Cerita Dewasa:
The Owner 03
Sambungan dari bagian 02
Akan tetapi keesokan harinya dia kembali lagi.
"Mengapa kembali?" tanyaku.
"Saya bersedia pak," jawabnya.
"Dew, kamu tuh masih perawan. Masih banyak pekerjaan yang bisa kamu kerjakan dengan keakhlian yang kamu punya, jangan kerja di tempat ginian, sekarang kamu pulang saja yah!" kataku.
"Sebetulnya saya sudah bekerja Pak, di sebuah rumah makan, tetapi penghasilan saya tidak sesuai dengan kebutuhan saya," jawabnya.
"Ya semua manusia juga kebutuhannya pasti banyak Dew!" kataku.
"Iya sih Pak, sebab saat ini saya menjadi kepala keluarga, menggantikan Bapak saya yang terkena PHK, sementara untuk bekerja lagi tidak ada yang mau menerima pekerja dengan usia lanjut," katanya, sambil memandang wajahku dan tidak lama tertunduk lagi.
"Saya nggak kuat lagi dengan penderitaan ini, oleh sebab itu saya konsultasi dengan Mbak Sari dan diberikan alamat ini," jawabnya.
"Kamu nggak kawatir dengan keperawananmu?" tanyaku.
"Tidak!" jawabnya.
"Saya perlu uang," jawabnya memandangku dengan mata penuh air mata, tidak lama kemudian menunduk, dan menghapus air matanya.
"Uang buat apa?" tanyaku.
Dia menjelaskan bahwa dia rela berkorban seperti ini guna menyekolahkan adik-adiknya. Biarlah dia hancur, yang penting adik-adiknya sukses. Dia pun mengaku kepada keluarganya bahwa dia tetap bekerja di tempat yang lama, bukan di sini, kalau seandainya dia diterima di tempat ini.
Kadang bingung juga, katanya wajib belajar, sekolah gratis hingga SD, bebas uang sekolah. Kenyataannya memang bebas uang sekolah, tetapi iuran tetap saja ada. Yah, itulah hidup.
"Kamu yakin tetap ingin bekerja?" tanyaku.
"Yakin Pak," jawabnya sambil menghapus air matanya.
"Ok, Silahkan kamu datang besok, temui aku lagi, aku akan memikirkannya," kataku.
"Ingat, kamu belum aku terima! Aku masih perlu mengujimu." kataku lagi.
Keesokan harinya dia datang, nih anak nge-fans-berat sama Mickye Mouse kali ya, dari kemarin motif kaosnya ini saja, hanya warnanya yang berubah. Kali ini dia datang dengan keyakinan penuh dan tanpa rasa sedih, mungkin karena senangnya akan diterima di tempat ini. Seperti biasa, aku pun memintanya untuk telanjang. Dasar, celana dalamnya masih ada gambar Micky Mouse, sambil menggigit bibirku sendiri, jangan-jangan begitu melepas CD-nya ada tikusnya di dalam!
Setelah telanjang, nampak toketnya indah sekali, karena baru mulai merekah hingga daging toketnya yang mekar tadi belum sempat menutup warna daging hingga tampak bobanya yang merekah berwarna coklat muda terdapat warna PINK. Yang berbentuk bulan sabit menunjuk ke atas. Pinggang belum dobel, perut masih rata, kemaluannya ditumbuhi bulu halus yang cenderung berwarna coklat muda, tampak dari kejauhan garis kemaluannya tidak tertutupi bulu kemaluan yang masih tumbuh jarang, seperti rumput di padang yang gersang, gersang karena belum di-'sirami'.
Seperti biasa, kusuruh tidur di meja tamu dan mengangkangkan kakinya, kaki yang kiri ke sandaran tangan bagian kanan sofa kiri, dan kaki yang kanan ke sandaran tangan bagian kiri sofa kanan. Lebarnya bukaan paha hampir tidak sanggup membuka semua Labia Mayora-nya.
Setelah aku zoom, aku men-'save' bentuk selaput daranya, itu pun dengan meminta bantuanya untuk membuka Labia Mayora-nya agak lebar. Setelah itu kucoba mendekatinya, dan menghampiri lubang yang telah terbuka tadi. Kujilati ujung jarinya yang menahan Labia Mayora, dia merasakan rasa geli, akhirnya melepaskan Labia Mayora, hal yang sama kulakukan pada ujung jari satunya, hingga jarinya terlepas semua, nampak memeknya yang masih elastis, Labia Mayora segera menutup kembali lubangnya.
Itil masih sembunyi malu-malu menampakkan dirinya. Sengaja aku tidak segera ke tujuan, kujilati daging antara memek dan anus, prenerium (kalau tidak salah tulis). Berjalan menelusuri tanggul antara Labia Mayora dan lubang Memek. Dia mulai mendesah, Hhkhe. Kujilati klit-nya, rasa terkejutnya membuat kaki yang tertekuk di sandaran tangan menjadi tegak. Kucium klit-nya secara perlahan, kemudian diikuti dengan gerakan lidahku bermain di klit-nya, dia mendesah dan semakin kuat.
Setelah lama bermain dengan lidahku, aku melakukan hisapan ke klit-nya, kali ini dia tidak mendesah, tetapi agak terpekik, Akhhk. Kuulangi ciuman seperti di awal, kemudian jilatan lidah, dan terakhir hisapan di klit-nya. Hingga tampak meleleh cairan bening seperti getahnya lidah buaya, kuhirup cairan tadi. Saat kuhirup, kumisku yang seperti sikat kamar mandi karena kasar dan tumbuhnya tidak tentu arah, menyentuh klit-nya, dia secara tiba-tiba memegang kepalaku, menolak tekanan kepalaku untuk menghirup cairan lebih banyak lagi. Mungkin seperti tertusuk duri atau jarum, bila klit bertemu dengan kumis kasarku. Belum lagi jenggotku yang kasar menggelitik lubang anusnya, saat aku melakukan gerakan mengunyah Labia Mayoranya.
Akhirnya kulakukan gerakan cium-jilat-hisap pada Labia Mayora dan Minora, hingga dia berteriak kecil, karena tibanya puncak kenikmatan. Aku sendiri belum melakukan penetrasi, hanya me-masturbasi sendiri. Kemudian kuserahkan kemaluanku yang sudah keras padanya. Aku sengaja memberikan padanya, ingin tahu improvisasinya.
Setelah digenggam, dia mengurut dengan tangan kanan, sambil memandang kemaluanku. Mungkin dalam benaknya, apakah masuk barang sebesar ini. Lumayan juga cara dia memijat kemaluanku. Akhirnya dia mencoba mencium dengan hidungnya, bau apa tidak? Kemudian dia mengecup kepala kemaluanku, dan mencoba memasukkan ke dalam mulut. Pertama hanya bagian kepala, lama kelamaan masuk juga sebagian, semakin lama tidak hanya kecupan, hisapan dan keluar masuk saja, tetapi sudah dikombinasi dengan jilatan lidahnya pada ujung lubang kemaluan saat kemaluanku hanya masuk bagian kepalanya saja, dan akhirnya ejakulasi di dalam mulutnya. Ahh, nikmatnya.
Setelah bersih-bersih, aku memutuskan menerimanya sebagai penerima tamu plus, artinya kerja sebagai penerima tamu tetapi sewaktu-waktu siap menerima pekerjaan khusus seperti tadi tetapi khusus untuk diriku sendiri. Akhirnya aku juga yang memerawaninnya, setelah dia meminta, karena tidak tahan dengan gejolak yang timbul akibat perbuatanku padanya.
*** Perluasan Usaha ***
Nampak usahaku semakin lama semakin maju, mau ekspansi ke kiri dan ke kanan, tidak mungkin, ruko tetangga tersebut juga punya prospek yang bagus. Mau buka cabang, repot ngurusnya, kalau harus mondar-mandir. Aku memang hanya ingin punya satu tempat dan tidak ingin mempunyai cabang. Setelah konsultasi dengan yang ahli, diputuskan untuk menambah lantai menjadi 6 lantai, jadi aku mendapat tambahan 2 lantai. Untuk satu lantai luasnya 225 meter persegi, dengan tambahan 2 lantai berarti aku mendapat tambahan 450 meter persegi, sehingga total luas papitra menjadi 1.350 meter persegi, atau mendapat tambahan 40 kamar, sehingga total ada 100 kamar, dengan jumlah pemijat mencapai 150 orang. Jumlah yang fantastis bukan.
Pernah usahaku agak suram dengan tingkat pendapatan hanya 30%. Aku mencoba memasukkan iklan di koran, kok hasilnya tidak memuaskan. Akhirnya aku mencoba memasarkan ke sebuah forum khusus hidung belang, hasilnya lumayan untuk mendongrak tingkat 'hunian' kamar. Di samping itu aku juga mencoba membuat cerita-cerita mengenai kisah kasih di ruang papitra pada suatu milis dan website yang sama, hasilnya luar biasa. Tingkat hunian menjadi pada tingkat yang sangat menguntungkan.
Sebagai gambaran untuk tingkat hunian 50% saja, dengan jumlah kamar 100 dan jumlah pekerja 150 dengan rata-rata mendapat 3 tamu, serta tamu mengeluarkan biaya 100.000 rupiah untuk satu setengah jam (kunaikkan dari 75.000 rupiah menjadi 100.000 rupiah, penghasilan pemijat juga naik dari 10.000 rupiah menjadi 15.000 rupiah), maka pendapatan yang diraih sebesar 573.750.000 rupiah sudah dipotong biaya untuk pemijat. Bisnis yang menguntungkan bukan, mungkin lebih mirip dengan 'pohon uang' yang dipanen setiap hari.
*** Pengunduran diri ***
Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, Pak Wirokusumo mengundurkan diri dari kepemilikan dan meminta seluruh modal yang ada di papitra. Adalah mudah untuk membayarkan seluruh uang modalnya mengingat 'pohon uang'-ku panen setiap hari. Akan tetapi berkat modal awal yang dia berikan saat pertama dulu itu tidak dapat dihitung nilainya dengan uang, yakni kepercayaannya pada diriku.
Dia mengundurkan diri dengan alasan yang tidak kuketahui. Berbagai macam bujuk rayuku tidak mempan menghalanginya. Dengan berat hati terpaksa kami berpisah, setelah aku memberikan modal dan sedikit tambahan uang 'tali kasih'. Aku sendiri saat ini tidak tahu di mana keberadaannya, banyak orang mencarinya. Di dalam negeri atau di luar negeri, atau masih di dalam kota atau di luar kota, atau jangan-jangan telah mati.., hanya yang Kuasa yang tahu.
Beberapa rekan yang sakit hati padanya mengatakan kalau dia telah mati. (Biasanya umurnya akan semakin panjang bila orang di sumpahin mati - kata orang lho!) Aku kehilangan sahabatku. Semoga sukses selalu Pak Wirokusumo.
*** Hadiah ***
Belum lama Pak Wirokusumo mengundurkan diri dan menghilang, kali ini Pak Raymond pun ikut-ikutan, bedanya dia mengatakan alasannya padaku.
"Bud, aku malu pada diriku sendiri, dan sudah jenuh dengan hal seperti ini, aku berikan semua modalku padamu, aku sudah tua, semua itu tak akan aku bawa mati. Selain itu keluarga juga nggak tahu kalau aku bisnis seperti ini bersamamu," katanya.
Aku pikir apakah aku kurang memberikan bagi-hasil dari usaha ini. Padahal Pak Raymond lebih brengsek kelakuannya ketimbang Pak Wirokusumo, tetapi tidak tahu mengapa kok dia bisa mendapat 'petunjuk' melakukan hal seperti itu.
Semestinya aku merasa senang dengan hal ini, karena hanya diriku saja pemilik papitra ini, tetapi justru sebaliknya yang kurasakan, tidak ada rekan lagi tempatku berkeluh kesah dan berdiskusi mengenai usahaku ini. Aku kehilangan rekan lagi.
*** Pembubaran ***
Suatu siang menjelang sore hari aku mendapat laporan dari Dewi (masih ingat khan? Siapa dia?) kalau anakku yang sulung tadi cico (masih inget khan istilah ini, kalau tidak, baca lagi dari atas, dan jangan buru-buru!). Segera kubuka rekaman pada hari dan jam yang dimaksud, setelah kulihat, benar! Dia bersama Sari (bukan Sari yang ke Jepang, tetapi Sari yang lain). Bagai disambar petir aku melihat rekaman itu, segera kumatikan.
'Kacang ora ninggal lanjaran.'
'Like Father Like Son.'
'Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.'
Sudah lama sebetulnya aku mencium hal ini, dan banyak keluarga yang mencemooh usahaku, tetapi aku tidak mendengarnya. Bahkan salah satunya mengatakan, "Kalau nanti keturunanmu sendiri yang menggunakan usaha ini kamu baru tahu. Satu sisi kamu melarangnya tetapi di sisi lain kamu sendiri makan dari usahamu."
Semakin pusing aku memikirkan, akhirnya aku memutuskan untuk menutup tempat ini, detik ini juga.
"Dew, tolong pasang papan 'tutup' di pintu depan!" kataku.
"Kenapa Pak?" tanyanya.
"Kalau ada tamu yang menunggu di ruang tunggu tolong diberitahu kalau tempat ini akan ditutup, sementara yang sudah masuk tunggu sampai keluar."
"Iya Pak." jawabnya.
Kemudian setelah tamu sudah keluar semua, kukumpulkan semua karyawan, dan memberi tahu bahwa tempat ini akan kututup. Semua uang hasil pendapatan hari ini dibagikan secara merata, kuanggap sebagai pesangon, jumlahnya hampir mendekati satu milyar! Begitu juga dengan aset yang ada di gedung ini, kuminta untuk dibagi secara merata kecuali ruang kerjaku, dan jangan berebutan. Selanjutnya aku pergi meninggalkan papitra.
Keesokan harinya aku datang lagi ke papitra, tampak ruang-ruang sudah kosong, hampir semua barang sudah tidak ada, mulai dari AC indoor hingga outdoor sampai lampu dinding saja hilang. Aku mengambil semua kaset hasil rekaman untuk kubakar, begitu juga CD hasil backup kupatah-patahkan. Aku mendengar bahwa banyak karyawanku yang kaget, bagaimana tidak, ada yang baru mulai mencicil rumah BTN. Ada yang baru menikah, apalagi dengan kondisi perekonomian seperti ini, yah aku berharap pesangon yang lumayan tadi dapat membawa mereka bertahan.
Bahkan ada yang dengan kesal mengatakan bahwa, "Sudah bau tanah baru insaf, kemarin kemana aja!"
Beberapa minggu kemudian ada yang menawar papitra-ku. Kupikir sejenak untuk menjualnya, kuputuskan untuk tidak menjual. Aku baru ingat kalau masih ada uang di rekening atas nama, segera kuambil semua, dan membawa surat kempemilikan ruko menuju ke perusahaan yang mengelola kawasan ruko tadi. Kuberikan uang dan surat tadi secara hibah dan meminta untuk tidak diperjual belikan, dan memintanya untuk membuatkan tempat ibadah, karena belum lama ini tempat ibadah yang terdekat dari situ digusur untuk pembangunan apartemen tingkat international dan lapangan golf mini.
Oh, Jakarta, kuburan untuk orang mati saja digusur untuk pembangunan Mall. Apalagi sarana ibadah untuk orang yang masih hidup. Aku pernah memperhatikan ratusan orang di kawasan ruko itu kesulitan bila melakukan ibadahnya di hari Jum'at, hingga masing-masing melakukannya di selembar koran di tengah jalan raya yang ditutup dua jalur, yang kadang tertiup angin sebelum mereka sujud, yang terkadang basah oleh hujan, guna menunaikan kewajiban.
Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Ya Tuhan aku tidak pantas masuk ke surgamu, tetapi aku tidak kuat menahan siksamu di neraka.
TAMAT