Cerita Dewasa:
Eksanti, Proposal yang Tertunda - 3
Setelah nafasnya kembali normal, aku berdiri dan memeluknya.
"Mas, Santi lemess.., Mas memang pinter luar bisaa..", Eksanti bergumam pelan.
Ia tersenyum sambil menurunkan tubuhnya dan memeluk kakiku, kepalanya masih tetap mendongak ke arahku. Aku pun membalas senyumannya sembari mata kami beradu pandang kembali, tajam sekali, seolah berusaha untuk saling menangkap rasa birahi yang makin menggejolak di antara kami.
Kini Eksanti berjongkok di depan selangkanganku dan aku ganti berdiri bersandar di depan lemari abu-abu itu. Tanganku bergerak membuka ikat pinggangku, kemudian kancing celanaku dan menarik turun resletingnya. Perlahan aku keluarkan kejantanan dari sela-sela celana dalamku dan aku genggam 'hercules kecil' yang sudah berdiri tegap meregang siap perang, dengan otot-otot yang memenuhi sekujur batang tubuhnya. Dengan segera Eksanti memelorotkan celanaku ke arah lututku.
Kejantananku yang besar dan panjang telah benar-benar mengeras bagaikan pisang ambon, dan Eksanti nampak gemas sekali menyaksikan pemandangan itu sambil sesekali mengelus-elus kejantananku dengan jemari lentiknya. Eksanti mencoba menyusupkan jemarinya dari bawah celana dalamku mencoba untuk meraup dua bola yang bergelantung di bawah sana. "Aucchh.. sayang.. teruskan..teruskan", aku mendesah pelan. Eksanti ganti meremas-remas lembut batang kejantananku, membelai lembut rambut-rambut hitam di sekitarnya, sambil melepaskan celana dalamku. Kejantananku langsung menonjol keluar.
"Kasihan nih si Dede', Mas..," bisik Eksanti gemas sambil menggeser posisinya makin mendekat ke arahku.
Lalu, Eksanti menarik tubuhku lebih dekat lagi dan menangkap kejantananku dengan mulutnya. Hap! Aku tersentak kegelian, tapi segera pula tak berkutik ketika Eksanti mulai mengulum-menyedot. Eksanti mengulum-ulum dan menggigit lembut kepalanya.
"Nikmatt.. sayang.. nikmatt.. sekalii..", aku berdesah-desah sambil meremasi rambut kepalanya.
Sambil tetap berdiri, aku perhatikan Eksanti seperti bayi kelaparan, berusaha memasukkan seluruh kejantananku ke mulutnya. Mana bisa. Terlalu panjang, batang otot-kenyal-padat itu. Hanya sepertiga saja yang bisa masuk, itu pun sudah terbentur langit-langit kerongkongannya. God..! enak sekali rasanya disedot-sedot mulut yang hangat dan basah. Eksanti terpejam menikmati permainan barunya. Sekarang ia sedang berkonsentrasi, sedang berusaha keras memberikan kenikmatan maksimal kepadaku yang telah menyuguhkan orgasme pertama yang dahsyat kepadanya. Eksanti sedang membalas budi.
Dengan lidahnya yang gesit, Eksanti menyentuh-nyentuh ujung kejantananku ?daerah yang paling sensitif itu-. Setiap sentuhan lidah itu membuatku tersentak-sentak. Apalagi kemudian lidah itu menjilat-jilat berkeliling. Aku bergidik-bergetar merasakan nikmat luar biasa. Apalagi kemudian Eksanti meremas-remas lembut kantong-menggantung yang ada di pangkalnya. Pelan-lembut ia meremas, membuatku seperti dilambung-lambungkan ke awan. Seperti diperas-peras pula, layaknya sebuah jeruk diperas untuk diambil airnya.
Aku menggeliat-geliat merasakan tubuh bagian bawahku seperti dipenuhi air yang mencari jalan keluar, bercampur geli yang menyebar ke seluruh tubuhku, bercampur gatal yang tidak hilang hanya dengan digaruk. Kini kedua tangannya yang satu meremasi buah pantatku dan mendorongnya ke depan sehingga hampir seluruh kejantananku akhirnya bisa terbenam di dalam mulutnya. Lalu Eksanti menariknya kembali.., memasukkannya.., menarik.., memasukkan.., sambil sesekali terasa lidahnya menjilati ujung kepala kejantananku.
Eksanti tahu aku sebentar lagi akan mencapai klimaks. Kantong-kenyal di genggamannya terasa mengkerut-mengeras, tanda bahwa aku sedang menuju puncak birahi. Maka Eksanti memperkuat sedotan-kenyotannya, lalu memaju-mundurkan kepalanya, membuat kejantananku keluar-masuk dengan suara berdecap-decap. Aku memejamkan mataku kuat-kuat, bernafas menderu-deru seperti kerbau marah. Seluruh otot-otot di tubuhku menegang, meregang, bersiap menyentakkan keluar lahar-bah yang panas membara. Sebentar lagi, mungkin dalam hitungan detik saja, aku akan meledak berkeping-keping. Tetapi.. nanti dulu.. akankah lahar itu dibiarkan tumpah di mulut Eksanti? Tidak, pikirku cepat, aku ingin menumpahkannya di dalam liang kewanitaannya!
"Enak.. sayang.. enak..", aku semakin mengelinjang merasakan kenikmatan yang amat sangat.
"Please.. sayang.. please.. jangan sekarang..", aku berteriak kecil seraya menarik tubuhnya berdiri dengan kedua tanganku Eksanti terkejut ketika kepalanya dipaksa berhenti begerak, dan aku mencabut kejantananku dari cengkraman mulutnya. What's wrong?, pikirnya dalam hati.
Aku melepaskan permainan bibir dan lidahnya dari kejantananku. Ia aku bimbing bergerak kembali ke atas, sambil aku angkat salah satu kakinya. Aku segera menumpangkan kaki indah itu di samping pinggangku. Wajahku kembali berhadapan dengan wajahnya, namun kulihat kedua matanya terpejam. Sambil tetap menatap wajahnya aku turunkan sedikit tubuhku. Lalu aku mengarahkan kejantananku dan perlahan bergerak naik ke atas mencari jalan ke pintu gerbang kenikmatan yang menanti untuk didobrak. Dengan tangan yang lain aku sibakkan rambut-rambut halus yang menutupinya, hingga akhirnya kepala kejantananku berhasil menyentuh bibir kewanitaannya. Kedua mata Eksanti tiba-tiba terbelalak sesaat dan kemudian meredup memandang wajahku. Rasa hangat dari pintu gerbang itu mulai terasa menjalar di tubuhnya.
Aku menggerakkan kejantananku untuk mulai mendobrak, achh.., sulit.. bagaikan ada perlawanan di balik pintu gerbang itu. Posisi berdiri memang menggairahkan namun juga menyulitkan pikirku. Eksanti menggerakkan kakinya lebih naik lagi pada pinggangku, sehingga kini aku benar-benar menggendong tubuhnya.
"Hmm.., rupanya lawan mulai mau bekerja sama", pikirku.
Aku dorong kembali kejantananku, perlahan namun bertenaga. Aku mendesakkan kepalanya tepat di belahan pintu gerbang itu, lalu aku dorong lagi. Belahan pintu gerbang itu mulai terbuka sedikit. Eksanti merintih.., kudorong lagi, setengah dari kepala kejantananku mulai menyelip masuk. Eksanti kemudian menggelinjangkan pinggulnya dan aku sambut usahanya itu dengan mendorong lebih jauh lagi. Perlahan-lahan kepala kejantananku melesak masuk, menerobos di antara celah pintu gerbang yang sudah mulai terbuka itu.
Eksanti lalu bergelayutan di atas pinggangku, dan kedua kakinya disilangkan di belakang buah pantatku. Dengan segera aku menyambut gerakan erotisnya itu dengan mengarahkan kejantananku lebih dalam lagi. Lubangnya yang telah kembali basah oleh cairan nikmat itu segera menelan seluruh kejantananku.
"Ochh.. Mass..", Eksanti berteriak lirih seraya menggingit lembut pundakku.
Kami melakukan kemesraan itu sambil berdiri, dan kami sangat menikmatinya. Aku mengayun-ayunkan tubuhnya berusaha memasukkan lebih dalam lagi seluruh kejantananku. Eksanti pun bergelayut pasrah ketika kejantananku menghujam berpuluh-puluh kali ke dalam lliang surgawinya.
"Terus.. Mass.. teruss.. Mas..", Eksanti bergumam sambil meliuk-liukan pinggangnya.
Jepitan bibir kewanitaannya semakin menambah rasa nikmatku, dan sesekali aku sempat pula mengulumi puting kemerahan yang mengeras bagaikan kacang. Aku menjilatinya dengan penuh nafsu, dan Eksantipun mencakari punggungku. Sepuluh menit telah berlalu ketika aku hampir tidak kuasa menahan berat tubuhnya.
Tiba-tiba Eksanti berteriak, "Achh.. Mass.. Santi enaakk..".
Terasa olehku bibir kewanitaannya bedenyut-denyut kencang meremasi kejantananku bersamaan dengan meledaknya cairan nikmatnya untuk yang kedua kalinya. Eksanti memeluk leherku, mengempit kepalaku di dadanya yang bergelora. Kedua kakinya yang panjang dan mulus kini melingkari erat pinggangku, membuat kejantananku tenggelam semakin dalam. Oh, kejantanan itu masih keras-kenyal karena memang belum apa-apa. Aku belum mencapai klimaks, dan Eksanti pun sangat mengharap permainan berikutnya segera dimulai lagi. Sesaat setelah kenikmatannya mereda aku menurunkan tubuhnya dari gendonganku, kejantananku masih tertancap erat di dalam sana.
Eksanti bertanya-tanya dalam hati, "Posisi apa yang akan Mas pilih kali ini?"
Seakan mendengar pertanyaan itu, aku tiba-tiba membalikkan tubuh Eksanti.
"Mas ini kuat sekali", pikir Eksanti, "..dengan mudah bisa memutar tubuhku tanpa melepaskan kejantanannya".
Kini Eksanti berdiri menghadap ke arah lemari abu-abu, membelakangi tubuhku, dan aku menusukkan kejantananku dari arah belakang tubuhnya dengan gerakan maju mundur. Tanganku meraih ke depan, meremas toket Eksanti yang bergelantungan-bergoyangan karena dorongan-dorongan tubuhku.
Dengan posisi seperti ini, Eksanti merasakan kejantananku semakin keras menggosok-gosok dinding kewanitaannya. Padahal dinding-dinding itu masih berdenyut-bergelora akibat orgasme yang baru lalu. Akibatnya, dengan segera Eksanti kembali mengerang-ngerang merasakan kegelian-kegatalan baru, kali ini bahkan lebih kuat karena langsung terasa sampai ke tulang sumsum. Rasanya, kejantananku bertambah panjang saja, menelusup jauh ke dalam tubuh Eksanti, membuat wanita ini seperti dirogoh-rogoh sampai ke jantungnya.
Aku pun merasakan kenikmatan baru, berbeda dari ketika aku hanya berdiri menggendong menerima henyakan tubuhnya. Kini aku bisa mengendalikan lagi permainan yang tadi diambil alih oleh Eksanti. Kini aku bisa leluasa mengeluar-masukkan kejantananku, memutar-mutarnya sesekali, dan menggesek-gesekkannya ke dinding kenyal-licin. Nikmat sekali rasanya liang wanita yang sudah orgasme, karena seperti hidup dan bergelora. Tidak pasif seperti seonggok daging belaka. Itulah sebabnya, setiap kali berhubungan cinta, aku selalu berusaha setidaknya aku bisa terus bercinta setelah si wanita orgasme untuk kesekian-kalinya. Tetapi, diam-diam aku kagum juga merasakan betapa kewanitaan Eksanti lain dari yang lain. Kewanitaannya lebih kuat mencekal, lebih kenyal dan tidak terlalu dibanjiri cairan cinta. Karena itu, nikmat sekali rasanya mengeluar-masukkan kejantanan di liang yang kenyal-padat seperti itu. Betul-betul nikmat.
"Aucchh.. Mas.. enakk.. Mas..", Eksanti mendesah lembut.
Aku himpit tubuhnya dari arah belakang sambil menciumi punggungnya yang putih bersih. Tanganku memeluk tubuhnya dari arah belakang sambil jemari kedua tanganku memilin-milin lembut puting susunya. Lalu salah satu tanganku meninggalkan toket Eksanti, menjalar ke bawah, lalu menggerayangi "si Kecil Merah". Wow! bagi Eksanti, sentuhan-sentuhan di bagian itu, pada saat seperti ini -ketika orgasme sedang bersiap melanda tubuhnya kembali- adalah "sentuhan maut".
Ia menggelinjang, lalu mengerang, "Oh, yachh.. touch me there, Mas!" menyatakan persetujuannya.
Aku pun tanpa ragu-ragu mulai menggosok-gosok si kecil yang semakin menonjol itu. Mula-mula cuma menggosok halus, tetapi semakin lama semakin keras, dan akhirnya bukan lagi menggosok. Aku memilin-meremas tonjolan itu, membuat Eksanti merintih-rintih keenakan. Kenikmatan yang datang dari tonjolan itu kini berbaur dengan kenikmatan yang datang dari serudukan-serudukan kejantananku dan dari satu toketnya yang diremas. Berbaur semakin menyatu, semakin membesar, seperti badai yang sedang mengumpulkan momentum. Aku pun merasakan hal ini. Maka aku mempercepat ayunan pinggulku, menghujam lebih keras dan dalam, meremas-remas lebih gemas, dan menggosok-memilin lebih tegas.
Eksanti menggoyang-goyangkan buah pantatnya semakin kencang, tangan kirinya berpegangan pada handle pintu lemari seraya jemarinya meremas-remas dengan gemas handle pintu lemari itu. Sementara tangan kanannya memegang buah pantatku seraya menekan-dekan kearah depan, seolah-olah Eksanti ingin seluruh kejantananku tertelan di dalam lubang kewanitaannya lebih dalam lagi.
"Ayo Mas.. lebih dalam lagi, lebih dalam lagi.. please..", Eksanti mengerang-erang lembut sambil terus menekan-nekan buah pantatku.
Peluh ditubuh kami bercucuran karena semakin panasnya ruangan itu, ditambah dengan panasnya bara birahi yang berkobar-menyala. Sesekali aku menjilati peluh yang menetes di leher dan punggung mulusnya.
"Ochh.. sayang.. Mas mau keluar..", aku mengejang ketika puncak kenikmatanku hampir tiba.
"Please Mas.. aku ingin Mas enak, keluarin di dalam yaa.. Mas.. please..", Eksanti mendesah-desah penuh nikmat.
Aku semakin mempercepat gerakanku, dan irama kita semakin menderu sebelum akhirnya aku mencapai puncak nikmat itu. Lalu semenit kemudian plas..plas.. plas..(8X), aku meledak di dalam kewanitaannya..
"Occhh.. sayangg.. Mas keluarr..".
Tiga detik kemudian bersamaan dengan orgasmenya yang ketiga, Eksantipun berteriak keras..
"Auughh.. Mas.. Santi juga enaakk.., aku.. oochh!!", jerit Eksanti keras sekali.
Lalu kepalanya mendongak dan tubuhnya menggeliat-geliat liar, hampir saja lepas dari rangkulanku. Klimaks datang dengan sangat tiba-tiba dan cepat, tidak lagi seperti air bah yang menggelandang, tetapi seperti pijar kilat di langit. Aku menggigit lembut lehernya sembari memeluk erat tubuhnya, sementara kejantananku masih tertanam erat di dalam lubang surgawinya sambil menikmati denyutan lembut bibir kewanitaannya. Tubuh Eksanti kembali berguncang-guncang dan bergeletar hebat. Erangannya kembali memenuhi ruangan.
Klimaks ke tiga ini sungguh tak kalah dahsyat dari yang ke dua. Malah lebih hebat lagi, karena datang di saat tubuh Eksanti masih dilanda kenikmatan sisa klimaks sebelumnya. Eksanti merasakan seluruh sendinya seperti mau copot akibat orgasme yang datang bertalu-talu berkepanjangan ini. Otot-ototnya terasa pegal akibat terus-menerus meregang menerima gelitikan-nikmat. Pandangannya kabur karena keringat kini memenuhi dahi dan mengalir masuk ke matanya yang berkerejap-kerejap. Tetapi semua itu menambah nikmat belaka. Memang, letih karena orgasme adalah letih yang jauh berbeda dibanding letih yang lain. Inilah barangkali satu-satunya letih yang tidak meletihkan!
Eksanti merosot terjerembab, tertelungkup di karpet karena tak sanggup menahan beban tubuhnya sendiri yang berguncang-guncang. Dengan suara.. plop! kejantananku tercerabut dari liang kewanitaannya. Cairan cinta berleleran di sela-sela paha Eksanti, cepat-cepat aku menghapusnya dengan saputangan handuk miliknya yang tergeletak di atas meja kerjanya. Tubuh Eksanti yang telungkup tampak berguncang-guncang seperti orang tersedu-sedan. Keringat tipis mulai tampak di punggungnya, seperti lapisan plastik berkilat-kilat. Seksi sekali tubuh molek yang putih mulus itu tampak dari belakang. Aku mengusap-usap buah pantat Eksanti yang menonjol padat, seakan-akan sedang berusaha menenangkan wanita yang sedang terguncang oleh klimaks itu.
Nafas kami masih tersengal-sengal dan kami berdua terkulai lemas bermandikan keringat. Eksanti membalikkan tubuhnya dengan lunglai.
"Acchh.., nikmat dan melelahkan sekali permainan cinta kali ini", gumamnya dalam hati.
Dipandangnya aku yang masih berlutut dengan kejatananku yang mulai lunglai.
Sesaat kemudian ketika kenikmatan itu mulai mereda, Tek-tek-tek! kami mendengar suara ketukan di pintu utama kaca depan kantor! Oh shit! Not now please, please, please, aku merutuk dalam hati. Kedua mata Eksanti terbelalak, wajahnya memucat, dengan agak kuat ia mendorong tubuhku menjauh. Ia memandangi pakaian di lantai yang sudah tak keruan letaknya itu. Kemudian dengan tergopoh-gopoh ia membenahi. Aku membenahi juga celanaku dan bajuku. Eksanti kemudian membalikkan tubuhnya menghadap lemari kembali sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
"..Oh shit! Apes benar diriku", sesalku dalam hati.