Cerita Dewasa:
Eksanti, Proposal yang Tertunda - 1
Sejak kejadian dimana si manajer itu menceritakan pengalaman cintanya dengan Eksanti (baca: Eksanti, The other Manager part 1, 2 dan 3), aku sama sekali tidak pernah lagi berusaha untuk mengajak Eksanti bercumbu lagi. Pada awalnya aku bahkan merasa agak malas untuk berbicara dengan Eksanti, namun aku harus berusaha untuk selalu bersikap professional, memisahkan antara hal-hal yang pribadi dengan urusan pekerjaan. Aku sendiri juga tidak pernah sempat dan tidak pernah ingin untuk mengkonfirmasikan kebenaran cerita si manajer itu kepadanya. Bagiku, bila hal itu memang benar-benar terjadi di antara mereka, itu adalah urusan pribadi Eksanti.
Namun, sebagai manusia biasa, aku juga merasa 'dikhianati' oleh Eksanti. Aku telah cukup bersikap toleran dengan apa yang dilakukannya dengan orang lain, sebelum ia berhubungan denganku. Tetapi toh toleransiku ada batasnya, bila hal itu masih juga dilakukannya pada saat kami masih berhubungan.
Hingga tiba pada suatu malam saat aku tidak kuasa menahan rasa rinduku kepadanya, dan kami pun akhirnya berfantasi cinta melalui telepon (baca: Eksanti, Fantasi dalam Telepon part 1 & part 2). Kejadian itu berlangsung hari Kamis yang lalu. Sejak malam itu, aku pun juga sudah mulai tidak memperdulikan lagi cerita si manajer itu, walapun aku masih tetap penasaran, apakah Eksanti benar-benar melakukan hal itu?
Hari Jum'at-nya, seharian aku berada di luar kantor sehingga tidak sempat untuk berbicara banyak dengan Eksanti, kecuali memberikan pesan-pesan mengenai persiapan penyusunan proposal yang harus dikirimkan pada salah satu klien besar perusahaan kami pada hari Senin minggu depan.
Hari Sabtu siang udara Jakarta panas sekali, aku masih berada di kantor karena masih ada pekerjaan yang harus aku selesaikan pada akhir minggu ini. Sengaja hari Jum'at sore sebelumnya, aku telah meminta Eksanti untuk membantuku menyelesaikan proposal yang harus dikirim pada hari Senin besok. Akupun juga meminta bantuan salah seorang office boy di kantor kami, untuk datang pada hari Sabtu itu.
Sampai dengan saat waktu makan siang, kami bertiga masih berada di dalam kantor. Tetapi karena office boy itu ada keperluan keluarga, yang memang telah dikatakannya kemarin kepadaku, maka setelah makan siang ia meminta ijin untuk pulang lebih awal. Aku mengijinkannya sambil berpesan agar ia mengingatkan Eksanti untuk mengunci pintu kantor dari dalam. Aku khawatir ada orang yang masuk ke dalam kantor tanpa diketahui ketika kami sedang asyik bekerja di ruang dalam. Kini hanya tinggal kami berdua, aku dan Eksanti, yang berada di seluruh lantai 25 gedung kantor itu. Eksanti bekerja di ruang depan dan aku di dalam kamar kerjaku.
*****
Ketika aku kembali hendak mulai bekerja, sejenak aku baru menyadari bahwa aku hanya tinggal berdua dengan assistenku -dan kekasihku-. Namun tiba-tiba kembali pikiranku tentang cerita si manajer itu menggangguku. Sehingga aku tidak bisa kembali berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaanku. Aku harus mengorbankan prinsipku untuk tidak mengurusi hal-hal pribadi, aku harus meminta penjelasan kejadian yang sesungguhnya, aku tidak mau 'dikhianati'.
"San, bisa ke kamarku sebentar", aku memanggilnya melalui interkom.
"Yaa.., Mas", ia menyahut.
Tidak lama berselang Eksanti mengetok pintu dan masuk sambil membawa notulen dan pensil seperti biasanya.
"Ada yang bisa saya bantu Mas?", tanyanya sambil duduk di kursi depanku.
Aku tersenyum lalu dengan nada berat aku berucap pelan, "Santi, sebenarnya ini masalah pribadi, tapi boleh dong kalau aku bertanya terus terang kepadamu?"
"Achh.. Mas, kenapa mesti ragu-ragu sih, mau nanya apa..?", Eksanti menjawab dengan nada sedikit penasaran.
"Sebelum aku bertanya, kamu mau janji nggak..?", pintaku lagi.
"Janji apa..?, ia makin penasaran.
"Janji kamu tidak akan marah kepada siapapun dengan pertanyaanku ini", aku mengajukan persyaratan sebelum menjawab rasa penasarannya.
"Yaa.. tergantung jenis pertanyaannya sih..?", jawab Eksanti yang berusaha mempermainkanku.
"Yaa.. udah kalau gitu, aku nggak jadi nanya", aku sedikit kesal dengan candanya.
"Ehh.. Santi cuman bercanda kok. Santi janji deh, nggak bakal marah sama siapa-siapa. Mas, mau tanya apa sih..?", ungkap Santi semakin penasaran.
"Hee.. emm", aku berdehem sejenak, sungguh sangat sulit mengungkapkannya.
Lalu aku meneruskan, "Santi, kamu pernah pergi ke Surabaya untuk urusan kantor tanpa seijinku nggak?"
"Tidak pernah.., Lho emang ada apa sih Mas?", ia menjawab sambil memicingkan matanya.
"benar.. Tidak pernah?", aku masih belum percaya.
"Sumpah, demi..", tidak sempat ia melanjutkan kata-katanya.
Lalu aku memotong, "Oke.., oke.. nggak usah demi-demian, Mas percaya".
"Sekarang jadi Santi yang penasaran, emangnya ada apa sih Mas..?", Eksanti balik bertanya kepadaku.
Aku tidak menjawab pertanyaannya, bahkan kembali meneruskan pertanyaanku sebelumnya.
"Jadi kamu benar tidak pernah pergi ke Surabaya dengan manajer bussiness development kita".
"Ooo.. Santi mulai ngerti maksud Mas. Iyaa.. Santi emang banyak mbantuin dia, tapi Mas kan juga tahu. Hal itu 'kan juga atas seijin Mas, walaupun tugas utama Santi bukan untuk hal itu", Santi menjelaskan dengan sangat lancar. Ia memang agak mudah tersinggung kalau aku bertanya terlalu 'straight forward' seperti itu. Ia tidak mau dituduh yang bukan-bukan, aku sangat tahu kebiasaannya itu.
"Tapi kamu mbantuin dia sampai Surabaya nggak..?", aku kembali penasaran dengan pernyataannya yang mendua itu.
"Nggak pernah, Santi cuman mbantuin dia untuk membereskan file-file pengembangan usaha kita di Surabaya itu, di kantor ini saja. Titik..! Santi sama sekali tidak pernah ikut dia ke luar kantor ini untuk urusan bisnis apapun", ia masih menjelaskan dengan nada sedikit ketus.
"Jadi.., kamu pernah dong keluar sama dia untuk urusan yang lain..", aku kembali bertanya, kali ini dengan nada sedikit cemburu yang tidak bisa aku sembunyikan.
Eksanti agaknya mengerti perasaanku, maka nada bicaranya pun sedikit melunak dan ia mulai berani jujur menjelaskan.
"Begini Mas, gara-gara Santi banyak mbantuin urusan dia, Santi emang menjadi lebih dekat kepadanya daripada seharusnya. Terus, tanpa sengaja Santi juga sering cerita tentang masalah-masalah Santi kepadanya.."
"Kok bisa begitu..?", aku ingin agar ia meneruskan penjelasannya.
"Abis dianya itu hee.. hee.. romantis sih Mas, lebih romantis dari Mas.. Hee.. hee.. Jangan marah yaa.. Sebenarnya Santi juga sih yang salah. Karena cara-cara dia yang sangat romantis itu Santi jadi kepancing untuk cerita banyak kepadanya. Tapi, Mas boleh percaya boleh nggak, Santi cuman sampai sebatas jalan bareng dan cerita, tidak melakukan hal-hal lain. Kalau pas lagi curhat terus pegang-pegang sedikit, 'kali iyaa.. pernah, tapi cuman itu. Santi tidak pernah melakukan dengan orang lain, selama Santi dengan Mas."
Aku sedikit lega mendengar pengakuannya, lalu kembali melanjutkan, "Tapi Santi nggak pernah cerita apapun kepadanya tentang hubungan kita 'kan?"
"Yaa.. ampun, yaa.. nggak dong Mas", ucapannya semakin melegakanku.
"Oke.. Mas percaya. Mas minta maaf yaa.. kalau pertanyaan Mas tadi sebenarnya sangat pribadi banget", aku berkata sambil tersenyum.
"Nggak apa-apa kok Mas, Santi ngertiin", ia pun menjawab dengan senyum tipis. Oohh.. sungguh cantik kalau dia lagi berekspresi seperti itu.
"Iyaa.., kamu kan tahu Mas sebenarnya berprinsip tidak mau mengganggu urusan-urusan pribadimu".
"Iyaa.., Santi ngerti Mas, tapi ngomong-ngomong kok Mas nanya begini emang ada apa sih".
"Nggak ada apa-apa, Mas cuman nggak pengin kamu pergi jauh tanpa seijinku apalagi untuk urusan kantor. 'Ntar kalau ada apa-apa, kan Mas juga yag harus bertanggung jawab pada bos-bos kita", untunglah aku bisa berpikir cepat untuk berbohong kepadanya. Aku sungguh tidak bisa membayangkan kalau aku menceritakan hal yang sebenarnya kepadanya. Aku merasa sedikit berdosa telah berbohong kepadanya, tetapi bukankah itu jauh lebih baik daripada nanti Eksanti menjadi marah kepada si manajer itu, karena ceritanya yang terlalu mengada-ada?
"Terima kasih, Mas begitu memperhatikan Santi" ia kembali tersenyum manis sekali.
"Iyaa.. deh, aku sudah selesai, kamu boleh meneruskan pekerjaanmu. Ayo.. sudah hampir sore lho.., nanti nggak selesai!", aku mengingatkan kembali kepadanya tentang proposal yang harus segera kami selesaikan.
"Santi, ke depan dulu yaa.. Mas, 'ntar kalau ada yang lain panggil lagi aja", ujarnya sambil berdiri menuju pintu kamar kerjaku.
"Oke, thanks.. yaa..", aku mengangguk sambil tersenyum
Pintu kamar kerjaku ditutup dan aku bernafas lega. Lega karena aku berani bertanya kepada Eksanti, lega karena Eksanti tidak benar-benar melakukannya, dan mungkin juga lega karena aku merasa tidak dikhianati oleh dia dan sahabatku. Aku juga lega karena aku tidak harus mengingat-ngingat hal yang menyebalkan itu
*****
Udara di dalam kantor kita terasa semakin panas, karena AC telah dimatikan dan peluhku mulai bermunculan. Pukul 15.30 siang saat aku melirik ke arah jam dinding di kamar kerjaku tiba-tiba aku teringat, bahwa aku harus melakukan koreksi atas materi yang sedang diketik Eksanti. Lalu aku segera meninggalkan kursiku menuju ke arah ruangan meja kerjanya. Saat aku berjalan di lorong ruangan kantor yang menghubungkan ruanganku dengan meja kerjanya, saat itu aku melihat Eksanti sedang melepas blazer dan menggantungkannya di sebuah hanger yang ada di ruangannya. Saat itulah aku tahu, ia ternyata mengenakan BH berwarna hitam yang nampak membayang jelas di balik kemeja putih tipisnya, membuatku semakin terpesona akan kecantikan dan keseksian dirinya.
Karena suhu ruang yang terasa panas, ia kemudian juga melepas sepatunya, lalu berjalan ke arah lemari dinding abu-abu di depan meja kerjanya. Ia duduk di depan lemari itu dengan melipat kedua lututnya, sambil membenahi berkas kertas-kertas proposal yang akan disusunnya. Darahku berdesir ketika melihat singkapan pahanya yang putih, mulus bagaikan pualam. Lalu aku berjalan mendekat ke arahnya. Mataku masih sempat melihat butiran-butiran peluh membasahi kening dan mengalir di sekitar lehernya, menyusup ke dalam belahan bajunya. 'Acchh.., kasihan ia merasa sangat kegerahan", aku bekata dalam hati.
"Gimana, udah hampir selesai belum materinya yang lain, Mas?", tanyanya dengan nada riang, walaupun aku tahu ia sudah nampak mulai letih.
"Perfect, sedikit lagi..!", sahutku sambil mengacungkan jempol.
Kemudian aku melangkah menghampiri dan duduk bersebelahan dengan dirinya. Dari sudut penglihatan mataku, kembali aku melirik. Kedua belah pahanya yang putih mulus terpampang jelas di sana. Bau harum parfum dan keringatnya menambah deras aliran darahku. Dengan tetap sambil duduk, Eksanti menatap ke arahku untuk menanyakan apakah masih ada yang bisa dibantu. Mataku terpaku ke arah matanya, dan gejolak birahiku semakin menjadi-jadi saat selintas aku melirik kedalam belahan blouse putih yang ia kenakan. Akupun lalu berjongkok sambil membantunya membenahi kertas-kertas yang berserakan, dan mataku tak kuasa untuk melirik kembali ke arah kaki indahnya. Glek.. Aku menelan air liurku sendiri, kejantananku semakin mengeras dan aku tidak kuasa menahan birahiku.
"Kok gerah yaa..?", tanyanya sambil matanya mencari-cari letak blower AC di ruangan itu.
"Masa sih? Kalau buat aku masih agak lumayan nih dinginnya di sini, daripada di ruanganku yang tertutup rapat", sahutku agak tergagap.
Kemudian aku bangkit berdiri untuk menghampiri letak jendela kaca yang berada di belakang mejanya, masih di ruang itu. Aku segera memeriksa bukaan jendela di balik kerainya, dan ternyata jendela masih tertutup rapat. Akupun membukanya, dan memberitahu pada Eksanti bahwa jendela kaca ruangan itu sudah aku buka untuk mengalirkan angin dari luar gedung jangkung itu agar lebih sejuk.
Ketika aku duduk kembali di sampingnya, Eksanti mengibas-ngibaskan krah kemejanya seolah masih kegerahan. Kemudian ia melepas satu kancing kemejanya, belahan dadanya menyembul, hmm.., putih sekali. Ia menatapku dan tersenyum. "Oh boy! What a fucking teaser girl", pikirku dengan dada mulai berdebar-debar.
Semuanya ia lakukan dengan mempesona, tanpa menampakkannya sebagai sebuah kesengajaan, begitu halus dan menggoda. Aku menghela nafas panjang, dudukku mulai terasa tak nyaman, ada yang memberontak di bagian bawah pusarku. Aku merasa Eksanti pun telah melihatnya, karena lirikan matanya berulang kali mengarah ke sana.
"Hmm.., sekarang baru terasa juga gerahnya", kataku sambil menatap dengan tajam dua bola matanya.
Aku menggerakkan tanganku ke bagian atas bajuku, dan dengan teramat perlahan aku buka pula satu kancing bajuku. Aku lihat matanya menyipit, lalu aku buka satu lagi kancing bajuku. Dengan perlahan aku sibakkan kemejaku hingga dadaku terbuka menampakkan sebentuk bidang kokoh dengan kulit bersih di balik kemejaku. Aku melihat ia mengigit bibir. Beberapa saat kami terdiam saling menatap, kedua mata kami saling bergantian menatap, ke arah wajah, turun ke dada, ke arah wajah kembali, turun ke dada kembali. Aku biarkan ia mengamati sinar mataku yang memancarkan gairah. Sinar matanya pun juga mulai mengalirkan pesona birahi.