Cerita Dewasa:
Titin 01
Kenangan musim dingin, di Western Hemisphere
Si Kecil baru saja terlelap di ranjang kecilnya setelah lelah menangisi ibunya yang absen. Kasihan sekali anak itu, buah hatiku, kembaranku sewaktu aku balita dulu. Baru umur dua tahun tetapi sudah mengerti arti kasih seorang ibu. Dia begitu menginginkan ibunya, bagi dia ibu merupakan segalanya.
Tiga hari ini sungguh-sungguh sulit dilewati. Bukan hanya karena si Kecil atau urusan tetek bengek rumah tangga saja, tapi terutama hatiku yang hancur terluka dan amarahku yang kadang masih meluap. Aku mengakui bahwa aku memang terlalu sibuk dan kurang memerhatikan kebutuhan biologis Kristin (dan emotional khususnya). Berkali-kali aku dapatkan signal itu dari Kristin, baik secara verbal atau dari tingkah laku. Biasanya ia menjadi sensitif kalau libidonya tak terlampiaskan. Selama ini aku tidak menganggap hal ini serius, maka tidak ambil action. Kupikir, seharusnya dia memahami kesibukan karirku sebagai eksekutif muda, sekaligus stresnya.
Kupandangi telapak tangan kananku. Inilah bagian yang terakhir menyentuh Kristin. Hmm, bukan menyentuh, sebetulnya menyakitinya. Aku tampar pipinya malam itu. Masih kuingat betapa merah pipinya yang mulus itu setelah kusakiti. Apa boleh buat.. aku memang murka sekali saat itu. Please forgive me Kristin.. Dengan penuh sesal, kukecup gaun tidur satin "Victoria Secret" warna ungu yang kubeli di hari ulang tahunnya. Tercium aroma tubuhnya di sana. Teringat begitu halus kulitnya yang putih, kontras dengan warna fabric. Terbayang lekukan tubuhnya yang sempurna namun jarang kusentuh. Terkenang pula saat-saat dia membuka bungkusan hadiahku dan sinar bahagia terpancar di matanya ketika mendapati sepotong outfit itu. Dia memakai hadiahku di malam ulang tahunnya.. dan malam itu kami bercinta sepanjang malam. Ah, rasanya sudah lama sekali..
Tiga malam yang lalu, hampir merupakan rutinitas, aku masuk kamar menyusul istriku yang tengah berbaring di ranjang. Aku cium pipinya dan kukatakan "I love you," lalu jatuh tertidur di sampingnya. Tidak biasanya, di lelapnya malam aku terbangun untuk ke WC. Kristin tidak di sisiku. Mungkin di kamar si Kecil atau, hmm.. sedang menyikat lantai dapur? Pernah aku terjaga oleh suara "sek esek esek" Kristin menyikati lantai kamar mandi di tengah malam (sekarang baru aku nangkap kenapa dia berbuat begitu).
So, aku keluar untuk memeriksa. Di kamarnya, kudapati hanya anakku sedang tidur dengan nyamannya. Kucari istriku sampai akhirnya terdengar suara sayup-sayup berasal dari garasi mobil. Dengan siapa Kristin berbicara malam-malam begini? Aku angkat pesawat telepon dengan perasaan sedikit curiga. Ternyata dia tidak menggunakan telepon. Firasat buruk mulai datang, sedang apa pula dia di garasi ribut-ribut pada waktu begini? Akhirnya aku menguping. Tidak jelas karena bunyi heating system yang menyala, tapi kudengar suara Kristin menjerit-jerit dalam kenikmatan sambil meneriakkan nama seorang lelaki. Seluruh tubuhku menjadi lemas sekali. Aku tak berani menebak apa yang sedang dia lakukan di sana, apalagi untuk memergoki dia bermain cinta dengan lelaki lain. No matter what.. lebih baik tidak menangkap basah orang bersenggama.. no matter who it is-- pernah kupergoki adikku bercinta dan yes.. you guessed it! bayangan itu tak pernah hilang sampai sekarang.
Jantungku berdebar hebat sekali. Bagaimana mungkin istriku berselingkuh? Tak mungkin rasanya Kristin berbuat serong. Dia istri yang baik. Suara yang samar-samar itu telah reda. Lalu, pintu garasi terbuka dan dari sana keluar Kristin menggenggam handphone. Kutangkap keterkejutannya, dan wajahnya pucat pasi mendapati aku duduk di situ. Langsung aku confront dengan suara gemetar, "Apa yang barusan kau lakukan?" Dia tidak berusaha untuk mengelak. Kelihatan pasrah menerima tuduhanku. Diakuinya bahwa selama ini memang ada pria lain dan bahwa dia baru saja masturbasi bersama pria itu via telepon untuk memuaskan diri. Tak elak lagi, tanganku melayang di pipinya. Paginya, sebelum aku atau si Kecil bangun, Kristin telah pergi.
Kubiarkan air mataku menetes satu persatu --tanpa menodai gaun malam Kristin di genggamanku-- menyesali kegagalanku memberikan kebahagiaan kepada satu-satunya wanita yang kucintai. Kemarin aku masih belum tenang, masih marah-marah, tapi sekarang aku sudah mampu berpikir dengan jernih. Seharusnya aku ketahui lebih dini kalau Kristin kesepian. Andai saja tak kubiarkan dia kesepian, andai saja dia bahagia bersamaku, takkan mungkin dia menjalin hubungan dengan pemuda Indonesia itu. Aku yang salah.
Kemana gerangan dia pergi? Dia tak berhasil aku kontak. Ke rumah laki-laki itukah? Kristin memang sering bilang lebih baik hidup miskin asal bahagia. Apakah dia menemukan kebahagiaan bersama laki-laki itu? Dari latar belakangku (aku dilahirkan di sebuah negara Asia yang cukup maju), mencari nafkah adalah tugas nomor satu seorang laki-laki; tetapi lihat sekarang, tanpa Kristin tiga hari ini aku bahkan tidak dapat ke kantor (Kristin sendiri ternyata bolos ngantor). Lelaki itu tentunya memanggil istriku "Titin", panggilan akrabnya. Aku selalu menolak menggunakan nickname itu, alasanku "Kampungan, itu kan nama orang Indonesia, aku bukan orang Indonesia."
Cintakah pria itu pada istriku? Tentu saja! Apa susahnya mencintai seseorang seperti Kristin? Ia wanita cantik yang lembut dan cerdas. Aku sendiri mencintainya setengah mati karena.. basically, hanya bersamanya hidup ini menjadi menarik. Seorang wanita yang penuh surprises. Dia satu-satunya wanita kukenal yang join racing club, untung mobilnya termasuk yang paling safe, walaupun belum se-safe Hummer. Hobby-nya adalah berputar-putar 360 derajat di dalam mobil di lapangan parkir yang licin penuh salju dan es. Aku gemas dengan sifatnya yang kadang-kadang.. somewhat clueless --sewaktu George W. Bush menjadi candidate president, Kristin bertanya dengan lugunya, "Bukankah dia pernah terseleksi di th 1988?". Kristin suka meng-disregard current news di TV/surat kabar yang tidak menyangkut personal life-nya, tapi aku tahu dia berdoa setiap malam meminta world peace, terutama di negaranya sendiri yang senantiasa kacau. Well, sekarang tidak masalah apakah pria itu mencintai Kristin atau tidak, yang lebih penting adalah: masihkah Kristin mencintaiku?
Jika dia pulang, akan kulakukan segalapun untuknya. Maksudku bukan soal sepele seperti merelakannya memajang 12 buah botol sabun cuci tangan berwarna warni dari flavor melon ke pearberry (katanya sih supaya kalau mau cuci tangan tinggal pilih aroma yang disukai tergantung mood, tapi menurutku cuma tambah repot saja). Sudah waktunya aku memberi tanpa menuntut dalam hal-hal yang lebih bermakna. Bilamana ada acara orang Indonesia kumpul-kumpul, aku akan ikut serta dengan raut wajah yang ceria. Karena aku tahu dengan cara ini, aku akan membuatnya senang. Kalau selama ini aku memilih untuk tidak berada di tengah-tengah mereka --dan ini membuat Kristin sedih-- itu semata-mata karena aku tidak mengerti bahasa mereka. Teman-temannya ini doyan ngoceh dalam bahasa Indonesia. Heran! Entah mengapa orang Indonesia kalau bertemu orang Indonesia lagi selalu berbahasa Indonesia, lain dengan bangsaku sendiri (or others) yang lebih suka berbahasa Inggris. Di kupingku, mereka kedengarannya seperti emak-emak yang sedang arisan, ngomongnya berisik dan cepat sekali, aku jelas tidak fit in.
Terbayang lagi betapa intensnya kegiatan Kristin di garasi malam itu. Hatiku benar-benar tersayat. Tak pernah lagi dia begitu denganku. Aku cemburu sekali. Berhasilkah lelaki Indonesia ini mengerti tubuh istriku dan memberinya kepuasan yang tak dapat kuberikan? Kristin memang sulit sekali mendapatkan puncak dalam berhubungan sex. Di awal hubungan kami, aku selalu berusaha memberikannya, namun karena gagal terus aku tidak lagi memikirkan hal itu. Hanya aku yang mengalami orgasme. Sejujurnya, saat kami bercinta, rasanya bagiku hanya kewajiban saja, bukan lagi permainan indah sepasang manusia yang saling memiliki. Hhh.. apalagi belakangan ini kami malah jarang ML. Terkadang seminggu sekali, terkadang dua minggu baru sekali. Oh ya, Kristin bahkan keep track; dia memiliki kalkulasi lengkap mengenai frekuensi per minggu kami berhubungan sex, dari tahun ke tahun (she did the math! perempuan memang ada-ada saja). Ya, akhirnya Kristin enggan menelan pil KB lagi, katanya setiap butir yang ia telan tiap hari hanya mengingatkan bahwa aku telah menjadi seorang yang "dingin".
Oh, Kristin.. Rumah ini serasa bukan rumah lagi tanpa kehadiranmu. Aku menempelkan gaun miliknya di wajahku dan menghirup nafas dalam-dalam. Aku merindukanmu. Si Kecil begitu membutuhkan dirimu. Sepanjang hari dia memanggilmu "Mommy! Mommy!" Dia kurang suka Daddy-nya yang kurang sabar dan tidak becus mengurus anak. Pulanglah Sayang. Akan kubuktikan bahwa aku mampu memberikan kehangatan seorang suami. Aku berjanji tak akan membuatmu murung lagi. Aku hampiri si Kecil yang tidur dengan damai, kubisikkan padanya, "Mommy akan segera pulang, Daddy berjanji," tanganku menepuk-nepuk lembut lengannya yang mungil. Bersamaan dengan itu, aku dial HP Kristin.
Bersambung ke bagian 02