siapa juga yang butuh happy ending, karena aku tahu kisahku tidak berakhir hanya karena kami tidak pacaran lagi. Walau kadang aku ingin berhenti untuk percaya bahwa kata-kata "Aku sayang kamu" adalah lebih tampak sebuah kalimat perpisahan yang tertunda. Aku realistis dengan tidak bilang aku masih mencintainya, tidak. Aku cuma bilang, aku sering memikirkannya di saat-saat tertentu. Bukan karena aku meniduri dia, bukan juga karena dia model. Cuma dia yang menyakinkanku dengan rentetan kalimat-kalimatnya, yang aku terjemahkan. Kira-kira begini, "Kamu tuh nyenengin tau kalau lagi bodoh," atau "Alvi, sudah terlalu banyak pria pintar di dunia ini, sampai mereka semua kadang tidak tahu lagi bagaimana harus membodohkan dirinya." Atau kadang dia senyum-senyum sok antusias berfilosofis, "Aku buat logika sederhana (dengan mulut dimonyongkan, kesan angkuh sambil mengangkat telunjuknya ke atas serasa dapat inspirasi surgawi). Untuk pintar kita harus bodoh dulu, dan untuk menjadi bodoh kita yah harus pintar dulu. Berarti kamu tuh.." katanya tersenyum menunggu komentarku. Aku teriak, "Tidaakk.." lalu berhambur lari menghilang bercanda. Aku mengenang hal-hal bodoh seperti itu. Bahkan sampai sekarang, aku sering tersenyum dalam hati bahwa menyenangkan juga jadi pria bodoh. Yang pasti itu melepaskan segala beban tentang idealisme bagaimana menjadi seorang pria.
Bayangkan, saat di mall, ada wanita cantik dan aku ingin tahu saja namanya. Aku bisa dengan bodohnya berkata, "Mbak, sorry saya ganggu, saya tahu waktunya amat tidak tepat juga tidak sopan. Saya hanya ingin berkenalan dengan cewek tapi tidak tahu caranya, punya ide? saya merasa. (Aku jelaskan segala ketakutanku). Memang sebenarnya bagaimana sih cara yang gentle untuk itu?" (Sempatkanlah tanya namanya). (Kuperhatikan sekali kalau ada tanda-tanda penolakan, lebih baik lepaskanlah permainannya). Lalu setelah selesai, kupuji-puji ide dia itu seburuk apapun jawabannya, lalu aku bilang aku mau pulang. "Loh katanya mau kenalan, kok pulang?" tanyanya. "Khan saya sudah tahu nama kamu," kataku ngeluyur pergi sok manis. Memang cuma itu saja sih mauku, bukan mau tidur dengan itu perempuan. Kalaupun tujuan kamu untuk itu yah aku punyalah kesempatan lebih besar. Kelak aku ketemu lagi, nilai kesan pertamaku itu sudah punya rating tinggi. Tebakanku saja sih. Kalau ketemu lagi syukur, tidak ketemu ya sudah.
TAMAT