Cerita Dewasa:
Semerbak Teratai di Kolam Berlumpur 01
Didalam hitam ada putih, didalam putih ada hitam. Didalam kebenaran ada kesalahan, dan didalam kesalahan ada kebenaran. Tidak ada yang abadi dan sempurna di dunia ini.
Di tengah kolam berlumpur yang kotor tumbuh sekuntum bunga teratai nan indah dan semerbak. Adakah yang bersedia mengotori dirinya untuk mendapatkan bunga tersebut?
Part one: Pertemuan Pertama
Jakarta, February 1996
Minggu siang, bersama dua orang teman saya, Andi dan Al, kita berjalan-jalan menghabiskan waktu di Mal Ciputra. Andi adalah teman akrab saya sejak kecil, satu SMP, SMA, dan satu universitas. Dia seumur dengan saya, 24 tahun. Sedang Al adalah adik teman kuliah saya. Dia berumur 19 tahun dan kuliah di UT, tetangga Mal Ciputra.
Ketika berada di eskalator menuju lantai 5, tiba-tiba tatapan saya tertuju ke sepasang paha langsing mulus milik seorang cewek yang berada di depan saya. Paha putih mulus tersebut hanya tertutup sedikit di bagian atas oleh rok mini biru tuanya yang berwarna hitam. Karena posisi saya yang berada di bawah, saya bisa melihat celana dalam hitamnya yang mengintip malu-malu di antara kedua pahanya. Terasa degup jantung saya yang semakin cepat. Tiba di lantai 5, saya mempercepat langkah kaki saya untuk menyusul gadis tersebut. Andi dan Al mengikuti saya. Ketika saya berada sejajar dengan gadis tersebut, saya memandang wajahnya, "Oh my god! Cewek yang sangat manis, dengan sepasang matanya begitu bulat dan jernih. Wajahnya begitu mulus dan cantik! dengan rambut hitam tebal panjang, dia terlihat begitu mempesona."
Saya berjalan terus mengikuti cewek tersebut. Di belakang saya, Andi dan Al sedang mengobrol dan tidak menyadari bahwa saya sedang memperhatikan cewek tersebut. Gadis tersebut berjalan masuk ke Hoka Hoka Bento. Saya menghentikan langkah saya dan menunggu Andi dan Al.
"Makan yuk.. Gua lapar nich.." ajakku yang ternyata disambut gembira oleh mereka. Memang saat itu sudah hampir jam 3 sore dan kita belum makan siang. Selesai memesan makanan, saya mencari meja yang bersebelahan dengan cewek tersebut. Sambil makan saya menatap dia, yang dibalas juga oleh si cewek. "Wah.. nantang ya.." pikir saya selanjutnya. Saya percaya bahwa tatapan mata seseorang itu bisa menceritakan kondisi orang tersebut. Saya bisa membaca ada kesedihan dan kekaguman di sinar matanya. Kesedihan yang tidak saya ketahui alasannya dan kekaguman yang saya kira ditujukan ke saya:) (Buat para petualang yang belum berpengalaman, saran saya adalah memperhatikan tatapan cewek di mana saja kalian berada. Biasanya cewek yang berani melawan tatapan anda adalah petualang juga, buktikanlah).
Cukup lama kita mengadu pandangan, akhirnya dia menunduk dengan wajah memerah. Saya mengambil kesempatan tersebut untuk menurunkan tatapan mata saya ke toketnya. Kaos hitam tipisnya tidak bisa menyembunyikan tonjolan buah dadanya, "Lumayan cukup besar," pikir saya.
"Tuh cewek cakep banget Gus, kayaknya lagi memperhatikan kita-kita.." bisik Andi yang duduk di samping saya.
"Mana.. mana..?" tanya Al. Masih polos tuh anak, belum tahu kalau sejak tadi aku sudah mengincar cewek tersebut.
"Yang duduk di meja sebelah.. aduh.. cakepnya.. saya jatuh cinta pada pandangan pertama nih.." kata Andi.
Saya cuma diam dan sedang melanjutkan tatapan saya. Sekali-kali dia membalas tatapan mataku. Sambil makan, saya mengumpulkan keberanian untuk berkenalan. Saat saya sedang mempertimbangkan maju atau mundur, tiba-tiba Andi berjalan ke arah cewek tersebut. Terlihat dia menyapa cewek tersebut dan kemudian terlihat dia mengulurkan tangannya untuk berkenalan.
"Sialan.. saya kecolongan.." pikir saya. Tanpa pikir panjang lagi saya menyusul si Andi.
".. nunggu temen," saya mendengar suara si cewek saat saya mendekati mereka.
"Gus, kenalin.. ini.. Vivi," kata si Andi memperkenalkan cewek tersebut.
Saya mengulurkan tangan saya, "Saya Agus.." jawab saya memperkenalkan diri.
"Vivi.." jawabnya pendek.
"Nama yang bagus, lagi menunggu siapa Vi?" tanya saya. Saya tahu yang namanya cewek itu paling suka dipuji.
Dia tersenyum.. manis sekali. "Temen saya, janjian mau datang. Kok nggak nongol-nongol sich?" gerutu Vivi sambil cemberut.
"Vii.. Vivi.." tiba-tiba terdengar suara beberapa orang cewek. Saya melihat ke arah suara tersebut yang ternyata berasal dari dua orang cewek temannya si Vivi. Dengan cepat mata saya menyapu wajah mereka yang datang. Lumayan juga pikir saya, tetapi dibandingkan Vivi.., masih mendingan Vivi.. Jadi saya putuskan untuk tetap fokus pada Vivi.
Dalam sekejap ruangan tersebut penuh dengan suara keempat cewek tersebut. Rupanya mereka adalah teman satu SMA. "Udah ya.. filmnya udah mau mulai.. seneng ketemu kalian," kata Vivi sambil berjalan keluar restaurant. Wah, gimana nich biar bisa ketemu lagi, saya memutar otak saya.
"Vii.. bisa minta nomor telepon loe.." seru saya sambil berlari ke arah Vivi. Dia tersenyum manis dan menyebut nomor HP tertentu. Dengan sigap saya mengeluar HP dan memasukkan nomor tersebut. Di belakang saya Andi juga memasukkan nomor tersebut ke HP-nya. Kemudian Vivi meninggalkan restaurant tersebut, membawa bersamanya semangat dan jiwa saya.
"Gus, saya jatuh cinta nih.. buat saya aja ya?" tanya si Andi.
"Wah, sorry Di, saya juga suka.. buat gua aja ok?" tanyaku balik.
Saat itu entah bercanda atau tidak Andi menjawab, "Gua lebih baik kehilangan seorang temen daripada kehilangan Vivi.."
Part 2: Kala cinta mulai bersemi
Malamnya sekitar jam 9, saya langsung menelepon Vivi. Tanggapannya cukup baik, kita ngobrol sekitar 15 menit. Dari sana saya tahu kalau dia kost di daerah Mangga Besar bersama seorang kakak perempuannya. Saat ini dia kuliah di salah satu universitas di kawasan Grogol, jurusan Management tingkat akhir. Umurnya 23 tahun. Asalnya dari Palembang, dan di Palembang ibunya tinggal bersama dengan seorang kakak perempuannya.
Habis itu hampir setiap hari saya selalu menelepon Vivi dan menanyakan kondisi dia, dsbnya. Akhirnya saya tahu bahwa dia belum punya cowok. Pernah pacaran sebelumnya tetapi sudah putus tahun lalu. Saya beberapa kali mengajak dia keluar tetapi selalu ditolak dengan halus. Akhirnya semangat saya sedikit mengendor tetapi tetap rajin menanyakan kondisi dia.
Suatu hari kakaknya yang mengangkat telepon saya dan memberitahukan bahwa Vivi sedang sakit. Saya menanyakan alamat mereka dan kakaknya memberitahukan saya. Kemudian dengan bergegas saya mengeluarkan mobil saya dan mengarahkan mobil saya ke kost-nya. Saya singgah sebentar di Bakmi Gajah Mada dan membeli dua bungkus bakmi. Waktu saya tiba di kost mereka, ternyata Vivi sedang tidur dan saya menitipkan bakmi tersebut ke kakaknya. Kakaknya sangat mirip dengan Vivi, dengan tubuh yang jauh lebih indah. Menurut saya Vivi agak kurus.
Tindakan saya ini rupanya memberikan kesan yang sangat mendalam pada Vivi. Besoknya dia menelepon saya untuk mengucapkan terima kasih. Ada nada haru di suaranya. Minggu itu selama tiga hari berturut-turut saya membelikan makanan buat mereka. Hari ketiga saya dipersilakan masuk ke kost mereka yang cukup mewah. Ketika jam dinding berdentang 10 kali, saya melihat kakaknya si Vivi dengan gelisah selalu melirik ke jam. Tahu diri, saya pamit pada mereka.
Benih-benih cinta mulai bersemi di hati saya dan Vivi. Hampir setiap minggu saya nongol di kost-nya dan kita sering makan dan nonton bareng.
15 Maret 1999 jam 17.00, saya sedang bekerja di kantor saya yang berlokasi di daerah Sudirman. Saya dipindahkan dari cabang Grogol ke kantor pusat sejak bulan February 2000. Tiba-tiba HP saya berdering dan saya lihat nama Vivi muncul di layar telepon tersebut. Dengan buru-buru saya menjawab telepon tersebut, rupanya hari itu Vivi ulang tahun dan dia bermaksud mengundang saya untuk makan malam. Tanpa pikir panjang saya langsung mengiyakan.
Buru-buru saya membereskan barang-barang saya dan dengan tergesa-gesa saya menuju ke toko di gedung sebelah untuk membeli satu pot bunga mawar berikut boneka beruang yang cukup besar.
Malam itu Vivi terlihat begitu cantik, dengan baju pestanya berwarna hitam. Belahan bajunya yang begitu rendah memamerkan kulit dadanya yang putih bersih. Dia terlihat begitu ceria dan dengan sigap merekam situasi di sana dengan handycam-nya. Ketika itu, saya terkejut melihat sosok yang saya kenal: Andi. Dia sendiri juga terlihat kaget melihat saya. Rupanya saat itu Vivi mentraktir Andi bersama dengan teman-teman SMA-nya. Terasa canggung sekali saat itu berhadapan dengan Andi.
Setelah itu saya bersama Vivi makan disalah satu caf� di Kemang. Ketika saya mengantarkan Vivi pulang, dia mengaku bahwa Andi sering meneleponnya tetapi dia sendiri lebih suka bersama saya. Saat mendengar pengakuannya saya termenung, bagaimana tanggapan Andi yang merupakan teman dekat saya kalau saya pacaran dengan Vivi?
Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 ketika kita tiba kembali di kost-nya. Kakaknya saat itu tidak berada kost, menurut Vivi, kakaknya sedang keluar kota. Kemudian Vivi meminta saya menunggu soalnya dia bermaksud untuk mandi.
Ketika dia mandi, iseng-iseng saya melihat sekeliling kamarnya berjalan ke arah telivi yang terletak di atas meja tulis. Tanpa sengaja, mata saya tertuju ke ujung sebuah photo yang nongol dari salah satu laci di meja tersebut. Saya mengeluarkan photo tersebut dan tercegang melihat photo seorang cewek telanjang. Saya memperhatikan photo tersebut dan mengucek-ngucek mata, gadis itu adalah kakaknya si Vivi! Di foto tersebut, kakaknya sedang berdiri di samping kolam renang pribadi dengan tubuh polos! Terlihat buah dadanya yang montok dan bulu kemaluannya yang sangat lebat. Dengan tangan gemetar, mata saya mencari tanggal di photo tersebut, 12 Desember 1995. Hmm.. masih baru.
Tiba-tiba suara air di kamar mandi menghilang. Dengan sigap saya memasukkan photo tersebut kembali dan selesai mandi Vivi keluar hanya mengenakan handuk berwarna pink, sepertinya dia sedang memancingku. Dia terlihat sangat segar.
Ketika dia membuka lemari untuk mencari pakaian, saya memeluknya dari belakang. Terasa tubuhnya yang dingin dan tercium wangi sabun yang baru dipakainya. Saya mencium lehernya dari belakang.
"Ih.. Geli ah.. udah dong.." komentar Vivi.
Aku tidak menjawab melainkan tetap melanjutkan ciumanku, kali ini turun ke pundaknya yang putih mulus. Dia berusaha mengelak, tetapi saya tidak memberinya kesempatan. Ciuman saya berlanjut ke belakang telinganya. Saya bisa mendengar nafasnya yang mulai memburu.
Tangan saya melingkari pinggangnya yang ramping. Saat itu kemaluan saya menekan pinggulnya yang sangat montok. Ciuman saya kemudian berlanjut ke pipinya. Dia menoleh ke belakang dengan sigap bibir saya mendarat di bibirnya. Saya mengulum bibirnya dengan penuh perasaan. Dia menutup matanya dan terlihat menikmati ciuman tersebut. Selang 5 menit kemudian, tangan kanan saya beralih ke buah dadanya yang masih tertutup handuk. Kenyal sekali. Jari-jari saya berusaha mencari boba susunya tetapi agak susah soalnya di balik handuk tersebut dia sudah memakai bra. Tangan kiri saya beralih mengelus pahanya yang putih mulus. Terasa mulus dan dingin (habis baru mandi).
Entah disengaja atau tidak, Vivi menggerak-gerakkan pinggulnya sehingga menggesek kemaluan saya. Getar kenikmatan yang saya rasakan begitu luar biasa.
"Eh, gua punya ide nih.." tiba-tiba Vivi berkata, "Gimana kalo kita merekam apa yang akan kita lakukan?"
"E.. me.. me.. reekamm?" tanyaku tergagap. Aku sering nonton BF tetapi kalau pemainnya saya sendiri gimana ya?
"Iya, abis itu kalo kita nonton lagi pasti seru.." jawab Vivi. Saya tidak menyangka di balik wajahnya yang begitu polos dia bisa menawarkan hal tersebut.
"E.. boleh dech.. tapi abis itu langsung di hapus ya?" kataku, sedikit ragu-ragu. Habis gimana kalau nanti ada orang lain yang melihat film tersebut?
"Tentu dong.. Hihi.." jawab Vivi.
Kemudian dia berjalan ke meja dan membuka handycam-nya. Dia menekan beberapa tombol dan meletakkannya di meja dengan kamera menghadap ke ranjang.
Bersambung ke bagian 02