Cerita Dewasa:
Istri Temanku 01
Kejadiannya bermula dari perjumpaan saya dengan seorang teman SMP saya di sebuah toko elektronik, ketika saya sedang membeli VCD Player. Pertemuan di toko itu kemudian dilanjutkan dengan makan malam bersama. Joko, teman saya itu, bekerja sebagai *** (edited) di salah satu perusahaan minyak. Karena ia bekerja di bagian produksi, maka waktunya lebih banyak dihabiskan di anjungan minyak lepas pantai. Dua minggu di anjungan, dan satu minggu kemudian ia bekerja di darat. Begitulah pola jadwal kerjanya. Ia telah 5 tahun menikah tetapi belum juga dikaruniai anak. Nama isterinya adalah Nina, bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi swasta. Pembicaraan di rumah makan tersebut sedemikian mengasyikkan. Kami banyak mengenang berbagai kejadian lucu semasa kami di SMP dahulu. Bagaimana kami berusaha mengintip paha guru-guru wanita, cerita tentang Bibi Kantin, dan sebagainya. Tidak kami sadari, rupanya rumah makan itu akan segera tutup. Kemudian Joko mengajak saya ke rumahnya.
Rumah Joko sudah sepi ketika kami sampai di sana. Menjawab pertanyaan Joko, pembantu wanita yang membukakan pintu mengatakan bahwa isteri Joko telah masuk kamar dari jam sembilan, mungkin sudah tidur katanya. Sambil duduk di ruang tamu menunggu Joko yang masuk ke kamarnya, saya mengamati rumah Joko yang cukup asri ini. Dari foto mereka yang terpajang, saya dapat melihat dan menilai bahwa isterinya cukup menarik dan seksi. Ternyata penilaian saya tersebut tidak salah. Dengan hanya mengenakan daster tanpa lengan dan sedikit terkantuk-kantuk ia menjulurkan tangannya, "Nina" katanya. "Bambang", jawabku singkat. Kemudian Nina mengatakan ia mohon maaf karena mengantuk sekali dan harus tidur cepat karena ia mendapat jadwal mengajar pagi keesokan harinya.
Tinggallah saya berdua dengan Joko melanjutkan perbincangan kami. Sambil berbincang-bincang, kemudian Joko mencoba VCD yang baru dibelinya. VCD itu sendiri isinya film yang cukup terkenal (judulnya kalau tidak salah "Indecent Proposal". Kurang lebih film itu berkisah tentang tawaran dari seorang pria untuk memberikan sejumlah besar uang apabila ia diperbolehkan mengencani isteri pria yang satunya tersebut). Sambil menonton Joko bertanya, "Kalau kamu bagaimana Bang?", tanyanya. Aku menjawab, "Enggak tahu deh.., bingung". Kemudian aku balik bertanya, "Kalau kamu bagaimana Jok?" Joko mengemukakan bahwa kalau ia menghadapi situasi yang demikian, maka ia akan menerima tawaran itu. Bahkan ia kemudian secara terbuka mengungkapkan kepadaku bahwa terkadang ia suka membayangkan isterinya ngentot dengan orang lain. Ia merasa janggal dengan keadaannya yang satu ini. Kemudian kami memperbincangkan berbagai hal lainnya. Menjelang tengah malam, akhirnya saya pamit, walaupun sebenarnya masih banyak yang ingin kami perbincangkan.
Dengan kesibukan masing-masing, selama hampir tiga minggu kami tidak berkomunikasi. Sampai akhirnya di satu hari Kamis, ia menelepon saya di kantor menjelang jam pulang kantor. Joko mengajak saya untuk bertemu di salah satu Cafe di bilangan Kemang. Karena tidak acara, akhirnya saya menyanggupi ajakan tersebut. Rupanya Joko ingin membicarakan suatu hal yang agak pribadi, sehingga ia mengajak saya bertemu di cafe tersebut. Setelah pembicaraan basa-basi, akhirnya ia mengutarakan maksud utama mengapa ia mengajak saya bertemu.
"Begini Mbang", kata Joko sebagai pembukaan.
"Sebetulnya saya agak sungkan mengemukakan hal yang akan saya utarakan ini, karena sifatnya begitu pribadi", lanjutnya, "Mudah-mudahan kamu tidak terkejut dan tidak berpikir yang bukan-bukan terhadap saya, setelah semuanya ini saya ungkapkan padamu" sambung Joko lagi.
"Ada apa sih Jok", tanyaku penasaran.
"Pernah tidak kamu membayangkan isterimu bermesraan dengan orang lain", tanyanya.
"Pernah", jawabku singkat dan sejujurnya memang demikian.
"Aku juga", katanya, "Bahkan, aku sangat terangsang kalau membayangkan isteriku ngentot dengan laki-laki lain" lanjutnya.
"Sebenarnya, secara tidak langsung aku pernah mengemukakan hal tersebut ketika kita nonton film di rumahku dulu" lanjutnya lagi, "Bayangan itu, hampir tiap malam singgah di kepalaku. Dan sepertinya aku tidak tahan lagi untuk mewujudkannya", kata Joko sambil meneguk minumannya. "Karena itulah, aku mengajakmu bertemu. Terus terang Mbang, aku mau minta tolong padamu. Maukah kamu menyetubuhi isteriku? Aku ingin melihat kamu menyetubuhi isteriku", katanya malu-malu.
Walaupun sebenarnya aku juga sudah menduga-duga kemungkinan akan hal itu, tetapi aku tetap tertegun mendengar ungkapan Joko tersebut.
"Maaf ya Mbang, kalau permintaanku itu kurang nikmat buat kamu", kata Joko melihat aku diam saja.
"Terus terang Jok, aku kaget dan agak bingung. Walaupun masih ada beberapa pertanyaan di benakku, tapi aku dapat memahami keinginanmu itu. Yang benar-benar membuatku bingung.., kenapa aku yang kamu pilih untuk menyetubuhi isterimu?", tanyaku.
"Ada beberapa alasan", jawab Joko. "Pertama, aku sudah cukup mengenal kamu, yang artinya kamu aku nilai tidak akan sembarangan membocorkan rahasia ini kepada orang lain. Kedua, walaupun kita kenal sudah cukup lama, tapi kita kan tidak sering berhubungan. Aku pikir keadaan itu dapat mengurangi resiko timbulnya berbagai masalah yang lebih besar kemungkinannya timbul kalau yang menyetubuhi isteriku adalah orang yang bergaul sehari-hari dengan kami", lanjut Joko.
"Maksudmu bagaimana Jok, aku agak kurang jelas?", tanyaku.
"Begini, seumpamanya yang menyetubuhi isteriku itu tetanggaku atau teman kantorku, kan kejadian itu dapat menimbulkan situasi hubungan yang baru di antara kami. Misalnya, jadi salah tingkah dalam berhubungan. Dan jika hal itu terjadi, akan lebih besar pengaruhnya dibandingkan jika dengan kamu. Karena, hampir tiap hari kan aku ketemu mereka." kata Joko menjelaskan.
"Kalau begitu, ada kemungkinan dong hubungan kita menjadi renggang?", tanyaku lebih jauh.
"Itu kan cuma permisalan saja", kata Joko.
"Tapi kan aku harus tetap memperhitungkannya", kata Joko lagi.
"Pertimbangan lainnya", tanyaku lagi.
"Terus terang Mbang, biar bagaimana juga kan aku harus pilih-pilih. Aku tidak mau dong orang sembarangan yang menyetubuhi isteriku. Tampang dan kondisi sosial-ekonomi, setidaknya selevel denganku", kata Joko.
"Kalau orang sembarangan, isteriku juga belum tentu mau", lanjut Joko lagi.
"Memangnya hal ini sudah kamu bicarakan dengan isterimu?", tanyaku sambil meneguk Coca Cola yang ada di hadapanku.
Kemudian Joko mengatakan, "Sudah tahunan Mbang aku mengungkapkan keinginanku ini ke Nina. Tapi dia selalu menolaknya. Ide gila katanya. Baru beberapa bulan yang lalu sikapnya agak melunak, karena kayaknya dia mulai takut aku ceraikan karena tidak punya anak. Tapi, sampai saat ini keinginanku itu belum terpenuhi. Kami belum menemukan orang yang benar-benar cocok dengan keinginan kami. Kadang aku yang tidak cocok, kadang dia yang tidak menyenangi orang yang aku usulkan. Ada juga yang alternatif orang yang kami berdua kurang cocok".
"Memangnya kalau aku, isterimu sudah setuju?", potongku.
Joko menjawab "Aku sudah pernah membicarakan kamu sebagai alternatif kepada Nina, dan responsnya menurutku lebih baik dibandingkan dengan calon-calon sebelumnya".
"Apa komentar Nina tentangku", tanyaku lagi.
"Nina bilang kamu 'boleh juga', dan seperti penilaianku, Nina juga menilai kamu cukup dikenal olehku, namun kita tidak terlalu dekat dan tidak terlalu sering berhubungan dengan kami", jawab Joko. Setelah menanyakan beberapa hal lainnya, kemudian aku mengatakan kepada Joko bahwa aku masih membutuhkan waktu untuk berpikir. Alasan utama yang aku utarakan adalah bahwa aku belum pernah melakukan hal tersebut. Kemudian setelah kami berbincang-bincang tentang berbagai hal lainnya, kami akhirnya pulang ke rumah masing-masing.
Pada malam saat aku berbicara dengan Joko di cafe tersebut, aku sebenarnya sudah ingin memberikan jawaban bersedia. Selain memang mungkin benar bahwa pria memiliki kecenderungan untuk tidak puas dengan satu wanita saja, juga didukung oleh situasi dimana satu bulan terakhir ini isteriku sudah tidak mau diajak ngentot karena usia kandungannya yang sudah tua. Faktor kebat-kebit sehubungan dengan hasratku terhadap mertuaku, juga semakin menggelitik kebutuhan seksku. Satu-satunya hal yang menunda persetujuanku adalah kekhawatiran akan resiko dari memenuhi permintaan itu. Pertama, terus terang aku takut affair tersebut akan diketahui orang dan akhirnya sampai ke telinga keluargaku atau keluarga isteriku. Kedua, aku khawatir kalau Joko meminta imbalan sebaliknya. Artinya, ia juga ingin menyetubuhi isteriku. Aku khawatir kalau ia meminta hal ini, aku tidak dapat memenuhinya. Isteriku kemungkinan besar akan menolak ide itu, aku sendiripun masih bertanya-tanya apakah aku mau membiarkan isteriku disetubuhi orang lain. Walaupun aku terkadang memfantasikannya, kan tetap ada beda antara fantasi dengan realita.
Setelah aku timbang-timbang kurang lebih selama seminggu, dan setelah memperoleh konfirmasi dari Joko bahwa ia tidak bermaksud untuk meminta imbalan menyetubuhi isteriku, akhirnya aku memutuskan untuk memenuhi tawaran dari Joko tersebut. Kemudian, melalui telepon aku memberitahu Joko, dan langsung saat itu juga kami membuat janji untuk bertemu di rumah Joko pada hari Jumat malam.
Dengan alasan ingin bertemu dengan teman lama, setelah mandi dan sempat bermasturbasi di kamar mandi, aku pamit pada isteriku dan berangkat ke rumah Joko. Makan malam di rumah Joko berlangsung agak kaku. Hanya Joko saja yang banyak berbicara dan berusaha menghangatkan suasana. Aku hanya mengiyakan atau menjawab singkat pertanyaan-pertanyaan Joko. Sementara itu, Nina lebih banyak menundukkan kepala dan terlihat agak jengah ketika bertemu pandang denganku. Yang ada di kepalaku saat itu, adalah bayangan bahwa sebentar lagi aku akan memesrai wanita ini. Beberapa kali aku sempat mencuri pandang ke arah Nina dengan agak menjelajahi tubuhnya. Khususnya, ketika ia berdiri dan berjalan mengambil buah untuk penutup makan malam itu.
Sehabis makan, ketika Nina membereskan meja makan, Joko dan saya duduk-duduk di ruang keluarga. Beberapa saat kemudian Nina masuk ke ruang keluarga itu, duduk di salah satu sofa tunggal di ruang itu. Ia duduk dengan kedua tangan menyatu dan diselipkan di antara kedua kakinya. Terkesan sangat gugup, canggung dan agak ketakutan. Suasana terasa sangat kaku, walaupun beberapa kali Joko berusaha melucu. Tatapan kami lebih sering ke arah televisi, tapi aku yakin kalau pikiran kami bukan ke acara di televisi tersebut. Suatu saat Joko berdiri dan kemudian menarik tangan Nina untuk bangun dari sofa yang di dudukinya. "Ada apa Mas?" tanya Nina keheranan. Tanpa menjawab, Joko kemudian menuntun Nina ke arahku yang duduk di sofa panjang, lalu mendudukkan Nina di sampingku. "Apa-apaan sih" kata Nina sambil terduduk. Situasinya semakin menjadi tidak enak dan semakin canggung.
"Kayaknya kamu terlalu maksa deh Jok" kataku kepada Joko. Nina diam saja dengan wajah memerah, campuran rasa malu dan canggung.
"Sorry deh, Mungkin lebih baik kalian berdua saja dulu untuk lebih akrab. Aku ke teras depan dulu ya..", kata Joko sambil berjalan meninggalkan kami.
"Kita batalin saja Nin, kalau kamu memang tidak mau", kataku kepada Nina sambil mengarahkan pandangan ke televisi lagi.
"Nggak apa-apa kok.., saya memang sudah menyanggupi hal ini pada Mas Joko. Cuma aku bingung saja aku harus bagaimana", jawab Nina. Kemudian aku memandang wajah Nina, terlihat pipinya memerah kembali.
"Aku juga bingung, belum pengalaman sih", jawabku sambil memberanikan diri memegang tangan Nina. Ia diam saja, dan membiarkan tangannya kuelus-elus. Detak jantungku maupun jantung Nina, semakin mengeras sejalan dengan kegugupan kami masing-masing.
Kemudian aku menyandarkan lenganku ke bahunya, terasa hangat namun tetap gugup. Kemudian kuusap-usap rambutnya, turun ke leher, ke rambut lagi. Bolak-balik begitu. Suasana terasa lebih rileks, dan kemudian Nina menyandarkan kepalanya ke punggung tangan kiriku yang ada di bahu kirinya. Kemudian tangan kanannya menarik tangan kananku dan meletakkan di telapak tangan kirinya, sambil tangan kanannya mengelus-elus punggung tangan kananku. Saat itu, bagi kami, terasa lebih mudah melakukan gerakan-gerakan dibandingkan dengan berbicara.
Setelah beberapa saat, kemudian aku menarik kedua tanganku, dan duduk menghadap Nina sambil memegang kedua pipinya dengan tanganku. Sesaat kami berpandangan, tetapi kemudian Nina menutup kedua matanya. Secara naluriah kemudian kucium bibir Nina. Untuk sesaat, terasa bibir Nina agak menutup rapat, tapi kemudian lama-lama melemah dan membuka. Kukulum bibirnya dengan lembut. Lalu kujepit bibir bawahnya dengan kedua bibirku, sambil kubelai bibir bawahnya itu dengan lidahku. Kemudian kukulum lagi lidahnya, terasa mulai ada respon dari Nina. Ia mulai aktif membalas ciuman dan kulumanku. Secara refleks, tanganku mulai membelai-belai toketnya, dan sesekali meremas dengan lembut. Kemudian Nina melenguh, dan melepaskan bibirnya dari bibirku dengan napas terengah-engah. Matanya terbuka dan kemudian bibirnya tersenyum, akupun tersenyum sambil memandangnya. "Aku belum pernah dicium dengan cara tadi dan belum pernah ciuman selama itu", kata Nina kepadaku. Aku diam saja sambil terus membelai toket Nina. Dengan gerakan memutar, aku mengelus daerah boba toketnya. Secara perlahan, aku dapat merasakan bahwa bobanya makin lama makin menonjol. Tanpa berkata-kata, kupeluk erat Nina, dan kemudian kucium lagi.
"Nah begitu dong..", kata Joko yang tanpa kami sadari sudah berada di dekat kami. Nina dan aku sama-sama terkejut dan agak terlonjak mendengar suara Joko. Tubuh kami pun menjadi agak merenggang.
"Ngaget-ngagetin saja kamu Jok" kataku sambil merasa agak malu dan sedikit terganggu, karena situasi tadi sempat membuaiku.
"Sorry deh.., kita ke kamar saja yuk", kata Joko. Kemudian kami bertiga masuk ke salah satu kamar. Perkiraanku, kamar ini bukanlah kamar mereka, karena terlihat agak kosong. Boleh jadi kamar ini adalah kamar untuk tamu.
Di kamar Joko langsung duduk di kursi meja rias dan berkata, "Terusin deh yang tadi.., kaya'nya kalian sudah mulai hot". Namun kecanggungan kembali merajai situasi di ruangan. Boleh jadi, keberadaan Joko menyebabkan kami menjadi canggung. Nina hanya duduk diam di salah satu sisi tempat tidur. Di sisi lainnya aku juga duduk terdiam. Namun kemudian aku berkata, "Rasanya canggung Jok ada kamu di sini".
Menyadari situasi, kemudian Joko mengatakan bahwa ia akan keluar dulu dari kamar itu, sementara kami mencoba untuk memadu kemesraan. Setelah Joko keluar kamar, baru terasa bahwa situasi menjadi lebih rileks dan menyenangkan. Aku kemudian tersenyum, sambil berjalan ke arah Nina. Nina membalas senyumanku itu sambil merentangkan tangannya dan memelukku ketika aku sampai di hadapannya. Sambil duduk kami terus berpelukan dan berciuman, sambil meraba-raba satu sama lainnya. Secara tidak sadar posisi kami sudah setengah berbaring. Kakiku dan kaki Nina masih terjuntai ke lantai, tapi aku sudah dalam posisi menindih Nina. Kuciumi toket Nina, ia mulai menggeliat-menggeliat sambil terkadang menarik nafas panjang. Nafasnyapun terdengar semakin berat. Kubuka kancing-kancing baju Nina, dan terlihatlah BH-nya yang berwarna coklat muda. Kusingkapkan BH sebelah kanan agak ke atas dan tersembullah buah dada Nina yang cukup besar itu. Bobanya tidak terlalu besar tetapi sudah cukup menonjol. Tampaknya ia sudah mulai terangsang. Segera kuciumi toketnya dan kumainkan bobanya dengan bibir dan lidahku, kadang-kadang kusedot boba toketnya. "Ooohh..", lenguh Nina, satu saat ketika bobanya kusedot.
Setelah cukup lama bermain-main dengan toketnya, kemudian ciumanku mulai turun ke arah perutnya. Nina menggeliat kegelian. "Geli Mas" katanya. Seakan-akan sudah janjian, kami kemudian merenggangkan tubuh kami dan sama-sama bangkit duduk, sambil melepas pakaian masing-masing, sehingga tinggal celana dalam kami masing-masing saja yang masih melekat di tubuh kami. Kemudian, kubaringkan Nina, dan kuciumi bagian dalam pahanya, sambil menarik celana dalamnya ke bawah, sampai akhir terlepas. Bulu-bulu di kemaluan Nina cukup lebat, tapi garis kemaluannya masih cukup jelas terlihat.
Kemudian, kubuka celana dalamku sendiri, sehingga akhirnya kami sama-sama telanjang bulat. Kulihat Nina agak tertegun melihat kemaluanku. "Kenapa Nin?", tanyaku. "Tidak apa-apa", jawabnya. Kemudian kutindih kembali Nina dan kuciumi leher dan kupingnya. Kembali terdengar lenguhan-lenguhan Nina. Agak berbeda dengan isteriku yang tidak banyak mengeluarkan bunyi kalau kami sedang bermesraan, Nina cukup banyak mengeluarkan bunyi, entah itu lenguhan "Ooohh" atau "eegghh" atau "heegg", dan beberapa bunyi lain yang tidak dapat aku ingat. Kemaluanku yang mulai membesar dan mengeras menempel di pahanya. Mungkin tanpa disadari, tangan Nina bergerak-gerak seakan mencari kemaluanku. Kuangkat sedikit pinggulku sehingga tangan Nina dapat menyelinap ke sela-sela badan kami dan akhirnya menyentuh kemaluanku. Dengan lembut kemaluanku digenggamnya dan digeser-geserkan ke selangkangannya. Nikmat rasanya, walaupun hanya bergesekan saja. Setelah cukup tegang, Nina melepaskan genggamannya pada kemaluanku dan kedua tangannya mulai mengusap-usap punggungku sambil terkadang memeluk erat tubuhku yang ada di atas tubuhnya.
Tiba-tiba ada seberkas cahaya tambahan terlihat. Kami sama-sama menoleh ke arah pintu dan melihat Joko berdiri di ambang pintu sedang memandang kami. Joko tertegun dan kemudian menganggukkan kepalanya. Aku tidak tahu apa maksud dari anggukan kepalanya. Hanya aku sempat kesal dan berpikir, "waduh ini orang, selalu tidak sabaran dan menggangu saja". Berusaha mengabaikan keberadan Joko, kugesekkan terus kemaluanku di selangkangan Nina, yang rasanya mulai membasah. Khawatir "turun" lagi situasi yang sudah panas ini, kupegang kemaluanku dan mencoba mengarahkannya ke lubang keramat Nina. Dengan sedikit dorongan ekstra, akhirnya kemaluanku berhasil menembus lubang kemaluan Nina. Pada dorongan pertama hanya kepalanya saja yang masuk. Terasa hangat dan empuk kemaluan Nina. Ketika kumasukkan, Nina mengeluh, "aduuhh..". Kutarik dan kemudian kumasukkan lagi kemaluanku, hasilnya lebih dalam dari yang pertama.
Pada entotan kelima, bersamaan dengan masuknya seluruh batang kemaluanku ke lubang kemaluan Nina, Nina kembali mengeluh, "Aduuhh sakit Mas..", katanya. Kudiamkan sebentar kemaluanku di dalam kemaluan Nina. Kemudian kadang-kadang kutegangkan kemaluanku yang masih di dalam kemaluan Nina dengan sedikit mengencangkan otot-otot selangkanganku. Secara halus kurasakan kadang-kadang kemaluan Nina berespon, dengan gerakan menyempit kemudian normal dan menyempit lagi. Tatkala kutatap wajah Nina yang tersenyum kecil, aku baru sadar bahwa ia memang sengaja membalas gerakanku menegangkan kemaluanku tersebut dengan gerakan memeknya. Beberapa lama kami berkomunikasi dengan kemaluanku, tanpa Joko dapat melihatnya. Tetapi kemudian aku tidak tahan lagi. Segera kuentot lagi pinggulku, kira-kira pada entotan yang ke sepuluh, aku tidak tahan lagi dan akhirnya memuncratkan air maniku di dalam kemaluan Nina. Entah karena sensasi pengalaman baru, entah karena munculnya Joko, entah karena sudah cukup lama aku tidak ngentot, yang menyebabkan aku ejakulasi lebih cepat dari biasanya. Yang jelas aku terbaring di atas tubuh Nina dan mebisikkan ke telinga Nina, "Terima kasih Nin. Punyamu sempit dan nikmat sekali". Nina diam saja. Setelah beberapa lama dalam posisi itu, kemudian Nina berkata, "Sesak nafasku Mas, badanmu berat". Aku tahu diri dan kemudian menggeser badanku ke samping dan berbaring tertelentang menikmati pengalaman yang baru kurasakan.
Bersambung ke bagian 02