Cerita Dewasa:
Ketagihan - 1
Namaku Peter. Tinggiku 180 cm/82 kg. Aku berumur 29 tahun. Aku ingin menceritakan pengalaman nyataku di sini dan cerita yang benar-benar kualami dan sampai sekarang pun masih kuingat.
*****
Kejadian ini terjadi sekitar 4 tahun yang lalu, waktu itu aku masih berusia 25 tahun. Aku punya teman cewek. Aku berteman dengan dia karena rumah kami jaraknya cuma sekitar 100 m, hanya saja rumahnya jauh lebih besar dari rumahku karena dia anak orang terpandang di daerahku. Sebut saja namanya Ana (aku sengaja menyembunyikan identitasnya karena aku tidak meminta ijin padanya untuk menceritakan pengalaman seksual kami).
Usianya waktu itu 28 tahun. Kami berteman sangat akrab sampai-sampai tetanggaku mengira kami pacaran padahal aku tidak pernah pacaran dengan dia. Aku diam saja dikira pacaran dengannya, habis dia cantik sih. Mungil, sekitar 165 cm, dan langsing (kutaksir beratnya tidak sampai 55 kg) dan wajahnya manis banget meski kulitnya tidak begitu putih. Dengan rambut sebahu yang hitam, dia bisa dimasukkan kategori cantik.
Setelah aku ditugaskan oleh atasan ke kota Pekan Baru. Otomatis sejak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Sampai pada suatu hari aku punya kesempatan bertemu dengannya.
Aku secara rutin tiap 3 bulan sekali pulang ke kota asalku Medan. Dia malah sudah pindah Jakarta karena dia tinggal bersama bapaknya (orangtuanya sudah bercerai). Di Medan dia tinggal bersama keluarga ibunya. Seperti biasa setiap aku pulang ke Medan aku selalu main ke rumah temanku, dan dari temanku aku diberitahu bahwa Ana juga berada di rumah. Aku tidak ada rasa apa-apa mendengar kepulangannya, tapi aku lalu iseng-iseng menelepon ke rumahnya. Dia sendiri yang mengangkat teleponnya. Setelah ngobrol-ngobrol aku lalu disuruh ke rumahnya.
Dia menyambut kedatanganku dengan memakai celana pendek dan t-shirt yang menurutku kekecilan. Dadanya tidak terlalu menonjol karena ukurannya memang kecil. Ia tersenyum kepadaku dan akupun membalas senyumannya. Saat itu sekitar jam 9 pagi. Percakapan dilakukan di teras rumahnya. Ibu dan neneknya di rumah sebelahnya (rumahnya memang 2 buah, satu buat Ana, adik perempuannya, dan ibunya, satunya lagi buat kakek, nenek, serta pamannya).
"Gimana kabarnya?" sapanya ramah.
"Biasa. Cuma begini-begini saja," sahutku.
"Kerasan di Pekan Baru?"
"Kerasan nggak kerasan ya harus kerasan," jawabku asal.
"Sudah dapat cewek belum?" tanyanya sambil tersenyum.
"He.. He.. Belum. Kamu sendiri gimana? Masih jalan sama Tony?" aku balik bertanya.
"Masih," jawabnya ringan.
Menurut cerita Ana sendiri kepada temannya waktu kuliah, dia dan Tony sudah sering melakukan hubungan suami isteri. Mungkin karena dari keluarga broken home, maka dia merasa enteng saja melakukan semua itu. Aku ngeri sendiri membayangkan mereka, jangankan berhubungan intim, mencium cewek saja aku belum pernah, padahal aku sudah pernah dua kali pacaran. Aku memang terlalu penakut kalau berurusan dengan soal begituan.
"Kenapa nggak cari pacar?" tanyanya antusias, mungkin kasihan karena aku sudah lama sendiri.
"Abis nggak ada yang mau sama aku." jawabku.
"Oo.. terlalu pemilih kali kamu." balasnya
"Nggak juga," kataku. Dia tersenyum.
"Memangnya pacaran itu buat apa sih?" tanyaku berlagak tidak tahu.
"Biar ada yang menemani setiap saat."
"Menemani apa? Memang takut kalo nggak ditemani?"
"Banyak. Dalam segala hal."
"Contohnya?"
"Nonton, dinner, dan.." dia tidak meneruskan perkataannya, tetapi tersenyum sambil memandangku.
"Dan apa?" tanyaku sambil membalas senyumannya. Pikiranku sudah mulai ngeres.
"Tidur," jawabnya tenang.
"Tidur? Memang kamu pernah.. Sama Tony?" Aku pura-pura tidak tahu.
"Pernahlah. Habis enak sih. Sampai ketagihan," jawabnya enteng.
Wah ini bukan Ana yang kukenal waktu dulu. Dia sudah banyak berubah, padahal dia dulu dikenal sebagai cewek pendiam.
"Sudah, jangan membahas masalah itu," aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan karena aku merasa nggak enak bila membahas hal itu dengan teman baikku.
"Kenapa? Takut pingin? Kalo kamu sudah pernah pasti kamu nggak tabu lagi ngomongin hal itu," sambungnya.
"E.. Nggak tau lah."
Untungnya dia benar-benar mau mengalihkan topik pembicaraan. Kami membicarakan teman-teman kami. Tentang dia di Jakarta, serta tentang aku di Pekan Baru. Sampai akhirnya dia mengajakku ke kebun di belakang rumahnya. Rumahnya memang memiliki kebun buah yang luas dan rimbun. Kami berjalan melewati dapur dan aku memberi salam pada ibu dan neneknya. Sedangkan kakek dan pamannya lagi keluar.
Keluarganya memang sudah akrab denganku karena aku dulu sering main ke sana. Kami berjalan menuju sumber air yang ditampung dalam sebuah kolam kecil. Kolam itu memiliki dinding penutup setinggi setengah meter dan memiliki tempat duduk di salah satu sisinya. Dulu kami sering main bersama di situ. Di luar bangunan itu ada kolam lain yang lebih luas dan diisi ikan.
"Tempat ini masih awet ya..," kataku membuka keheningan.
"Dirawat sama kakek. Ingat nggak waktu kita dulu main bersama?"
"Ingat. Waktu itu kamu suka berendam berlama-lama di sini. Bahkan aku sudah kedinginan tapi kamu tetap memaksaku menemanimu berendam."
"Yee siapa lagi yang maksa. Kamu sendiri yang betah berlama-lama berendam bersamaku," jawabnya nggak mau kalah. Kami tertawa bersama, dan tiba-tiba dia menyiramku dengan gayung yang terletak di dekatnya.
"Hei. Basah nih," kataku.
"Biarin," katanya sambil tersenyum menggoda.
"Kubalas nih," ancamku.
"Silahkan kalau berani," tantangnya.
Aku lalu mendekat ke arahnya dan mencoba meraih gayung yang dipegangnya. Maksudku biar dia tidak menyiramku lagi, tapi dia menghindar dan.. Blung. Dia tercebur kolam.
"Ha.. Ha.. Rasain. Kuwalat," godaku.
"Gara-gara kamu nih jadi basah semua," katanya sambil berdiri dari kolam yang dalamnya cuma satu meter tersebut.
Kupikir dia akan kembali ke rumah dan berganti pakaian, ternyata dia tanpa canggung melepas t-shirt dan celana pendeknya di depanku! Dadaku berdegup kencang. Aku tidak bisa berkata apa-apa yang jelas kemaluanku langsung tegang dan rasanya sakit karena aku memakai celana jeans.
"Ayo kita main seperti dulu lagi," ajaknya.
"Kamu harus mau, soalnya kamu telah membuat bajuku basah," sambungnya.
Otakku berpikir keras antara ya atau tidak. Aku tidak bisa berpikir. Mataku hanya memandang ke tubuhnya yang tinggal memakai BH dan CD.
"Cepetan. Atau kamu mau duduk saja di situ sambil melihat aku mandi?"
Aku melepas t-shirtku dan celana jeansku. Kini aku tinggal memakai CD. Aku takut kalau ada orang yang melihat, tapi karena Ana cuek aja aku mencoba menepis perasaan takutku itu.
"Hii.. Apa itu..?" Tunjuknya ke arah CD-ku sambil tersenyum.
Astaga, seperempat burungku sudah keluar dari CD. Aku malu sekali.
"Dilepas aja sekalian. Nanggung daripada cuma kelihatan sedikit seperti itu," bujuknya.
"Kamu juga harus melepas semuanya dong," balasku.
Tanpa kusangka dia melepas BH dan CD nya. Tubuhku langsung panas dingin melihat pemandangan seperti itu. Aku lalu juga melepas CD-ku, lalu masuk ke kolam dan langsung berendam. Soalnya rasanya aneh burungku dilihat orang lain. Dia cuma tersenyum, dan duduk berendam di sampingku. Aku tidak bisa berkata apa-apa karena nafsu sudah di ubun-ubun dan rupanya Ana mengetahui hal itu.
"Maukah kamu..?" tanya Ana terputus.
"Apa?"
"Berhubungan denganku," jawabnya.
Aku cuma diam saja, lalu tersenyum. Rupanya dia mengerti isyaratku ini.
"Aku belum pernah Na."
"Makanya kamu harus mencoba," sarannya.
Ana lalu memegang burungku yang sedari tadi sudah tegang. Mengocoknya pelan. Mataku terpejam. Merasakan nikmat selama beberapa menit. Aku lalu merasakan kocokan itu berhenti. Kubuka mataku dan Ana telah berdiri di depanku. Kulihat memeknya hanya ditumbuhi sedikit rambut. Ana lalu duduk tepat di pangkal pahaku. Kini kelamin kami berhimpitan. Kepalaku rasanya makin tidak karuan, pingin segera penetrasi. Wajah kami berdekatan. Berciuman. Aku tidak tahu harus berbuat apa ketika berciuman karena memang baru pertama kali itu. Ana melepas ciumannya.
"Kamu kok diam aja? Nggak suka ya sama aku?" tanya Ana agak marah.
"Nggak Na. Aku belum pernah berciuman," jawabku.
Ana kembali menciumku. Kali ini bibirku agak kubuka karena terdorong oleh lidahnya. Tangan kananku meraba dada kirinya sementara tangan kiriku mengusap-usap punggungnya. Kedua tangan Ana berada di leherku. Ana berdiri lalu menggandengku menuju ke tempat duduk di tepi kolam.
"Na aku pingin masukin sekarang," pintaku karena aku sudah merasa sangat terangsang. Padahal aku tidak tahu apakah dia sudah siap atau belum.
Ana merebahkan diri di tempat duduk lalu membuka pahanya lebar-lebar. Kulihat memeknya agak terbuka. Aku langsung memposisikan kepala burungku tepat di gerbang kewanitaannya.
"Masukkan sekarang," perintahnya.
Aku hanya melihat lubang kecil sebesar jari telunjukku. Itulah yang namanya lubang memek, begitu pikirku. Kumasukkan kepala burungku. Perlahan. Separuh sudah masuk. Mudah sekali masuknya? Pikirku. Mungkin karena Ana sudah sering melakukannya dengan Tony atau ukuran burungku yang kecil, cuma 16 cm pembaca, dengan bentuk agak pipih dan melengkung serta kepalanya sedikit "menoleh" ke atas.
"Ahh.." desahnya.
Kutekan lagi hingga kedua bulu kelamin kami bersatu. Tangannya memegang erat pinggangku. Kutarik perlahan, lalu kubenamkan lagi seluruhnya. Setiap kali kutarik atau kubenamkan kudengar Ana mendesah. Aku merasa burungku seperti digenggam dengan erat. Kulihat mata Ana terpejam menikmati sensasi yang kami ciptakan berdua. Aku merasa bahwa aku ingin segera mengeluarkan spermaku. Kupercepat kocokanku dan kudengar desahan Ana semakin keras dan cepat. Tapi karena begitu semangatnya mengocok, burungku sampai terpeleset dan keluar dari liang memeknya. Ana membuka matanya lalu tersenyum kepadaku.
"Maaf Na, masih pemula," kataku membela diri.
Kumasukkan kembali burungku. Ana memejamkan matanya lagi. Kali ini aku lebih hati-hati tapi tetap dalam kecepatan tinggi karena aku ingin segera menyelesaikan hal ini karena takut ketahuan orang. Mata Ana kini terbuka tetapi tinggal putihnya. Aku takut karena dia terlihat seperti orang kesurupan.
Ke Bagian 2