Cerita Dewasa:
Hutang 08
Sambungan dari bagian 07
END
Bintang tamu
Suatu hari di Asrama Puteri
Gadis di pinggir tempat tidur yang sedang menggaruk-garuk kepalanya itu mengumpat dalam hati. Seharusnya ia sudah curiga saat melihat City-Z silver yang mangkrak di pelataran parkir kampusnya beberapa hari yang lalu. Sayang waktu itu ia terlalu sibuk dengan urusan praktikumnya. Coba kalau tidak, mungkin ia sudah mendatangi iblis itu dan mencegah segalanya terjadi. Tapi kenyataannya, seperti biasa, Dita selalu terlambat datang.
Sekarang, ia terpaksa mendengarkan ratapan dari salah seorang sahabat terbaiknya yang tidak mengikuti perkuliahan sejak tiga hari lalu. Kamar dimana ia berada sekarang mulai terasa kecil dan panas. Dita melepaskan cardigan-nya, lalu meraih gelas air putih di atas end table. Matanya memandang sedih pada gadis yang kemudian meraih gelas di tangannya. Wajah gadis yang kesehariannya tampak cerah itu sudah terlalu pucat untuk menyimpan sari-sari kehidupan. Mirip sosok mayat hidup. Tubuhnya sepintas terlihat jauh lebih kurus daripada biasanya. Rambutnya awut-awutan.
"Sudahlah, De. Hanya masalah cowok," bisiknya, seraya mengusapkan jemari tangannya di rambut sahabatnya.
Gadis di atas tempat tidur meletakkan gelas kembali di atas meja, lalu memejamkan mata. Setitik lagi air mata jatuh ke atas bantal.
"Segalanya begitu sempurna, Dit," isak Dewi. Bahunya berguncang.
"Aku tahu. Ia pasti membuatmu bahagia saat itu. Jauh lebih bahagia dari semua yang pernah kaurasakan. Ia membuatmu jatuh bangun, kan?"
Dewi menganggukkan matanya, masih terpejam.
Dita menarik napasnya dalam. Jangan pernah ada yang mengatakan bahwa ia tidak mengerti akan semua itu. Walaupun Dewi tidak menceritakan seratus persen tentang segalanya, Dita sudah dapat menebak apa yang terjadi. Baginya, sosok iblis itu bukanlah seorang yang asing. Ia sangat mengenalnya. Salah seorang lagi dari sekian banyak sahabat. Satu diantara yang bertatto di kening: BEWARE, HAZARDOUS!
Semula Dita tidak mengerti, siapa yang membuat Dewi jadi berantakan, dan bagaimana caranya. Setahu Dita, Dewi memiliki banyak sekali teman pria. Tapi tidak seorang pun yang dinilainya mampu membuat gadis itu terluka. Dewi bukanlah tipe gadis yang mudah untuk dipermainkan. Sampai Dewi menyebutkan nama seorang pemuda yang membuatnya tersentak.
Ray? Ray yang itu? Ray yang membantai wanita dan gadis kecil tanpa berkedip? Hancur sudah!
Dita menunggu sampai sahabatnya tertidur. Ia meraba kening gadis itu, mendapatinya sedikit hangat. Alis Dita berkerut. Pemuda itu benar-benar keterlaluan. Dita mungkin masih merasa tidak mengapa, seandainya pemuda itu menyelesaikan apa yang sudah ia mulai, membuat gadis itu terluka tanpa menyisakan sekeping cinta lagi. Tapi dengan menarik harapan terindah dari seorang wanita di tengah jalan saja, sudah merupakan sebuah siksaan lahir batin. Apalagi dengan membuat si gadis tetap merasa yakin, bahwa pemuda itu tidak bersalah. Dalam jangka waktu yang panjang, Dita yakin, Dewi akan tetap menyimpan harapan itu di hatinya. Harapan kosong, tentang kembalinya sang pemuda. Menyedihkan sekali.
"Ia pergi karena ia menyayangiku. Aku bisa melihat kesedihannya," begitu isak Dewi yang sempat didengarnya belasan menit lalu.
Dalam hati Dita mencibir. Mana mungkin? Satu-satunya alasan atas kejadian itu yang dapat diterima nalarnya, adalah pemuda brengsek itu sudah membuat si gadis sedemikian rupa, meletakkannya dalam batas yang ia inginkan, agar supaya ia dapat melepaskan diri dengan mudah, dengan rasa cinta yang semakin membara di hati si gadis.
Dita meninggalkan kamar Dewi dengan merenung. Antara kekagumannya, rasa benci, dan ingatan akan luka panjang di punggungnya, Dita meringis tanpa ia sadari di dalam mobil. Iblis-iblis ini luar biasa. Datang tanpa diduga, melenakan tanpa terasa, lalu pergi tanpa jejak. Setahun lalu saat ia mengenal iblis itu. Yang tersenyum menggoda di cofee shop, yang berusaha mati-matian untuk membuatnya takluk, tapi gagal. Ia menyukai pemuda itu, di luar sifat buruknya-karena pemuda itu adalah seorang sahabat yang baik.
Ray memang baik, tapi hanya dengan orang yang dianggapnya sahabat. Selain itu, ia akan jahat seperti binatang buas. Dita mengerti, karena pemuda itu suka menceritakan segala sesuatu padanya.
Gadis itu berani bertaruh, janji makan siang kali ini, pasti merupakan kedok belaka. Ia sudah bisa membayangkan wajah pemuda itu, dengan cengiran khasnya, menceritakan tentang segala apa yang dialaminya sebulan sejak pertemuan mereka yang terakhir di warung batagor.
Saat ia hendak berlalu, sebuah bayangan melintas di samping mobil. Dita melirik ke arah spion. Dengan heran ia memandang dua sosok yang turun dari macan hitam. Adegan selanjutnya mirip sinetron India. Si gadis menghentakkan kaki, menutupi wajahnya, terisak masuk ke dalam Asrama puteri. Sementara sosok pemuda berambut panjang di samping macan hitam hanya berdiri. Lalu memutar tubuh. Gadis di dalam mobil dapat melihat wajahnya dengan jelas. Dita tercekat. Jay? Si manusia beku? Iblis yang lain?
Pemuda itu berhenti memandang ke arahnya. Dari spion, Dita melihat pemuda itu tersenyum. Jari telunjuk pemuda itu menempel di pelipisnya, untuk kemudian menunjuk ke depan. Tanpa mengatakan apapun, pemuda itu menaiki macan hitamnya, lalu melaju ke arah yang berlawanan dengan arah mobil Dita menghadap.
Dita terpana sejenak. Otaknya bekerja. Gerakan Jay terlintas lagi di benaknya. Apa maksud pemuda itu menunjuk udara kosong? Belum lima menit, Dita sudah melajukan mobilnya. Mengumpat dalam hati. Sembilan puluh sembilan persen ia sudah menebak apa yang telah terjadi. Tapi semoga dugaannya salah. Satu persen saja.
***
Dita menemukan kedua makhluk itu di cofee shop biasanya, tempat ia pertama kali mengenal Ray setahun lalu, dan Jay sebulan setelahnya. Kedua makhluk itu tampak bahagia. Senyum dan cengiran di wajah mereka, diselingi tawa. Dita melangkah pelan-pelan menghampiri. Alisnya berkerut, jelas gadis itu tampak gusar. Belum terlalu dekat, salah seorang dari kedua pemuda itu sudah melihatnya.
"Dit!" Ray berseru seraya melambaikan tangan. Jay menoleh dan tersenyum.
Dita tidak membalas sapaan dan senyuman yang dilontarkan kedua orang itu. Langkahnya semakin kaku saat ia mendekat. Gadis itu berhenti di samping meja oval. Matanya memandangi kedua pemuda itu satu-satu, tajam, tidak ada yang luput.
"Duduk dulu, duduk dulu," Jay berkata seraya menarik kursi.
"Aku tidak mau duduk," ucap Dita ketus.
"Ayolah," tawa Ray, menepuk meja.
"Tidak," sahut Dita, "Tidak sebelum Jay menceritakan tentang akhirnya."
Jay dan Ray berpandangan, lalu tertawa berbarengan. Dita melihat Jay menoleh, menatapnya dengan senyum jelek.
"Tidak ada apa-apa. Hanya bilang 'putus, yuk?' Itu saja."
Gadis di samping meja menatap wajah pemuda yang baru saja berkata dengan tajam.
"Hanya itu?" tanya gadis itu lagi.
Jay mengangguk, mengiyakan. Dalam hati Dita mengeluh, pemuda ini tidak kalah jahatnya. Malah terang-terangan. Segampang itukah meninggalkan gadis yang tengah jatuh cinta baginya? Dita tidak mengenal Jay sebaik ia mengenal Ray. Tapi ia tahu betul, mereka serupa.
Dita berpaling ke arah Ray, "Lalu, kenapa sahabatku?"
"Mana aku tahu," sahut Ray menunjukkan tampang bodoh.
Dita menarik kedua tangannya ke samping, berkecak pinggang menatap dua orang sahabatnya yang benar-benar unblelieveable.
"Kalian benar-benar deh," ucapnya beberapa saat kemudian.
Dengan gerakan cepat Dita menurunkan tas punggungnya, lalu mengayunkannya ke lengan kedua pemuda itu. Masing-masing satu.
Kedua pemuda itu tak menghindar, malah tertawa terbahak-bahak. Dita lalu mendudukan tubuhnya di kursi yang sudah ditarik. Wajahnya masih kerut merut. Bagaimanapun, ia merasa sebal di hatinya."Dit," Ray berbisik, "Mau Banana Split?"
"Plus CC Shake!" Jay ikut berbisik.
Dita melebarkan matanya, "Wah? Mau dong!"
Ketiga sahabat itu lalu bersepakat melupakan apa yang sudah terjadi. Mereka bertiga memang demikian, cepat sebal satu dengan lainnya. Namun cepat juga mencairkan kebekuan dengan canda tawa. Walaupun dalam hati Dita merasa kasihan pada Dewi dan Shinta, sebagai sesama wanita, tapi Dita tahu, yang ada dihadapannya saat ini, adalah dua sahabat terbaiknya, bukan iblis yang mengerikan. Ia tidak dapat mengubah hal itu. Ia hanya dapat bertekad, lain kali akan berusaha lebih keras untuk menghalangi kejadian-kejadian serupa terulang kembali.
"Tapi, Dit. Menurutmu, jahat mana aku sama Jay?" mendadak Ray bertanya.
Dita menelan potongan pisang sebelum menggeleng, "Entahlah. Bagiku kalian semua sama brengseknya. Nggak ada bedanya selain warna kulit. Itu juga kalau gelap ngga kelihatan."
Ray saling pandang dengan Jay, lalu sama-sama menunjuk. Nyaris pula berbarengan saat berseru, "Kamu yang kalah!"
Dita menyaksikan mereka berdua dengan bingung.
"Ada apa sih sebetulnya? Kalian taruhan, ya? Brengsek deh!"
Jay terkekeh, mengetuk ujung kreteknya di asbak. "Ini hanya masalah.."
Ray menyahut. "Bayar hutang!"
Dita bengong.
***
EPILOG:
Deadline Day, satu setengah jam kemudian
Warung Senang. Hanya menyediakan minuman panas, gorengan murahan, dan indomie tanpa telor. Semua orang mendengarkan dengan napas tertahan. Satu setengah jam mereka seolah terbuai. Ebes dan Emes saling pandang. Abang becak, tukang ojek, sopir angkutan, dan tukang ngamen tidak berkata-kata. Jay menghembuskan asap dari bibirnya.
"Akhir cerita," lanjut Ray, "Tak ada yang menang."
Setelah Ray mengatakan demikian, terdengar suara mesin mobil mendekat. Sebuah Starlet kelabu berhenti di dekat warung. Jay mengangkat tubuhnya, meraih jaket di sudut meja warung. Matanya bergerak ke samping. Ray tersenyum.
"Ya," bisiknya lagi, sambil tersenyum, menatap semua orang yang ada di dalam warung, "Tak ada yang menang."
Menyambar kotak Marlboro-nya, Ray menyusul Jay yang sudah keluar warung. Jendela mobil bergerak turun, wajah tersenyum seorang gadis terlihat. Sesaat kemudian, warung itu terasa sepi. Ebes melirik Emes, berbisik kecewa, "Lhah, kalau tak ada yang menang.."
"Hutangnya..," Emes meneruskan.
Orang-orang yang ada di warung saling pandang. Lalu nyaris serentak mereka semua tertawa. Semuanya merasa baru bangun dari sebuah mimpi. Tukang ngamen, yang baru pertama kali singgah di Warung Senang, mengambil sepotong tempe, lalu bertanya, "Siapa sih mereka, Bes?"
Ebes, dengan tersenyum, menggeleng-gelengkan kepala, "Bukan siapa-siapa. Hanya dua orang tukang hutang yang suka mendongeng."
Satu lagi malam berlalu di penghujung tahun.
TAMAT
Hmm