Cerita Dewasa:
Ilalang Patah 01
Pertama melihatnya, hatiku seperti hilang setengah. Energiku down sampai 25 persen hingga harus bertumpu di kursi. Tatapanku menghujam tepat di matanya yang menatapku. Lalu tatapanku berpendar ke seluruh permukaan wajahnya. Tak terkata betapa memikatnya Tuhan menciptakan gadis kecil ini. Ibarat hasil maha karya sempurna yang tak ternilai. Mungkin yang dapat kugambarkan hanya warna pipinya yang putih dengan semburat rona ungu dan bibirnya yang merah bak jambu air yang menantang untuk digigit.
Aku dibebani tugas menjadi ketua panitia penyambutan siswa baru. Padahal aku baru juga naik ke kelas dua. Seandainya dapat memilih, aku memilih tidak ingin jadi panitia apapun. Aku lebih suka memanfaatkan waktu luang untuk mengurus kebun coklat peninggalan ayah yang tidak seberapa. Lumayan untuk tabungan dan keseharianku dengan Mama. Tapi tugas adalah tanggung jawab, apalagi ini dengan restu Kepala Sekolah. Repotlah aku mengurusi dua ratusan anak-anak yang baru melepas seragam putih biru itu. Dan saat itulah dia datang!
Melihatnya, aku seperti melihat sesuatu yang seperti 'milikku'. Seandainya dia sebuah mainan, maka aku sangat ingin memilikinya. Andai dia permen, maka aku ingin mengemutnya. Atau misalnya dia boneka, maka aku ingin memeluknya. Atau mungkin dia aroma udara, maka aku ingin menghirupnya dalam-dalam hingga dia tinggal sepenuhnya dalam diriku.
Tapi keinginan itu tinggal keinginan. Dia seperti bulan yang mustahil kuraih. Teman-teman mengakui aku menarik. Tapi semua itu hampir tidak ada artinya dibanding dia. Dia cantik lahir bathin, kaya dan putri tunggal Bupati, serta cerdas. Kecerdasannya dapat dilihat saat setahun kemudian kami sama-sama masuk final Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional wilayah timur.
Masuk final berarti kami akan melakukan perjalanan dan harus menginap sedikitnya dua malam untuk masing-masing dua kali persentase. Di hotel, kami mengambil dua kamar. Satu untukku dan Pak Yamin, satunya lagi untuk ibu Hana dan dia. Lucunya, ternyata dua official kami, Pak Yamin dan Bu Hana sementara dalam proses 'saling mendekat'.
Melewati dua hari yang melelahkan, kami memutuskan menambah waktu dua hari untuk menunggu pengumuman hasil. Mungkin juga menjaga jangan sampai ada pemberitahuan berikut. Tapi menambah waktu berarti ada waktu jalan-jalan. Lalu siang jam satu, official kami mengajak nonton di Twenty One. Tapi kurasa itu hanya basa-basi. Aku menolak dan lebih memilih jalan dengan Ika (nama gadis itu) lihat-lihat buku di Gramedia. Ika sepakat, tapi setelah mereka berangkat, Ika malah menerobos ke kamarku.
"Aku mau tidur di sini," ucapnya ringan.
"Cewek masuk kamar cowok nggak baik dilihat orang," celetukku asal.
Ia tidak menjawab. Malah mengunci pintu dan memasukkan anak kunci ke sakunya. Tubuhnya dihempaskan ke kasur. Nampaknya dia betul-betul ingin tidur.
Tidak lama dia pulas dengan irama napas yang teratur. Wah, tidur kok di sini, pikirku. Dia juga kan punya kamar. Kalau begini, aku tidak bisa keluar. Aku tidak mungkin mengambil anak kunci di sakunya. Apalagi di saku depan. Memikirkannya saja sudah tidak mungkin.
Menunggu setengah jam lebih, aku ikut mengantuk. Mungkin kami memang butuh istirahat setelah dua hari memforsir tenaga dan pikiran. Hati-hati aku berbaring di sebelahnya setelah sebelumnya memasang guling sebagai pembatas. Rasanya deg-degan juga tidur di sebelah gadis yang telah lama memikat hatiku ini. Tapi perasaan ingin 'memilikinya' telah lama kukubur. Mungkin itu yang membuatku cepat terlelap.
Aku terbangun setelah merasa pipiku hangat dan pinggangku terbebani sesuatu. Aku kaget bukan kepalang menyadari pipi Ika yang menghangatkan pipiku. Seperti mimpi, tapi ini nyata. Terasa betul napasnya hangat. Di bawah, betisnya melingkari pinggangku. Pangkal pahanya bersandar tepat di pinggang sebelah kiri. Hangat.
Aku grogi bukan main. Seumur-umur, baru ini pipiku berdekatan dengan pipi cewek. Badanku rasanya bergetar. Mungkin kalau cewek lain, aku masih bisa tenang. Tapi ini, Ika! Gadis yang telah mencuri setengah dari hatiku. Tak bisa berbuat lain, aku diam saja. Tapi menghayati ke-'diam'-an dalam suasana begitu, menimbulkan perasaan intim di hatiku. Tidak mampu kutahan, tanganku bergerak membelai rambutnya yang hitam lebat dan beraroma.
Aromanya! Ah, ini menyebabkan aliran darahku mengalir deras dan berpusat di tengah tubuhku. Ada yang tegang di antara degup jantung yang cepat. Aku mulai mengerti diriku saat lengan Ika tiba-tiba mendekap lebih erat. Ia menyeruakkan kepalanya di leherku. Kulirik matanya, kelopaknya tertutup. Ia tetap tidur.
Lamat-lamat kupikir, boneka yang kudamba itu kini dapat kupeluk dan aroma udara itu kini dapat kuhirup! Sekilas peringatan bahwa ini bukan sewajarnya, aku langsung menarik tangan. Saat itu juga kelopak mata Ika berkerjap-kerjap membuka. Ekspresi pertamanya adalah bingung. Serta merta dia menarik diri. Mungkin sadar kalau dia yang mendekapku, dia mendesah lirih dengan wajah memerah.
"Maaf Kak. Ika kira Mama."
Tadinya aku ingin minta maaf. Tapi melihat ekspresinya, aku jadi ingin mencubitnya. Tapi aku tidak berani. Aku malah tertawa sampai badanku terguncang-guncang.
"Puas ya, bikin orang kayak guling," candaku.
"Ih, Kakak!" teriaknya tertahan.
Lalu tanpa kuduga dia kembali mendekapku dan menyembunyikan wajah di leherku, sementara kakinya disusupkan di antara kakiku yang miring. Aku kegelian. Tapi satu yang tidak kuperhatikan dari tadi adalah sesuatu yang empuk menyentuh dadaku. Dua bukit kembar itu terasa betul. Kedekatan yang hampir menyatu ini betul-betul membolak-balikkan pikiranku. Darahku yang tadi mengalir deras, kini tambah deras. Aku diam menikmati sensasi baru itu.
Ekor mataku menangkap gerak jam dinding. Jam dua lewat empat puluh menit. Hmm, mereka pasti pulang sore atau malah malam, pikirku mengingat dua official kami. Tidak mungkin dua orang yang lagi kasmaran itu hanya nonton saja. Paling disambung JJS (Jalan-Jalan Sore) atau camilan entah di mana.
Sementara berpikir, tanpa kusadari tanganku bergerak memeluk pinggang Ika. Tubuhnya seperti mau hilang dan menyatu dengan tubuhku. Aku memang lebih tinggi. Dikeloni begitu, Ika malah tambah merapatkan tubuhnya.
"Hihihi, ah," aku kegelian merasa hembusan napasnya di leherku. Bulu romaku merinding.
"Geli, ah.." ringisku sambil mengubah letak kepalanya. Tapi jariku tidak sengaja malah menyentuh bibirnya.
Spontan dia menengadah dengan mata berkerjap-kerjap indah. Sungguh, caranya menatap dari jarak sepuluh senti itu membuatku ingin menyentuh bibirnya lagi. Tapi tatapan jernihnya sangat polos dan mengundang perasaan sayang.
Perlahan gelora dalam tubuhku berkurang. Tinggal degup jantungku yang malah bertambah. Rasanya aku seperti sedang memandang seorang 'adik' yang hanya untuk disayang. Sedikit beda barangkali, karena ada juga perasaan ingin 'menyentuhnya lebih dalam'.
Ika masih menatapku saat jariku bergerak menyentuh bibir mungilnya. Kubelai pelan kelopak yang mengatup itu penuh perasaan. Lembut, kenyal dan agak lembab. Bibir yang sempurna, bisikku dalam hati. Tiga kali kuusap-usap ke kiri dan kanan hingga sesekali tersibak, Ika menggeser naik badannya hingga wajah kami hampir sejajar. Lagi-lagi kurasakan dadanya menekan erat di dadaku. Kembali getaran aneh menyelimutiku. Kulirik dadanya, ia ikut melirik dan mendapati kancing kemeja atasnya terlepas.
"Eh..?" dia tersentak.
Ternyata kancingnya tanggal. Kembali aku terguncang oleh tawaku sendiri. Wajahnya memberenggut kesal. Dia membalik badan membelakangiku.
"Peluk Ika dong Kak," pintanya sambil meraih lenganku melingkari lehernya.
"Ika enak tidur kalau dipeluk begini," sambungnya.
Wah! Dipeluk? Aku gregetan bukan main. Tadi saja sudah bikin gemetar, padahal tidak sengaja. Lha, ini?
"Kamu sering dipeluk begini?" tanyaku, terlepas begitu saja.
Diam-diam ada perasaan lain di hatiku. Seperti tidak rela dia dipeluk orang lain. Hmm, rasa cemburukah ini?
"Iya, tapi sama Mama aja. Papa ngomel-ngomel kalau Ika minta dikelonin ama dia. Heran, Papa kok gitu ya?"
"Ya, tentu aja," ringisku, tapi hanya dalam hati.
Ini anak polos amat, sih? gerutuku. Hampir 16 tahun masih 'bloon'. Mungkin dia belum banyak tahu seperti aku yang juga masih hijau.
"Kakak belum pernah dengar kamu pacaran, Ik?" tanyaku mengikuti caranya menyebut diriku 'kakak'. Tanganku menyentuh pipinya. Uh, halus dan nyaman sekali!
"Bakal ada perang dunia kalau Papa dengar Ika pacaran. Makanya Ika nggak mau pacaran. Lagian, perasaan, Ika belum butuh tuh. Kalau.. Uffhh.." Ika meniup tanganku yang turun ke bibirnya.
Tanganku disorong ke bawah, tapi justru menyentuh bukit kembarnya yang empuk.
"Eh?!" spontan ia memekik pelan. Tubuhnya dihadapkan ke badanku.
"Kak." bisiknya dengan tatapan menghujam mataku. "Kok Ika merinding ya?"
"Merinding?"
"Iya. Tuh, lihat..!" dia menyodorkan lengannya.
"Waktu dada Ika kesentuh tadi, badan Ika seperti kena stroom. Kenapa ya?"
"Masak sih?"
"Iya. Coba, satu kali lagi."
Wah! Menyentuh dadanya? Ini sih bahaya! Tapi aku tidak dapat berpikir lagi. Tangan kananku bergerak menyentuh gundukan padat berukuran standar yang masih terbungkus itu. Tapi yang kurasa tidak seberapa kecuali bukit berlekuk. Coba kutekan sedikit. Hm, kenyal sekali.
"Tuh, lihat. Merinding kan?" Ika menatapku. "Tapi menyenangkan, hihihi."
Dia mengetatkan pelukannya hingga pipi kami bersentuhan lagi. Sepertinya dia merasakan getar kewanitaannya dan ingin menikmatinya. Bukit dadanya ditekan kuat ke dadaku. Terdengar suara napasnya agak memburu. Tapi itu bukan hanya napasnya. Napasku juga menjadi pendek-pendek seperti kekurangan oksigen. Baru kusadari kalau sesuatu di bawah perutku menegang dan terasa sakit karena terkungkung celana. Aku menarik badan sedikit dan memperbaiki posisi. Ika memperhatikan wajahku yang meringis.
"Kenapa Kak?""Nggak. Cuma bikin nyaman aja," elakku.
Aku tidak mau dia tahu kalau aku sedang tegang.
"Kamu pernah dicium, Ik?"
"Udah. Sering, malah. Di pipi. Eh, Ika pernah lihat orang ciuman di bibir. Hani juga ama Mila pernah begitu. Enak, kali ya?"
"Nggak tau. Nggak pernah, sih." Aku tersenyum kecut. "Mau coba?" tanyaku, asal.
Entah dari mana ide konyol itu.
Ika berpikir sesaat lalu mengangguk. Wah, busyet! Kulirik matanya menutup. Aku coba mengingat-ingat bagaimana cara orang berciuman. Bayangan film dan novel-novel yang pernah kubaca tidak dapat tergambar jelas. Akhirnya aku berimprovisasi membayangkan seandainya posisiku berada di posisinya, kira-kira apa yang menyenangkan?
Mungkin merasa kelamaan, mata Ika membuka lagi. Saat menutup kembali, kelopak matanya itu yang kukecup pertama baru kemudian mencari bibirnya. Terasa napasnya menghantam leherku. Lengannya menekan erat lenganku. Asyik juga, pengalaman mendebarkan nih, pikirku sesaat.
Dua kelopak bibirnya ingin kuemut sekaligus. Tapi tidak. Pertama menelusuri kelopak atas dan kelopak bawah dengan lidahku, sekedar membasahi. Setelah menempel hangat dengan bibirku, baru aku menyibaknya. Lidahku sedikit masuk dan menggigit-gigit pelan sambil sesekali menghisapnya. Bibir Ika yang tipis penuh dan lembut itu terasa segar dan manis. Ika sepertinya cepat paham. Ia melakukan apa yang kulakukan. Tapi posisi miring membuatku kram. Setelah melepas lenganku dari bawah tengkuknya, aku menggerakkan badan ke atasnya, tapi tetap masih miring. Bukannya membantu, dia malah mendorong tubuhku dan menarik diri agak jauh. Ia bangkit tersenyum sambil berkerjap-kerjap indah.
"Ternyata rasanya seperti itu ya..?" ucapnya tanpa memandangku.
Tatapannya menerawang seperti kembali menghayati apa yang baru dirasakannya. Suasana itu membuatku diam. Aku merasa bagai dalam mimpi. Sungguh, ini pengalaman pertama yang takkan pernah kulupa, sampai kapan pun.
"Apa yang kamu pikirkan, Kak?" suara Ika terdengar normal.
Melihat caranya menatapku, aku sadar kalau seluruh hatiku sudah menjadi miliknya. Aku mencintaimu Ika, batinku.
"Kamu cantik," elakku, bernada canda.
"Mhuumm.."
Tok! Tok! Tok!
Eh?! Refleks kami menoleh ke pintu. Jangan-jangan.. mereka, wah! Dengan anggukan, Ika mengerti aku menyuruhnya membuka pintu sementara aku merapikan bantal dan sprei yang kusut.
Syukur! Ternyata resepsionis hotel. Laki-laki setengah baya itu tersenyum melihat baju kami yang kusut. Tapi dia tidak perlu curiga berlebihan. Aku yakin dia pasti tidak akan berprasangka kami berbuat yang aneh-aneh.
"Ada telepon dari official kalian," ucapnya santai. "Mereka akan pulang malam. Sekitar jam sembilan atau jam sepuluh lah."
Aku mengangguk sebelum ia menarik daun pintu. Ika hanya menggerendelnya. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya. Hampir setengah empat, sekarang. Di pinggir jendela aku menemukan kesadaranku kembali dengan utuh, merasa apa yang baru saja terjadi adalah sebuah kesalahan.
"Tidak baik kita berduaan di kamar begini." ucapku tanpa berani memandangnya.
Tapi aku merasa yakin Ika memperhatikanku. Dia mendekat dan menatap persis di depan mataku. Kulihat ada kabut di pandangannya, tapi dalam waktu singkat berubah penuh bintang. Lenganku ditarik dan kami duduk di tepi tempat tidur. Apa lagi nih, tanyaku dalam hati. Tapi dia hanya tersenyum-senyum dalam sekian detik.
"Ika merasa punya seorang Kakak, sekarang. Mmm.. Kakak kandung, maksud Ika," ucapnya bergetar.
Aku ingat dia anak tunggal. Tapi jadi kakak kandung? Tunggu dulu!
"Mau kan, Kak?"
"Apa kewajibannya?"
"Kewajiban? Yee.." Ika menggelitikku.
Tidak tahan, aku balik menggelitiknya. Jadinya tempat tidur berantakan.
Kami bermain seperti anak kecil. Sekali waktu dia menindihku, sekali waktu aku yang menindihnya. Kecapekan, Ika merebahkan tubuhnya di dadaku. Wajah kami sedemikian dekat hingga hembusan napas kami bertabrakan. Seperti menghadapi kaca kristal yang rapuh, jemariku bergerak hati-hati merapikan anak-anakan rambut di keningnya yang berkeringat kecil.
"Kewajiban kakak yaa.. keloni Ika begini." ucapnya tiba-tiba.
Senyum tipisnya seperti penuh harap. Aku jadi ingat sesuatu.
"Munurutmu kita bisa menang di LKTI ini?"
Ika mengerutkan kening. "Nggak tau. Ika nggak yakin sih. Tapi Ika nggak nyesel ikut ini. Kan malah dapat Kakak, hihi.."
"Rival kita berat-berat. Kakak juga nggak yakin." Aku ikut pesimis.
Sebuah pikiran konyol melintas. Dua tanganku turun ke bawah sikunya hingga menyentuh bukit kembarnya dari sisi luar. Ika menatapku tajam.
"Ik.., Kakak juga gemetar menyentuh ini," bisikku hampir tidak kedengaran.
Aku ingat dia tadi bilang merinding, entah kalau kali ini. Dia menggeser tubuhnya, berbaring di sebelahku. Lengan kiriku terhimpit tepat di dada kanannya. Khawatir dia tidak nyaman, kutarik lenganku. Tatapannya kali ini tidak terfokus. Masih penasaran, tangan kananku menyentuh dada kirinya yang membusung. Agak grogi, tapi aku menguatkan hati. Ika diam saja. Aku coba mengelus bukit kecil yang masih terbungkus itu. Tapi dia bangkit duduk.
"Ika lepas kemeja ya? Ika pengen tau bagaimana rasanya."
Tanpa tahu harus menjawab apa, kubiarkan dia melepas kancing kemejanya satu persatu. Jantungku berdegup kencang melihat pemandangan indah kulit putih Ika yang terbuka perlahan. Dadanya masih terbalut bra putih, tapi itu cukup membuat 'adek kecil'-ku terbangun. Ia melempar kemejanya ke kursi lalu kembali rebah di sampingku. Matanya berbinar-binar. Karena rasa penasaran? Ah, aku tidak punya waktu memikirkan perasaannya. Aku sendiri sibuk menata perasaannku yang bergolak.
Bersambung ke bagian 02