Cerita Dewasa:
Eksanti, (Probably) The Last Session - 1
by [email protected]Sampai saat-saat terakhir menjelang kepindahan pekerjaan Eksanti, sejak ia mengajukan surat pengunduran dirinya dari kantorku (baca: Eksanti, Hadirnya Orang Ketiga 1,2), aku sebenarnya tidak pernah bertemu dengan Yoga, pacar Eksanti. Hingga disuatu sore, dari kaca jendela ruang kerjaku di lantai 3, aku memergoki seseorang yang menjemput Eksanti selepas jam kantor. Semula aku tidak pernah berfikir bahwa laki-laki itu adalah pacar Eksanti, namun karena dalam seminggu ini Eksanti dijemput oleh laki-laki yang sama, barulah aku sadar bahwa laki-laki itulah yang bernama Yoga. Aku mendengar dari teman-teman sekantorku yang lain, bahwa Yoga sedang mendapat training di Jakarta, sehingga ia bisa menjemput Eksanti setiap saat.
Memang sejak kedatangan Yoga di Jakarta, hari-hari terakhir itu Eksanti terlihat semakin cantik karena dandanannya yang semakin modis. Yang selalu tampak menarik bagiku adalah kulit mukanya yang semakin putih bersih, sehingga sangat kontras dengan warna bibirnya yang tipis dan selalu terlihat basah. Model rambutnya yang hitam sebahu, sedikit terurai di dekat telinga, dan diberi sedikit olesan jelly, sehingga senantiasa kelihatan basah. Juga yang kelihatan sensual adalah cara berpakaiannya. Eksanti selalu memakai blouse atau kaos yang agak ketat, sehingga perutnya kelihatan ramping dan toketnya terlihat agak menonjol. Memang toketnya sendiri tidak terlalu besar, tetapi terlihat sangat seksi bila ia memakai baju kaos yang ketat, walaupun sudah tertutup dengan stelan blazernya. Satu lagi, yaa.. satu lagi yang sangat menarik, bentuk kakinya yang kecil memanjang seperti kaki belalang. Kulitnya putih mulus, tanpa cela ditumbuhi bulu-bulu halus di sepanjang betis dan pahanya. Ia sangat sadar dengan potensi yang dimilikinya itu, sehingga ia sangat senang mengenakan rok span setinggi kira-kira 5 cm di atas lututnya.
******
Sudah lebih dari dua minggu ini Eksanti selalu pulang tepat pukul 17.00, karena Yoga selalu menjemputnya tepat waktu. Namun dalam dua hari terakhir aku perhatikan sudah lebih dari pukul 17.30, Eksanti masih belum beranjak untuk pulang. Karena penasaran aku menanyakan kepadanya, "Santi, kenapa sih aku perhatiin sekarang kamu pulang lebih malam, emang nggak dijemput lagi?"
"Yaachh.., abis yang njemput sudah nggak ada sih Mas..", sahutnya.
"Masak iya, kemana Mas Yogamu itu?" tanyaku.
"Aaach.., Mas jangan nanya-nanyain dia deh. Janjinya Mas Yoga mau ditraining 2 bulan, lalu langsung ditempatkan di Jakarta. Tapi nyatanya baru sebulan ditraining udah disuruh balik lagi ke Malang, karena di sana ternyata kekurangan orang." jawabnya dengan nada kesal.
"Sebenarnya sih Mas Yoga berhak untuk menolak permintaan bosnya yang genit itu, tapi katanya ia cinta banget sama pekerjaannya.., jadi yaa.. diikutin aja perintah bosnya itu", ujar Eksanti melanjutkan.
"Wah.. hebat dong, orang kayak Yoga. Ia pasti loyal banget sama kantornya dan itu mencerminkan tipe orang yang setia", jawabku sekenanya.
"Loyal apaan.., Santi nggak ngerti ama dia. Sebenarnya dia lebih cinta sama Santi apa sama pekerjaannya sich..?", Santi berujar sedikit ketus mendengar komentarku.
Aku tahu dari jawabannya, hubungan mereka pasti sedang bermasalah lagi gara-gara persoalan ini. Sebuah hal yang wajar untuk dua orang yang baru mulai berpacaran, hingga akupun enggan untuk menanggapinya lebih lanjut. Aku tidak mau mencampuri privacy mereka berdua.
******
Beberapa hari kemudian, saat makan siang, aku baru saja datang setelah selesai melakukan meeting di luar kantor. Kantorku sepi sekali, hanya seorang office boy yang sedang duduk di area receptionist di lantai bawah. Ketika aku naik ke ruanganku di lantai tiga, aku melewati area ruang makan kantorku, yang biasanya ramai pada saat jam makan siang seperti ini. Secara kebetulan aku melihat di ruang itu cuma Eksanti yang sedang makan seorang diri. Rupanya teman-temannya yang lain sedang makan diluar kantor. Segera aku menemaninya duduk di depan meja makan itu.
"Makan sendirian saja, San?", sapaku kepadanya.
"Iyaa.. Mas. Mas sudah makan?", sahutnya.
"Sudah. Tadi sekalian meeting sama klien", jawabku singkat, sambil menarik kursi untuk duduk di depan kursinya.
Sambil makan, Eksanti melihat-lihat iklan bioskop di koran. Tiba-tiba Eksanti berkata, "Waah.. film ini bagus, Mas. Santi kepingin nonton, tapi sayang nggak ada yang nemenin".
"Kalau memang nggak ada teman, emangnya Santi masih mau Mas temenin?", tanyaku menyelidik.
"Kalau Mas emang bersungguh-sungguh mau nemenin, kapan Mas bisanya?, Asal jangan yang malam-malam. Paling lambat yang mulainya jam 8, jadi sekitar jam 10-an kita sudah bisa pulang. Soalnya, ntar nggak enak kalau ada yang ngelihat kita jalan sampai malam, apalagi kalau ketemu temannya Mas Yoga..", jelas Eksanti panjang lebar. Aku tahu, ia sebenarnya masih dalam posisi yang bimbang antara menjaga kesetiaannya dengan Yoga, atau tetap bersamaku.
"Besok malam..? Kayaknya jadwal Mas besok nggak begitu padet, jadi bisa ninggalin kantor cepet. Kalau hari-hari berikutnya jadwal Mas sudah sangat padat dengan janji sama klien, jadi nggak akan bisa pulang cepet." kataku.
"Kalau gitu besok malam yaa.. Mas?", ia memohon sambil matanya menatapku penuh harap.
"Boleh, Mas jemput jam berapa?", aku menyetujui permintaannya.
"Santi besok mau pulang cepet aja deh, jadi kira-kira bisa sampai di kost jam 6-an. Lalu mandi dulu. Jadi kira-kira pukul 7 sore kita berangkat yaa..", kata Eksanti menjelaskan rencananya dengan rinci,
"Oke", sahutku.
******
Besok sorenya setelah acara di kantor selesai, sengaja aku mandi di kantor lalu siap berangkat ke rumah kost Eksanti di daerah Selatan Jakarta. Untung jalanan belum terlalu macet, sehingga pukul 7 kurang 5 menit, aku sudah sampai di depan pintu kamar kostnya. Sampai di sana ternyata Eksanti belum selesai berdandan, sehingga aku harus menunggu selama beberapa menit. Kemudian ketika ia selesai, kami langsung berangkat karena takut terlambat. Jakarta memang sedang macet-macetnya pada jam-jam itu. Akhirnya setelah dengan sedikit ngebut, kami sampai juga di Grand Wijaya Theater jam 8 malam tepat. Untung ticket box-nya masih buka, dan setelah membeli tiket, kami langsung masuk tanpa sempat lagi membeli snack dan minuman. Aku memang sengaja meminta tempat duduk yang di pinggir. Entah kenapa, sampai saat film dimulai penontonnya hanya sedikit sekali, sehingga ruangan teater tersebut menjadi bertambah dingin.
Artis-artis pemain film-nya memang sexy-sexy, apalagi film yang kami tonton ini terhitung banyak juga adegan panasnya yang sangat berani. Ketika adegan yang panas muncul di layar, Eksanti tiba-tiba memegang tanganku. Suatu saat, ketika adegan filmnya mulai memanas lagi, sebelum tangan Eksanti beraksi meremas tanganku, aku mendahuluinya dengan memegang telapak tangannya erat-erat. Sejenak kemudian, walaupun adegan panas sudah berlalu dari layar film itu, jemari tangannya yang lentik masih tetap berada erat dalam genggamanku. Perlahan-lahan dengan sangat berhati-hati, bersamaan dengan gerakan tanganku, tangan Eksanti aku tumpangkan di atas pahanya. Saat itu Eksanti masih diam saja atas aksi yang aku lakukan ini. Aku menahan nafas menunggu reaksinya. Lalu dengan sedikit perasaan was-was, ujung-ujung jemariku mulai mengelus lembut pahanya yang sedikit terbuka, karena bagian bawah roknya yang pendek itu agak tersingkap pada saat ia duduk tadi.
Beberapa menit hal itu aku lakukan dan Eksanti pun masih tetap diam tanpa melakukan reaksi. Kenekatanku semakin bertambah, dengan menarik tangan Eksanti lebih arah ke atas, sekaligus untuk menyingkap ujung bawah roknya supaya semakin naik ke pangkal paha. Aku melirik ke arah roknya yang kini telah tersingkap sampai hampir ke pangkal pahanya, sehingga pahanya yang putih mulus itu terlihat remang-remang dengan penerangan cahaya dari pantulan layar film saja. Aku pura-pura diam sebentar. Kebetulan muncul adegan panas lagi di layar film dan seluruh telapak tanganku segera meraba lembut pahanya. Eksanti mulai bereaksi dengan memegang bagian atas tanganku. Aku mengira, Eksanti akan melarang kegiatan tanganku ini, tetapi ternyata perkiraanku salah. Tangannya hanya ditumpangkan saja di atas tanganku.
Melihat reaksinya yang seolah memberikan sinyal positif, aku memberanikan lagi operasi ini. Tanganku aku mulai mengusap-usapkan lembut ke kulit pahanya dari atas lutut sampai ke bagian atas dekat pangkal pahanya. Sudah lebih dari 5 menit aku melakukan belaian ini, bergantian paha kanan dan kirinya, tapi Eksanti tetap diam, hingga nafasku sendiri yang mulai memburu. Akhirnya aku memberanikan telapak tanganku untuk mengusap pahanya sampai ke arah selangkangannya, sehingga ujung jariku berhasil menyentuh pinggir renda celana dalamnya. Bibir kewanitaannya mulai aku gelitik dengan 2 jemariku. Saat itu Eksanti kelihatan mendesah sambil membetulkan posisi duduknya. Aku menggelitik terus celah lembut kewanitaannya dengan jari dan kadang-kadang jemariku aku lesakkan ke dalam lubang kewanitaannya yang ternyata sudah basah juga. Belum beberapa lama, Eksanti menggeliat di atas tempat duduknya dan berbisik seolah merintih, "..Mas, jangan digitukan nanti basah semua celana dalam Santi".
Mendengar desahannya itu, tanganku aku tarik dan aku pindahkan ke pahanya saja. Aku berbisik di telinganya,"Aku suka melakukan yang tadi. Kalau Santi juga suka, nanti lain kali Mas terusin lagi yaa..?".
Eksanti mengangguk dan berkata pelan, "Minggu depan saja kita jalan lagi, soalnya kalau keseringan pergi malam-malam, ntar nggak enak sama teman-teman di kost. Apalagi yang kenal dengan Mas Yoga". Ia terlihat masih saja dalam posisi kebimbangannya, antara harus bersikap setia dengan Yoga, atau menikmati kebersamaan percumbuannya denganku.
Setelah film selesai diputar, sambil berjalan keluar gedung teater, aku merangkul pundaknya dan Eksantipun memegang pinggangku sambil kepalanya disandarkan ke bahuku. Aku mengajak Eksanti makan malam, sekalian sambil mengobrol macam-macam. Sudah cukup lama kami tidak pernah melakukan hal itu. Selesai makan, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, aku harus segera mengantarkan Eksanti pulang. Sebelum turun dari mobil, di depan pagar rumah kostnya, aku memeluknya dan diapun membalasnya dengan merangkul leherku kuat-kuat untuk menerima ciuman dan kecupan-kecupan pada bibirnya. Selesai melakukan kecupan mesra itu, dengan sedikit teknik yang sangat halus, tanganku menyambar dan memijit lembut toketnya.
"Acch.. Mas nakal!!, katanya manja.
"Abis Mas kangen sama yang itu.. Bye.. bye..", ujarku dengan senyum simpul
Keesokan harinya, aku bertemu Eksanti lagi di kantor dan kami bersikap biasa-biasa saja sehingga tidak ada teman yang curiga kalau kami telah melakukan sedikit kemesraan semalam.
******
Suatu siang di hari Rabu, kira-kira seminggu setelah acara kami menonton bersama, Eksanti datang ke kamarku dengan membawa laporan-laporan yang harus aku tanda tangani.
"Mas, nanti malam Mas ada acara?", Eksanti bertanya.
"Kenapa?", aku bertanya dengan sikap yang berpura-pura acuh. Sejujurnya, dalam hati aku berkata, saat-saat seperti inilah yang paling aku nantikan.
"Kalau Mas ada waktu, Eksanti kepingin makan di luar, tapi sayangnya lagi nggak ada teman," sahutnya bersungguh-sungguh. Aku memang tidak salah sangka, pucuk di cinta ulam tiba.
"Oke. kalau Santi mau, Mas bersedia nemenin Santi jalan. Jam 5 sore Mas mau meeting dulu dengan klien di Shangrila, jadi kira-kira jam 7 seperti minggu lalu, Mas jemput di tempat kost kamu yaa..?", kataku memberikan tawaran .
"Terima kasih yaa.. Mas", ia langsung menyetujui tawaranku, matanya nampak berbinar-binar senang.
Sore itu aku sungguh tidak sabar untuk segera menyelesaikan acara meeting dengan klienku. Jam 18.15 sore aku sudah siap berangkat dari Hotel Shangrila, langsung menuju ke rumah kost Eksanti. Eksanti memang sengaja pulang dari kantor lebih awal dari biasanya, sehingga ia telah sampai di rumah kostnya lebih dulu dari kedatanganku. Sesampainya di sana aku menunggu di ruang tamu, dan baru kira-kira 10 menit kemudian Eksanti keluar dari kamarnya.
Aku sempat terpesona beberapa saat. Penampilan Eksanti sore ini benar-benar lain dari kesehariannya. Biasanya ia memakai rok mini, yang dipadukan dengan blouse atau kaos pendek terbuat dari bahan yang agak ketat, dan tertutup rapi dengan setelan blazernya. Kali ini ia tampil dengan memakai gaun panjang warna ungu dengan belahan yang agak tinggi di bagian paha sebelah kirinya. Saat ia berjalan, pahanya kirinya nan putih bersih itu kelihatan dengan jelas. Bahkan dalam posisi tertentu, bagian dalam paha kanannya juga nampak samar-samar mengintip dari belahan gaunnya. Sungguh, makhluk cantik ini kelihatan sexy sekali sore itu.
"Ckk.. ckk.. ckk..," komentarku.
Eksanti tersenyum mendengar pujianku, sambil memutarkan tubuhnya. Sungguh lebih mempesona lagi pemandangan yang aku saksikan, karena ternyata punggungnya terbuka lebar sampai ke bawah dengan model huruf V sampai ke atas pinggulnya. Aku yakin sekali kalau Eksanti pasti tidak mengenakan bra saat itu.
Tanpa sempat duduk lagi, Eksanti langsung mengajak aku berangkat. Aku merangkul pinggangnya, Eksanti menjadi agak kikuk. Ia takut kalau teman-teman kostnya menyaksikan kemesraanku kepadanya. Begitu masuk ke dalam mobil, karena sudah tidak tertahankan lagi, aku memohon agar diijinkan untuk mengecup bibirnya yang merah merekah dan selalu tampak basah itu. Kulit mulus punggungnya yang terbuka itu aku belai lembut dengan jemari tanganku, dan aku memeluknya erat. Ternyata dugaanku benar, saat dadanya aku tekan erat-erat ke arah dadaku, terasa gumpalan daging yang kenyal tanpa terlindungi bra menempel erat di dadaku. Denyut jantungku langsung berdetak cepat.
Bersambung ke Bagian 2