kamu melihat pesan ini karena adblocking menyala sehingga keseluruhan koleksi kami sembunyikan. kamu berusaha menghilangkan iklan maka kami juga akan menutup seluruh koleksi
klik cara mematikan ADBLOCK
selalu guna GOOGLE CHROME serta Download free VPN tercepat
UC Browser, Operamini, dan browser selain google chrome yang tidak mematikan ad blocking menggunakan panduan di atas tidak akan dapat melihat content, harap maklum
Bokep Viral Terbaru 2022-12-16 07:33:26 PEMERSATUDOTFUN

2022-12-16 07:33:26

Tidak ada voting
2022-12-16 07:33:26
video tak dapat diputar? gunakan google chrome, matikan adblock, gunakan 1.1.1.1
untuk menonton konten yang ada pada kategori LIVE published pada 24 Desember 2022 sila click button Download lalu click STREAMING di atas untuk menyaksikan streaming 2022-12-16 07:33:26 secara free, dapat pula click STREAMING 1 etc button di bawah player. jangan lupa di fullscreen agar iklannya tidak muncul, jika keluar jendela iklan cukup tutup sahaja
Advertisement
klik foto untuk besarkan saiz dan semak halaman seterusnya

Daftar Foto :


Cerita Dewasa:


Kevin Demonic 2: Blood Sugar Sex Magic - 6


Dari bagian 5

Wanita itu sepertinya sadar akan situasi itu hingga diapun diam pasrah membiarkan Erwin menjilati sisa-sisa minuman yang membasahi sekujur tubuhnya. Boba toket Lily yang berwarna coklat muda kemerahan itu tidak luput dari liarnya jilatan lidah Erwin yang bergerak bagaikan seekor ular yang haus akan kenikmatan. Dengan rakus mulutnya mengulum dan menghisap boba milik Lily sementara jari tangannya terlihat 'mengobrak-abrik' kebalik rimbunnya bulu kemaluan Lily.

"HHmm.. AAHH!!" suara Lily menjerit tertahan tatkala semua titik-titik kenikmatannya dieksploitir tanpa seijinnya.

Dia hanya bisa memalingkan muka dan pasrah mengetahui apa yang bakal terjadi berikutnya. Tanpa malu-malu dihadapan kami semua, Erwin menurunkan celananya lalu mengeluarkan kontolnya (yang ukurannya ternyata kecil!) lalu dengan kasar di hujamkan ke dalam kemaluan Lily yang sepertinya masih belum begitu basah karena tidak menerima rangsangan yang semestinya.

"AAuuhh.. Oohh jangaan.. Ahh" suara Lily menjerit lemah karena dia sendiri sudah pasrah akan nasib yang dialaminya itu.
".. Ampuun.. Oohh!!" Lily terdengar memelas memohon Erwin menghentikan tindakannya namun Erwin bagai seorang yang kesurupan malah mambalasnya dengan menampar wajah tidak berdaya itu beberapa kali.
"Plak.. Plak.. Plak!! Diam pelacur! Nikmati aja!!"

Tidak puas sampai disitu, Erwin menjambak rambut Lily lalu membenturkan kepala wanita malang itu beberapa kali ke atas meja.






"Ayo.. Nangis sekarang! Gua paling suka liat cewek kalau lagi kesakitan," ujar Erwin sambil meremas toket Lily dengan keras dan dengan gerakan kasar diguncang-guncangkannya seakan ingin mencopot toket itu.

Kontan Lily menjerit kesakitan namun segera dibungkam kembali oleh Erwin dengan melayangkan tinjunya hingga bibir wanita malang itu berdarah. Felix tampak hanya menggeleng-gelengkan kepalanya ke arahku rupanya dia sudah biasa atau sudah tahu kebiasaan 'aneh' Erwin itu. Awalnya aku menikmati 'pertunjukan' erotis yang ganas itu namun jeritan serta permohonan Lily yang memelas kesakitan dan mohon ampun itu seperti membius kesadaranku.

Jeritan wanita tidak berdaya itu seperti menarik ingatanku pada perisatiwa yang terjadi beberapa bulan sebelumnya. Kesadaranku bagai lenyap dan tubuh Lily dihadapanku tiba-tiba digantikan oleh pemandangan yang kulihat di bulan Mei itu. Saat itu pemandangan tubuh cici-ku Irene kembali muncul dihadapanku. Tubuhnya terlentang tidak berdaya diatas meja dengan tangan dan kaki terikat sambil menjerit, merintih meminta pengampunan penuh keputus asa-an.

Aku jadi teringat akan bentakan para pemerkosa itu. Pukulan kasar mereka serta penyiksaan mereka. Bahkan senyum menjijikkan dari seorang yang memperkosa cici-ku saat dia lepaskan kenikmatan laknatnya bagai terulang kembali dihadapanku. Saat itu tiba-tiba semuanya menjadi gelap dan aku tidak bisa membedakan yang mana realita dan yang mana bayangan. Sosok pria kurus menjengkelkan yang sedang berpesta diatas tubuh wanita yang tidak berdaya itu telah membangkitkan amarahku. Dan saat amarahku bangkit, maka waktu seperti berhenti dan semuanya berjalan di luar kendaliku. Aku tidak merasakan apa-apa ketika tubuhku bergerak di luar kemauanku, bangkit lalu tangan kananku mencengkeram tengkuk Erwin bagai rahang Harimau mencengkeram leher kambing.

Tubuh Erwin terasa enteng bagaikan kapas ketika kutarik dan kulemparkan kebelakang hingga terhempas membentur dinding kaca di sisi ruangan itu. Akupun segera melangkah menghampiri Erwin yang terduduk dengan tatapan kecut penuh ketakutan. Felix yang mencoba menahanku tidak sanggup menghentikan langkahku yang terus memburu Erwin. Kematian terasa begitu dekat denganku. Telah kurasakan dalam genggamanku. Saat itu kurasa semuanya berada dalam genggamanku. Aku terhenti dan sadar kembali ketika tangan kekar dari Hans dan kedua temannya menahan dan menghimpit ruang gerakku.

"Sabar bung! Tenang.. Tenang!" begitu suara Hans sambil menahanku.
"Kevin.. Stop.. Sabar..!" Felix kemudian menampar pipiku dengan pelan berusaha mengembalikan semua kesadaranku.
"Kev! Ada apa sama lo! Ada masalah apa sama gua!!" terdengar suara Erwin yang bingung atas tindakanku tadi.

Aku memejamkan mataku lalu berulang kali menarik nafas panjang mengumpulkan kesadaranku. Terus terang pengaruh alkohol dan ganja tadi sedikit ada pengaruhnya terhadap 'keganasanku' barusan.

"Sorry Lix.. Sorry tadi gua lepas kontrol.. Kayaknya sisa-sisa trauma gua kambuh lagi," kataku menjelaskan.

Felix yang tahu tentang peristiwa yang menimpa keluargaku segera maklum dan menenangkan Erwin yang sepertinya malah jadi emosi kepadaku.

"sudah lah Win, Kevin masih trauma sama masalah kayak begini".

Felix segera menyuruh Lily berpakaian kembali lalu memerintahkan anakbuahnya untuk membebaskan mereka setelah sebelumnya dia memberikan ancaman pada mereka berdua agar tidak membuka mulut tentang apa yang mereka alami disitu.

Erwin akhirnya dapat menerima penjelasan dari Felix tentang kondisiku namun instingku mengatakan kalau dia menyimpan kebencian terhadapku dan perlahan tapi pasti kebencian itu akan menumpuk menjadi dendam. Aku sadar kalau malam itu aku telah menemukan rekan dan sekutu bisnis sekaligus menemukan musuh baru yang tiap saat bisa mengancamku. Suasana malam itu telah menjadi rusak oleh kejadian tadi jadi sudah saatnya aku untuk pamit dan segera pulang. Felix mengantar sampai ke mobilku. Aku sempat menanyakan tentang Rani dan Felix memberikan nomor telpon yang bisa kuhubungi apabila aku memerlukan service dari penari erotis itu.

"Gimana keadaan Maureen?" (Maureen adalah nama asli cici-ku, Irene adalah nama panggilannya sehari-hari).
"Dia masih dalam proses pemulihan.. Kamu sendiri ngerti kalau itu perlu waktu yang cukup lama".
" Salam buat dia.. Semoga cepat pulih," katanya yang kubalas dengan anggukan.

Sejujurnya sih aku nggak bakal nyampein salam itu jadi aku cuma berbasa-basi saja mengiya-kan. Waktu telah menunjukan pukul dua malam ketika aku meninggalkan lokasi itu untuk pulang kerumahku.

Bagian Kedua.

Pukul 08: 00Wib

Aku terbangun karena merasa kedinginan oleh AC kamarku yang langsung menerpa tubuhku. Dengan malas aku menggapai-gapaikan tanganku mencari selimut dan bantal guling untuk kembali melanjutkan tidurku dengan nyaman. Tanganku kemudian tanpa sengaja menyentuh sesuatu yang semula kukira bantal gulingku namun permukaan lunak yang kurasakan itu ternyata adalah tubuh seseorang yang terbaring disampingku. Aku membuka mataku dan melihat cici-ku Irene masih terlelap sambil memeluk bantal gulingku. Rupanya dia juga yang tanpa sengaja menarik selimutku hingga aku kedinginan.

Aku ingat kalau semalam dia menungguku dan dia juga yang menuntunku ke kamar karena aku sudah cukup mabuk ketika sampai di rumah semalam. Irene memang sering tidur di kamarku. Dia masih sering terbangun malam-malam bila mimpi buruknya datang dan biasanya dia langsung pindah ke kamarku. Sepertinya semalam dia ikut tidur di sini juga. Sentuhanku membangunkannya dan dia menoleh padaku sambil mengucek matanya.

" Kevin.. Kamu semalam mabuk banget.. Untung nggak apa-apa pas di jalan".

Diapun segera duduk dan menggeliat merentangkan tangannya sambil menguap, "Gimana semalam? Ngapain aja sama Felix?".
Dalam keadaan masih setengah mengantuk aku menjawab sekenanya, "Biasa aja.. Cuma minum-minum doang".
"Iya awalnya begitu.. Lama-lama kamu dekat sama dia, kamu pake-pake drugs juga?" ujar Irene menghakimiku.

Akupun segera bangun dan duduk di sisi ranjang lalu berkata sambil membelai rambut cici-ku yang masih awut-awutan.

"Sudah deh.. Gua khan bukan anak kecil lagi ren, .. Gua juga cuma sekedar formalitas aja datang kesana," kataku menyembunyikan bisnis yang telah aku bicarakan dengan Felix semalam. Irene rupanya tetap tidak percaya padaku dan dia menggerakkan kepalanya menepis belaian tanganku.
"Gua cuma ingetin aja. Awalnya nggak tapi lama-lama iya"
"Iya deh gua dengerin koq. Lain kali gua nggak mau lagi main sama dia." kataku mengiyakan keinginannya.

Aku tidak ingin masalah itu menjadi panjang. Sepertinya aku memang harus merahasiakan bisnis-ku dengan Felix.

"Kev.. Siang ini temanin gua ke Mal yah.. Sekalian belanja. Gua sudah mulai bosen nih dirumah terus"
"Kamu kan nggak harus tiap hari ngontrol bengkel sama keliling ke toko-toko," Irene terdengar cukup memaksaku untuk menemaninya hari itu.

Aku memutuskan untuk mengikuti kemauannya karena merasa nggak enak juga telah merahasiakan urusanku dengan Felix.
"Ok deh tapi nanti siang yah jalannya. Gua masih ngantuk nih mau tidur lagi," kataku.
Irene membalasnya dengan tersenyum lalu dia melemparkan bantal guling ke arahku, "Tuh.. Tidur sana!".

.. Zzz.. Zzz.. Zzz.. Zzz.. Zzz.. Zzz..

Siang itu aku menghabisakan waktuku menemani Irene ke 'Playan'. Sepertinya Irene sudah cukup pulih hingga dia terlihat begitu senang menikmati suasana Mal yang siang itu cukup ramai. Memang dia masih saja berjalan menggandeng tanganku erat dan belum berani mengangkat wajahnya menatap ramainya orang-orang yang di sekitarnya namun dia terlihat sangat menikmati sekali berbelanja barang-barang yang disukainya dan terlihat mulai berusaha membiasakan diri berada di tengah keramaian setelah beberapa bulan terakhir ini dia senantiasa menghindari berada di tempat-tempat umum dan keramaian. Kami sempat main balap-balapan di Timezone dan makan di foodcourt (sesuatu yang sudah lama tidak pernah dilakukannya lagi dalam beberpa bulan terakhir ini). Kami mengakhiri acara 'belanja fiesta' itu dengan nonton film di bioskop yang ada disitu.

Selesai nonton, aku segera mengarahkan kendaraanku ke sebuah hotel yang masih berada di daerah Senayan, kontan Irene kaget lalu mencubit lenganku dan berkata,

"Serius nih Kev, kamu mau check-in disini sekarang?".

Aku menjawabnya dengan mengangkat alis saja lalu langsung masuk areal parkir hotel itu.

"Kalu cuma buat 'itu' aja sih di rumah juga bisa khan? Buang-buang duit aja di sini," kata Irene protes namun nada suaranya terdengar riang dan penuh dengan surprise.
"Cerewet ah! Katanya boring dirumah.. Ya dihotel dong.. Kan kita belum pernah di hotel," kataku menjelaskan.

Begitu kami memasuki kamar hotel, yang pertama dilakukan Irene adalah membuka belanjaannya dan mencoba pakaian-pakaian yang dibelinya satu-persatu. Aku cuma bisa menggerutu sambil berbaring terlentang melemaskan persendian kakiku yang pegal kelelahan mengikuti cici-ku yang jadi 'ratu shopping' sepanjang siang itu. Setelah puas dia mencoba semua belanjaannya, diapun segera ke kamar mandi. Katanya dia ingin membilas badannya yang terasa penat setelah seharian jalan.

Ketika menungu cici-ku keluar dari kamar mandi aku sempat merenung tentang keberadaan serta hubungan kami berdua selama ini. Aku sadar dan aku yakin Irene-pun sadar kalau kami berdua memiliki sebuah hubungan sex yang tidak sehat bahkan tabu. Kami bahkan telah sering membicarakan hal itu namun sepertinya kami masih lebih sering melakukannya ketimbang membicarakannya.

E N D


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.