Cerita Dewasa:
Eksanti, Hadirnya Orang Ketiga - 1
Sejak kepindahan kantorku ke ruko ini, aku memang tidak bisa lagi bermesraan dengan Eksanti terlalu sering seperti dulu, karena situasinya yang tidak memungkinkan. Aku bahkan mendengar dari teman-teman sekantor bahwa Eksanti kini tengah menjalin hubungan serius dengan seorang lelaki. Seperti prinsipku semula, aku tidak begitu peduli dengan kehidupan pribadinya, hingga pada suatu hari saat di ruangan kantor itu sedang sepi ia duduk mendekati mejaku. Ia tampak ragu-ragu, namun aku mengerti, pasti ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan kepadaku.
"Ada apa San?", ujarku ringan bertanya kepadanya.
"Mas, Santi mau mengaku", ia menjawab lirih sambil menundukkan pandangan matanya ke bawah.
"Mengaku apa?", aku bertanya kembali, kali ini dengan sedikit curiga.
"Santi akan menikah dan mau mengundurkan diri dari perusahaan ini", ia berkata semakin lirih, namun pernyataannya itu cukup jelas terdengar di telingaku. Pyarr.. dadaku tersentak, tetapi aku sungguh menghargai kejujurannya.
"Lho.. emang terus kenapa?", jawabku sambil pura-pura menenangkan hati.
"Jadi, kita nggak mungkin bisa terus begini".
Katanya lagi "Santi ingin berusaha setia dengan yang Santi cintai, Santi tidak ingin melukainya".
Ia berkata-kata sambil mengelap air mata bening yang ada di sudut matanya.
"Iya.. Mas juga ngerti, nggak apa-apa", aku berkata sambil menahan perasaanku.
"Kapan rencana menikahnya, lalu kapan juga Santi mau mengajukan surat pengunduran diri?"
"Menikahnya belum tahu pasti, tapi kalau pengunduran diri Santi mungkin bulan depan sudah Santi proses di personalia, dan tiga bulan kemudian Santi baru akan benar-benar off dari perusahaan ini", jawabnya singkat tapi pasti.
"Oke, terus kalau Mas boleh tahu, Santi mau berhenti kerja atau pindah ke perusahaan lain sih?", aku bertanya dengan sedikit penasaran.
"Pindah kerja Mas, soalnya terus terang pacar Santi yang minta untuk pindah dan Santi tidak ingin mengecewakannya. Di perusahaan itu karir Santi akan lebih bagus dan dan tugas-tugasnya juga sangat menantang"
"Oke, asal Santi sudah pikir masak-masak, Mas sih nggak akan keberatan. Cuma tolong beri Mas waktu untuk mencari asisten baru, dan sekalian nanti beritahu dia tentang tugas-tugasnya yaa.."
"Pasti Santi bantu, Mas.. Tapi Mas, nggak marah sama Santi 'kan..?", ia berucap memelas.
"Kenapa harus marah, sepanjang Santi sudah yakin dan itu demi kebaikan masa depanmu, Mas akan mendukung setiap keputusanmu", aku berusaha bersikap sebijaksana mungkin untuk menyembunyikan perasaanku yang sedikit kecewa.
"Terima kasih, Mas. tapi sebelum itu, Santi mau ngasih Mas hadiah", kali ini Eksanti berkata sambil tersenyum.
Mungkin ia merasa sangat lega bisa berkata sedemikan jujurnya kepadaku.
"Hadiah apa..?", aku sedikit penasaran.
"Ini, tapi janji.. mbukanya ntar saja yaa..". Ia berkata sambil mengeluarkan bungkusan kecil.
"Terima kasih", kataku sambil menyimpan hadiahnya yang terbungkus kertas putih bergambar hati dengan pita merah di laci mejaku.
Lalu Eksanti beranjak dari sebelahku dan berjalan ke tangga menuju lantai bawah. Aku sangat penasaran dengan isi bungkusan itu. Sambil sedikit bergegas, aku ambil dari laciku dan aku bawa bungkusan itu ke dalam toilet di lantai itu. Ketika aku buka ternyata isinya adalah celana dalam dan bra yang telah disemprot dengan bau parfum kesukaanku. Aku meremasi dan mencium harumnya di hidungku
*****
Hampir tiga bulan lebih, mendekati saat-saat keluarnya Eksanti dari perusahaanku ini, aku tidak lagi pernah mengganggunya lagi karena aku menghargai sikap kesetiaannya. Aku tahu diri sehingga akupun mulai menjauh, dan ia juga tidak pernah bertanya kenapa hal ini terjadi. Yang aku tahu ? Yoga ? kekasih Eksanti itu bertugas di Malang, sehingga mereka juga jarang bertemu. Hingga suatu ketika..
Hari itu Eksanti mengenakan blazer warna merah menyala, dipadukan dengan blouse warna hitam yang mengatung dibagian perutnya. Di bagian bawah ia mengenakan rok pendek warna merah senada dengan warna blazernya. Pakaiannya itu membalut tubuhnya yang sexy, sehingga entah mengapa seperti magnet, membuat arah pandanganku selalu ingin tertuju kepadanya. Aku melirik ke arahnya, saat itu Eksanti berdiri membungkukkan badan untuk mengirimkan fax yang aku tugaskan. Aku memperhatikan roknya terangkat, sehingga bagian belakang pahanya yang putih bersih itu tersingkap. Darahku berdesir keras, terlebih-lebih ketika aku memperhatikan dirinya sedang berusaha menjangkau dokumen di sebelah atas rak bukunya.. occhh.. aku sungguh-sungguh menikmati pemandangan indah itu. Blouse-nya yang mengatung itu tersingkap, menampakkan kulit putih bersih perutnya yang langsing, dan blousenya itu juga semakin erat membalut dua buah tonjolan sintal di dadanya.
Sesekali Eksanti menundukkan punggungnya pada saat ia sedang mengetik di depan komputer, sehingga makin menampakkan dengan jelas garis tali bra di sisi atas punggungnya. Ketika Eksanti semakin merunduk, dua buah dadanya yang ranum itu menempel erat di sisi meja tulisnya. Sungguh aku semakin tidak kuasa menahan nafsu birahiku ketika menikmati pemandangan yang sangat indah itu..
"Ohh.. sexynya Eksanti saat itu", aku menelan ludahku membayangkan saat-saat indah yang pernah kami alami berdua..
Ketika aku semakin tidak bisa menahan perasanku, lalu seketika aku berusaha mendial komputernya dan menuliskan apa yang aku lihat dan aku rasakan.
"San, kamu sexy sekali hari ini"
"Thanks, Mas, tapi Santi lagi sebel nih.."
"Kenapa sebel..?"
"Abis.. ahh nggak deh..!"
"Abis kenapa..?"
"Mas masih inget kan cerita Santi tiga bulan yang lalu"
"Tentang pacarmu itu"
"Iya.."
"Emang ada apa"
"Santi sebel sama dia"
"Iya.. tadi kamu sudah cerita.. sebel. Tapi kenapa?"
"Kemarin ia datang ke Jakarta dan janji mau nemenin Santi jalan-jalan sore ini"
"Terus..?"
"Tiba-tiba tadi ia telepon, bilang kalau nggak bisa. Yang bikin Santi Sebel, alesannya itu lho"
"Lho emang dia ada acara apa?"
"Dia bilang nggak bisa, karena sebelumnya sudah terlanjur membuat janji dengan teman-temannya. 'Kan jadinya Santi di nomer duakan dibandingkan teman-temannya."
"Lho, yaa.. belum tentu begitu. Itu kan artinya dia committed"
"Ahh.. Mas malah mbelain dia. Tahu nggak salah satu temennya yang dianterin itu siapa"
"Yaa.. mana Mas tahu"
"Yang minta dianterin itu salah satu general manager di kantor Jakarta, jadi dia beralasan takut nolak. Lagian bosnya itu cewek, belum punya punya suami, terus genitnya minta ampun"
"Ahh.. kamu jangan suka mengada-ada gitu"
"benar Mas.., Santi jadi sebel deh.., pasti dia.."
"Pasti dia apa..?"
"Pasti dia.. kayak kita dulu"
"Ahh.. kamu kok ngawur gitu sih..?"
"Ahh udah ahh.. Santi pusing"
"Pusing kenapa sih..?"
"Santi pusing mikirin ini, sama pusing kalau inget kita dulu.. hee.. hee.."
"Kamu jangan gitu ahh.., nanti Mas kalau inget jadi ikut pusing lho"
"Abis Mas juga sih yang mulai nanya-nanya"
"Lho.. emang Mas salah?"
"Nggak sih, tapi kan Santi tiba-tiba jadi keinget"
"Keinget sama apa"
"Samaa.. pisang"
"Pisang apa..?"
"Pisangnya Mas.."
"Ahh.. Mas nggak punya pisang lagi, sudah jadi mentimun"
"Maksudnya..?"
"Yaa.. karena pisangnya nggak pernah dimaem lagi, jadi tambah gede.. Tambah gede.., sampai akhirnya berubah menjadi mentimun"
"Duh.. gemesnya Santi, segede apa pisang mentimun itu sekarang?"
"Nggak boleh nanya-nanya lagi, kecuali Santi mau .."
"Mau apa..?"
"Mau maem pisang timunnya"
"Ihh.. Mas genit aahh.."
Eksanti menanggapi perasaanku dan obrolan kami semakin panjang, dengan diiringi khayalan-kayalanku yang membuat batang pisangku (begitu Eksanti memberikan istilah pada hari itu) semakin mengeras membayangkan apa yang saling kami ceritakan. Tak terasa waktu berlalu dan sore hari itu jarum pendek jam sudah menunjukkan angka 5.
Sebelum mengakhiri obrolan-obrolan kami, melalui chating terakhir, aku bertanya, "So, Santi mau ngapain sore ini?"
"Mau langsung pulang aja ahh.., pusing inget obrolan Mas ini, pusing jalanan nanti macet."
"Mau nggak biar nggak pusing, tapi ada syaratnya"
"Mau.. mau.."
"Tapi syaratnya berat, Mas yakin kamu nggak bisa memenuhinya"
"Ahh.. coba aja"
"Mas mau nganterin kamu pulang, tapi syaratnya di mobil nanti kamu nggak boleh pakai celana dalam. Berani nggak?"
"Santi mau dianterin sama Mas, biar cepet sampai ke rumah, terus mandi, terus bobo.., Santi benar-benar pusing", Eksanti menyetujui usulanku untuk pulang bersama dan hanya tersenyum kecil ketika Eksanti membaca tantangan dalam pesanku yang terakhir itu.
"Tapi benar lho yaa.., harus dipenuhin syaratnya"
"Lihat ntar aja deh. Tapi Mas benar 'kan mau nganterin Santi pulang"
"Iyaa.. deh!"
"Jangan pakai 'deh' dong!, mau apa nggak?"
"Mauu..!", aku menyerah setuju.
********
Ketika kami selesai mematikan connection komputer kami, Eksanti bergegas masuk ke kamar mandi untuk merapikan dirinya. Tidak lupa, seperti biasa ia menggenggam handuk kecil berwarna hijau bergambar mickey mouse, tokoh favoritnya. Lima menit berselang, Eksanti keluar dari kamar mandi dengan wajah yang segar dan bau harum parfum yang semakin menggugah rasa birahiku. Eksanti duduk di atas kursi di depan kaca jendela untuk merapikan wajahnya, sambil menyilangkan kaki indahnya itu. Eksanti mengoleskan cream pelembab di kedua lengan, tangannya lalu dikedua kaki jenjangnya. Aku melirik, dan aku kembali menyaksikan pemandangan indah itu. Kejantananku kembali menegang keras membayangkan seandainya saat itu aku bisa mencium lembut kaki indahnya.
Tatkala Eksanti mengoleskan cream pelembab itu di jemarinya, aku menarik nafas panjang membayangkan nikmatnya seandainya jemari lentiknya itu meremasi kejantananku dengan lembut. Lalu Eksanti menyapukan bedak baby dipipinya dan mengoleskan dengan tipis lipstik di bibirnya, "Ooohh.. seandainya aku diijinkan mengecupi bibir indah itu..", pikiranku semakin mengawang-awang dipenuhi bayangan-bayangan nikmat yang telah lama kuimpikan selama ini..
Setelah selesai berkemas-kemas kami lalu bergegas untuk pulang. Eksanti turun dari lantai atas terlebih dahulu dan berjalan kaki ke arah sudut ruko kantor kami, dimana kami telah sepakat untuk bertemu. Akupun menyusulnya dan segera aku jalankan mobil ke tempat janji kami bertemu. Pintu mobil aku buka dan Eksanti pun masuk ke dalam mobil untuk ikut pulang bersamaku. Sesaat aku tertegun ketika Eksanti melangkahkan kakinya masuk ke dalam mobilku. Untuk yang kesekian kalinya aku sempat menyaksikan pahanya yang putih bersih itu tersingkap.
Mata kami saling beradu dan kami saling berpandangan penuh arti. Ketika Eksanti menutup pintu, segera aku menjalankan mobil ke arah jalan raya dan berputar menuju ke arah pintu tol. Hujan gerimis menyapu jalanan, dan cuaca itu semakin membuat ruangan mobil bertambah dingin, seolah berusaha untuk memadamkan bara api birahi yang ada diantara kami berdua.
"Kita jalan-jalan dulu aja yaa.. sebelum pulang ", aku mengajukan usul.
"Sebenarnya Santi capai, tapi terserah Mas aja deh..", Eksanti menjawabnya sambil mengangguk tanda setuju.
Kembali kami mengobrol ringan, sembari sesekali kami bercerita tentang apa yang pernah kami lakukan dahulu. Eksanti menunduk malu ketika aku berusaha mengingatkan pengalaman kami yang dulu, sembari bergumam ,"Rasanya aku sudah lamaa.. yaa.. tidak pernah lagi merasakan hal itu".
"Iya, Mas juga sudah kangenn.. berat sama kamu", aku menjawab pernyataannya.
Tak terasa obrolan-obrolan kami semakin mengingatkan pada kemesaraan yang pernah kami alami berdua, dan aku melirik ke arahnya membayangkan apa yang pernah kami lakukan dahulu pada suasana yang sama seperti saat itu. Kini mobilku telah berada di mulut pintu tol dan dengan segera aku menurunkan kaca jendela untuk membayar karcis tol.
Begitu kami memasuki jalan tol, tangan kiriku langsung berusaha untuk menggapai tangannya. Aku mengangkat jemari lentik tangan kirinya ke arah bibirku dan mencium serta menghirup bau harumnya seraya berkata, " Sayang.., Mas pengin sekali mengulangi saat yang dulu".
Eksanti menoleh pelan kearahku dan tersenyum sambil memejamkan matanya, seolah membayangkan apa yang aku maksudkan. Aku memasukkan ujung jemari tangannya ke dalam mulutku, sedikit saja.. dan gerakan itu sudah cukup untuk membuat Eksanti merintih pelan. Aku melumati jemarinya yang harum oleh cream pelembabnya, sehingga membuat Eksanti menggigit bibir kecilnya menahan birahinya yang mulai memercik. Perlahan-lahan aku melepaskan tangannya dan menuntunnya ke arah batang kejantananku yang telah mengeras sedari tadi. Eksanti menoleh ke arahku dan tampak sinar mata gemasnya itu memancar, ketika jemarinya lembut menyentuh gundukan celana di atas pangkal pahaku. Genggaman tangan kiriku pada jemarinya aku lepaskan dan segera tangan itu aku arahkan pada pangkal pahanya.