Cerita Dewasa:
Maaf Saya Khilaf
Sebelumnya perkenalkan nama saya Chris. Saya tinggal di US, umur saya sekarang 25 thn dan kejadian ini kira-kira 6 bulan lalu. Waktu itu saya baru saja putus dengan pacar saya dan mengalami stress berat, maklum hubungan kita di putus oleh orang tuanya.
Saya mempunyai teman cewek yang bernama Rani (samaran), saya sangat dekat dengan Rani walaupun saya tidak tertarik untuk menjadikannya pacar saya. setiap kali saya habis bertengkar dengan pacar saya, pasti saya menceritakan semuanya pada Rani.
Waktu itu malam sabtu (weekend di US), hari itu saya putus total dengan cewek saya, saya stress berat dan Rani pun mengetahuinya, apartemennya tidak terlalu jauh dari rumah saya dan saya pun mengajaknya keluar, mencoba mengurangi stress saya, maka pergilah kita ke bar kesukaan saya. Rani merupakan anak baik-baik dan karena stress, saya minum banyak sekali sampai akhirnya dia yang harus menyetir mobil saat kami pulang. Dalam perjalanan pulang, saya masih bisa mendengar saat dia menangis ketakutan melihat keadaan saya.
"Aduhh Chris kamu kok jadi begini.." itulah yang cuma bisa dia katakan dalam isakannya.
"Bawa gue ke motel aja Ran.. tinggalin gue di motel juga deh.. loe nggak usah anter gue pulang", saya masih bisa ingat akan ucapan saya kepada Rani dengan agak membentak, karena saya tidak mau pulang dalam keadaan mabuk, karena pasti ibu saya akan marah besar melihat keadaan saya yang sedang mabuk berat. Dengan agak kaget Rani pun menurut saja apa kata saya.
Setibanya di motel saya di bopong oleh Rani memasuki kamar, dan dia mulai menangis lagi.
"Kenapa nangis sih Ran.. harusnya gue yang nangis dong!" itulah kata-kata yang saya ucapkan, maklum waktu itu saya agak ngelantur walaupun masih sadar, dia cuma bisa mengangguk-anggukan kepalanya.
"Loe pulang aja deh.. bawa aja mobil gue.. terus jemput gue aja besok siang", kataku karena waktu itu sudah jem 3 pagi. Keadaan semakin larut.
"Nggak.. gue stay aja di sini nemenin elo.. baru besok kita pulang barengan", katanya membalas. Karena kepalaku sudah pusing, aku mengiyakan saja, setelah itu saya pergi ke kamar mandi dengan berjalan agak sempoyongan
"Hati-hati Chris.. mau aku temenin?" katanya saat melihat keadaanku.
"Boleh aja tapi nanti tutup mata ya, nanti suka gawat soalnya", kataku agak jahil.
Rani cuma bisa tersenyum dan mengangguk. Hmm.. waktu kulihat Rani tersenyum, sepertinya senyum termanis yang pernah saya lihat, tidak tahu apakah senyuman yang hanya bisa di lihat orang mabuk atau memang karena dia memiliki senyum yang manis yang selama ini tidak pernah saya perhatikan. Sesampainya di kamar mandi dia cuma mengantarkan saya sampai di depan pintu, dan dengan agak tergesa saya mencoba membuka reitsleting celana saya yang rupanya reitsleting itu patah yang menjadikan saya agak panik karena menahan kencing. Melihat keadaan saya yang agak panik rupanya Rani spontan menghampiri saya dan mencoba membetulkan reitsleting celana saya.
Akhirnya karena sudah terpaksa, saya buka celana saya dan menyuruh Rani untuk membawa celana saya dan mencoba untuk membetulkannya. Walaupun masih ada celana dalam, rupanya Rani agak kaget sewaktu saya membuka celana dan mulailah saya mempipis yang sudah saya tahan sejak tadi dan sewaktu saya perhatikan di cermin, nampak sepasang mata Rani yang sedang memperhatikan adik kecilku dengan agak kaget ketika kulihat wajahnya, tampangnya agak sedikit terangsang, rupanya di perhatikan begitu aku malah terangsang juga dan dengan beberapa kejap saja bangunlah adikku, dan sewaktu kulihat wajahnya, dia pun melihat wajahku, nampaknya dia kaget dan malu, wajahnya yang berkulit sawo matang itu mulai memerah.
"Ayoo ngintip ya.. kan udah di bilang jangan lihat nanti suka.." kataku sambil berjalan menghampirinya. Rani cuma tersenyum dan menundukkan kepalanya. Sesampainya di ranjang, aku membaringkan tubuhku dan kulihat Rani hanya duduk di samping tempat tidur.
"Heh mau tidur apa nggak? udah jangan mengkhayal yang nggak-nggak deh, nanti mau juga lagi.." kataku sembari menggodanya.
"Enak aja sapa yang mengkhayal.." ujar Rani membela.
"Lalu?" godaku.
"Nggak pa-pa gue cuman aneh aja.." balasnya sembari tertawa kecil.
"Lah.. aneh kenapa? kataku.
"Ya aneh aja, tadi kecil kok cepet aja bisa besarnya", katanya tertawa, aku pun mulai memutar otak mencari akal untuk merasakan tubuh indahnya, lalu kutarik tangan Rani, mengajaknya ke ranjang.
"Sini deh, gue kasih tau.. tapi jangan kasih tau siapa-siapa oke?" kataku penuh hawa mesum. "Boleh nih..?" katanya sambil tersenyum.
"Ya kenapa nggak.. itung-itung pendidikan", kataku lagi mencoba menenangkan diriku.
Rani pun duduk di ranjang, keadaanku yang tadi terbaring kini duduk berdampingan dan kucoba merangkul pundaknya. Dengan hanya memakai celana dalam saja, kucoba meletakkan tangan Rani ke arah burungku tapi dia menarik tangannya kembali. "Nggak deh, ini gila.. gue nggak bisa", kata Rani dengan nada ketakutan. Kecewanya hatiku mendengar kata-kata Rani tapi aku tidak mau menyerah begitu saja, "Iya sih ini gila, seharusnya ada pemanasan dulu biar loe nggak bilang ini gila.." kataku seenaknya, dia hanya diam saja sambil menunduk.
Kurangkulkan tanganku lebih erat ke pundaknya dan mencoba mengangkat kepalanya yang menunduk, dia menuruti kemauanku. Entah dari mana keberanianku mencium bibir Rani dan indahnya dia mengikuti ciumanku. Kita berciuman agak lama dan kucoba menidurkannya dan memakaikan selimut di tubuhnya karana AC di motel yang cukup dingin. Tanganku mulai bergerilya di daerah dadanya dan mencoba membuka kaos dan BH-nya, dia diam saja sambil memelukku. Setelah berhasil, kulihat toketnya yang tidak begitu besar tapi sangat indah dengan boba susunya yang merah. Tidak kulepaskan kesempatan ini, langsung kucium bobanya yang merah muda itu, rupanya Rani tidak bisa tinggal diam saja, dia pun mulai memegang batang kemaluanku dan mengocoknya perlahan. Aku pun tidak tinggal diam, aku mulai melucuti celananya dan kini kita berdua sudah telanjang bulat tetapi masih di tutupi selimut.
"Chris jangan dimasukin ya.. aku takut", kata Rani diantara desahannya.
"Tenang aja kok Ran gue nggak masukin.." kataku menenangkannya.
Aku mulai menggesek-gesekkan batang kejantananku tepat di atas liang kewanitaannya. Rupanya dia mulai membasah, hal ini bisa kurasakan karena licinnya bibir kemaluannya. Kupindahkan jariku untuk memegang liang kewanitaannya dan mulailah kumasukkan jari tengahku sedikit demi sedikit. Rupanya dia keenakan, lalu kupindahkan lagi tanganku menuju toketnya. Alangkah terkejutnya dia, saat itu juga dia mencoba memasukkan batang kajantananku ke liang senggamanya. Aku pun diam saja menuruti kemauannya. Ketika masuk setengahnya, dia memintaku berhenti karena kesakitan, aku pun mengiyakan dan mencoba untuk membantu dengan meludahi jariku dan kugesekkan ke kepala batangku untuk melicinkannya dan aku pun mencoba lagi untuk memasukkannya.
Setelah beberapa kali mencoba, amblas juga batang kemaluanku ke dalam liang senggamanya dan kudiamkan beberapa saat. Rani pun masih dalam keadaan shock karena keenakan. Kemudian kucoba memaju-mundurkan secara perlahan. Setiap kali kugerakkan dia selalu mendesah, "Ahh.. ehh.." Lama-lama gerakanku pun semakin bernafsu, aku mulai mencoba berdiri dan dia masih telentang. Kucoba berbagai macam gaya hingga akhirnya aku tak tahan juga.
"Ran, aku mau keluar.." kataku agak serak.
"Di dalam aja Chris.. dua hari lagi aku bakalan mens", kata Rani berucap dengan mata tertutup.
Kukocokkan batang kemaluanku semakin cepat di dalam liang kewanitaannya dan rupanya Rani pun mau keluar, dia memegangi pahaku dan mencengkramnya kuat-kuat, aku pun semakin bernafsu. "Ahkk.. ahkk.." Rani pun mengeluarkan cairan hangat dari dalam liang kewanitaannya yang kurasakan menyemprot ke batang kejantananku yang berada di dalam liang senggamanya dan tak berapa lama kamudian aku mengeluarkan cairan spermaku. Akhirnya kita berdua pun tertidur sambil berpelukan dalam keadaan telanjang bulat.
Keesokan paginya, aku mengantarkannya pulang tanpa mengucapkan kata-kata di mobil. Ada perasaan menyesal karena aku tidak bisa mencintai Rani walaupun kita telah melakukan hubungan badan. "Maaf saya khilaf.." itulah kata-kata terakhir dari saya untuk Rani.
TAMAT