Cerita Dewasa:
Kenari 01
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, tempat dan peristiwa hanyalah suatu kebetulan saja yang bukan saya sengaja.
Senja kali ini terasa sejuk sekali bagiku. Dari atas villa-ku yang menghadap ke arah matahari terbenam, tampak cahayanya mulai terasa redup dengan diikuti oleh turunnya kabut. Aku duduk di teras depan kamarku yang berada di lantai dua, sambil menikmati rokok kegemaranku, dapat memandang di kejauhan matahari lambat laun mulai turun ke peraduannya. Sementara itu, jika aku menoleh ke belakang, melihat ke dalam kamar, aku masih dapat melihat sesosok tubuh molek tanpa busana tergolek di atas kasur empukku yang tebal.
Rani, entah dia gadis yang ke berapa yang kutiduri. Dia tampak kelelahan sekali setelah 'pertempuran' panjang yang kami lakukan semenjak siang saat kami baru datang di villa-ku ini. Betapa tidak lelah, tidak terhitung olehku berapa puluh kali dia mengalami orgasme dengan berbagai macam gaya yang kami lakukan, dengan tempat yang berbeda-beda. Mulai dari di atas kasur, di atas karpet, di atas meja, di dalam kamar mandi sampai di atas kursi yang kududuki sekarang.
Dia sangat lihai sekali dalam berhubungan seks, walaupun umurnya masih 21 tahun, tapi dia sangat mahir dalam permainannya. Tubuhku pun nyaris tidak ada satu mili pun yang terlewatkan oleh ciumannya, jilatannya maupun kecupannya. Apalagi kontol kebanggaanku yang berukuran 21 cm dengan diameter 6 cm menjadi eksplorasi keerotisannya dengan kuluman, jilatan dan berbagai macam pijatan jarinya serta jepitan memeknya yang kenyal dan lembut yang membuat orgasmeku kali ini berbeda dengan orgasmeku yang lain ketika aku menyetubuhi gadis-gadis 'korban'-ku.
Pikiranku saat ini menerawang jauh, sejauh matahari yang sudah nampak menguning di balik gunung di depanku. Ingatanku kembali membuka lembar-lembar perjalanan hidupku, sehingga aku terdampar dalam kehidupan seperti saat ini.
Dimulai pada saat aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA, 13 tahun silam. Saat itu umurku masih 17 tahun. Aku adalah anak tunggal. Itong namaku. Ayah dan Ibuku bekerja sebagai wirausaha yang membuka sebuah rumah makan tidak jauh dari rumah kami. Tapi mereka baru saja kembali ke pangkuan-Nya dalam kebakaran yang terjadi di rumah makan kami. Kompor gas yang dipakai oleh ayahku untuk memasak meledak mengenai ayah dan ibu yang berada di dekatnya serta menghanguskan rumah makan kami.
Aku pun tidak dapat menahan diriku ketika para pelayat datang ke rumahku untuk turut mengucapkan ucapan bela sungkawa mereka atas musibah yang menimpa diriku. Teman dan sahabatku tidak henti-hentinya menghibur diriku. Saudara-saudaraku yang berasal dari luar daerah juga berdatangan (karena keluarga kami merupakan keluarga perantauan). Kesedihanku ini pula yang menyebabkan NEM hasil EBTANASKU pas-pasan saja. Dan semangat yang belum 100% pulih membuatku tidak lolos dalam seleksi UMPTN yang kuikuti.
Uang asuransi yang kuterima yang jumlahnya cukup besar kudepositokan saja di bank dan aku hidup setiap bulannya dari bunga deposito itu, karena aku masih belum dapat berpikir dan melakukan sesuatu untuk melanjutkan hidup ini.
Empat tahun berlalu sejak peristiwa tragis itu, aku sudah dapat berdiri sendiri di atas kakiku. Aku sudah mempunyai usaha sendiri, yaitu usaha foto copy. Lumayanlah untuk bujangan seperti aku ini. Sebagian uang depositoku dulu kubelikan dua buah alat foto copy dan membeli barang-barang stationary untuk kujual kembali. Memang rumah dan mobil minivan peninggalan orangtuaku tetap tidak kujual sebagai barang peninggalan orangtuaku yang sangat kuhargai.
Sore itu ketika hujan rintik-rintik, ada seorang gadis cantik masuk ke dalam tokoku.
"Hai Nari..! Apa kabarnya..?" teriakku.
"Hai Tong, rupanya kamu ya..?" balasnya.
"Iya, aku yang punya toko ini."
"Wah, hebat dong..!"
Kenari, itulah nama gadis itu (mirip dengan nama burung, karena dia memang suka menyanyi), tapi teman-teman memanggilnya Nari. Nama yang tidak asing bagiku, karena dia adalah bekas teman semasa SMA-ku dulu. Apalagi dia adalah gadis yang paling cantik (menurutku) di kelasku. Dia cantik, pintar, lincah dan anak orang kaya lagi (walaupun ada sedikit kesan dia agak sombong sedikit sih..!). Itulah yang membuatku dulu harus berpikir panjang kalau mau naksir dia. Tapi menurut teman-teman, dia ada hati lho sama aku waktu itu.
Memang aku ini orangnya tidak terlalu cakep, tapi juga tidak jelek-jelek amat sih (he.. he.. he.. kapan lagi memuji diri sendiri). Tinggiku 165 cm dan kulitku putih bersih. Tapi sekali lagi aku tetap takut untuk dekat dengannya, hingga kami harus berpisah setelah lulusan SMA. Dia kuliah di universitas negeri di luar kota kami.
Sore itu dia datang untuk foto copy ijazah sarjananya. Dia telah lulus dari kuliah dan akan bekerja pada perusahaan kolega ayahnya. Pertemuan sore itu berlanjut dengan saling tukar nomor telepon. Dan sejak saat itu aku sering menghubunginya. Aku sendiri tidak mengerti mengapa sejak pertemuan itu ada perasaan kangen pada diriku jika sehari saja aku tidak telepon Nari. Rupanya perasaan percaya diriku sudah timbul, mungkin karena sekarang aku sudah dapat menghasilkan uang sendiri dari keringatku.
Dari telepon-teleponan terus berlanjut ke jalan bareng, entah itu hanya jalan-jalan saja di pertokoan atau nonton film. Dari pembicaraan yang sering kami lakukan akhirnya aku mengetahui bahwa dia baru saja putus dari pacarnya.
Pacarnya yang berada di luar kota berselingkuh dengan wanita lain. Kesempatan ini kupergunakan untuk mulai mendekatinya. Bermula dari hanya sekedar memberi perhatian dengan menelepon ke kantor untuk menanyakan apa sudah makan siang apa belum. Menghiburnya kalau lagi suntuk di kantor atau memberikan bunga mawar kesukaannya pada saat-saat tertentu. Dan akhirnya dengan bermodalkan tekad (dan nekad) yang bulat (atau dibulat-bulatkan) aku 'melamar'-nya untuk menjadi pacarku, walaupun rasanya ada bola tennis di tenggorokanku, akhirnya keluar juga kata-kata itu.
Tidak disangka, ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan. Sejak saat itu aku pun resmi jadi pacarnya. Pagi, sore sampai malam kami selalu berdua, walaupun akhirnya aku harus mengalami kenyataan pahit bahwa hubungan kami tidak disetujui oleh kedua orangtuanya karena mereka menginginkan anak gadis satu-satunya itu mendapatkan orang yang berkepribadian baik (rumah pribadi, rekening pribadi, mobil pribadi dan hal-hal lain yang bersifat materiil).
Akhirnya kami pun melakukan strategi 'perang gerilya'. Dengan berbagai alasan yang disampaikan Nari pada orangtuanya, akhirnya kami dapat juga keluar bersama. Kadang aku harus menunggu di pinggir jalan atau sebaliknya dia yang menungguku di suatu tempat yang telah kami janjikan.
Hubungan kami pun sedikit demi sedikit mulai semakin lengket. Mulai dengan hanya saling bergandengan tangan, membelai-belai rambutnya, berlanjut dengan cium pipi sampai akhirnya mencium bibirnya yang indah dan seksi, apalagi yang terakhir aku dapat meraba dan meremas lembut susunya yang mungil, walaupun masih dari luar kaos yang dipakainya.
Bagi aku yang baru pertama kali merasakan semua ini, rasanya melayang-layang kalau aku melakukannya. Bulu kudukku berdiri (apalagi 'makhluk berbulu' di bawah ini). Rupanya dia lumayan lihai dalam melakukan semua itu, mungkin karena dia sudah punya pacar sebelumnya dan sudah biasa melakukannya dengan pacarnya itu. Tapi aku tidak ambil pusing, yang penting sekarang dia adalah milikku.
Memang dalam hal seks, aku termasuk orang yang tertutup. Aku hanya belajar secara otodidak melalui buku, majalah, tabloid bahkan video, baik itu yang semi sampai yang triple X. Tapi terus terang aku lebih suka yang semi, karena menurutku itu ada seninya dan tidak main bak-buk saja seperti di XX.
Malam minggu itu sepulang dari nonton film bioskop dan makan soto kegemaran kami, aku mengantarnya pulang. Kemana-mana dia pergi dengan membawa Toyota Starlet merah pemberian orangtuanya. Tapi mobil cantik itu hanya diparkir saja di garasiku untuk bertukar dengan mobil tua Suzuki Carry tahun 1985 kepunyaanku, untuk kamuflase katanya. Dia ijin ke orangtuanya untuk ke pesta ulang tahun teman kerjanya, atau alasan-alasan lain yang selalu saja dapat membuat orangtuanya percaya padanya. Jadi malam itu aku meluncur ke rumahku dari warung soto dengan Nari yang sudah mulai mengantuk di sebelahku.
Kasihan juga aku melihatnya agak kelelahan setelah seminggu bekerja, kemudian nonton film sampai larut malam bersamaku.
"Nar, duduk aja sambil bersandar di pintu, trus kakimu selonjorkan ke pangkuanku biar aku pijit kakimu, kamu capek kan..?"
Dia tidak menjawab, tapi apa yang kusarankan dilakukannya. Baru pertama kali ini aku memangku kakinya yang putih mulus dan bersih itu.
Malam ini dia memakai t-shirt dan rompi dipadu dengan rok yang agak mini. Dia duduk selonjor sambil bersandar di pintu mobil yang sebelumnya dialasi bantal yang selalu kubawa kalau pergi bersamanya. Sambil menyetir mobil dengan perlahan aku mulai memijat kakinya, dimulai dari telapak kakinya.
"Enak pijitanmu Tong, jangan langsung pulang ya..? Aku masih pingin jalan-jalan lagi sambil kamu pijitin seperti ini." begitu katanya tapi sambil terpejam matanya.
Hampir 30 menit aku memijat kakinya. Dari telapak kaki terus ke betis sampai akhirnya ke pahanya. Napasku semakin memburu, tapi aku harus membagi konsentrasiku dengan tetap memegang stirku agar mobilku tidak nabrak. Ingin rasanya tanganku semakin naik menuju pangkal pahanya, tapi hati ini takut.
Namun saat tanganku akan kembali lagi turun memijat betisnya, dia berkata, "Terus Tong, naik aja."
Mendapat lampu hijau, tanganku pun bergerak naik, ditunjang dengan reaksinya yang membuka pahanya dan agak menurunkan pantatnya untuk lebih dekat denganku, sehingga tanganku tidak perlu berusaha keras untuk dapat sampai pada pagkal pahanya. Karena ini pengalaman pertamaku, rasanya panas dingin badanku.
Jariku sedikit menyenggol celana dalamnya, yang kalau tidak salah warnanya putih kalau kulirik ke arah pangkal pahanya yang sedikit terbuka. Tangan Nari rupanya tidak ikut diam, dia menggapai tanganku yang sekarang 'on duty' untuk tambah lebih ke dalam dan semakin mempercepat gesekannya di celana dalamnya yang sudah terasa basah oleh ujung jariku. Karena sudah terciprat air, akhirnya sekalian kubasahi saja, karena sudah terlanjut seperti ini, akhirnya sekalian saja kuturuti kemauannya.
Kubelai lembut memeknya dari luar celana dalamnya, terasa hangat dan basah. Aku dapat merasakan gundukan daging yang kenyal dengan rambut-rambut lembut yang tumbuh di sekitarnya.
"Ough, terus Tong..! Enak..!" begitulah rintihan Nari.
Pikiranku pun melayang pada buku-buku seks yang kubaca sebelumnya bahwa wanita dapat mencapai orgasme ketika dia diberi rangsangan yang hebat pada daerah itilnya.
Itil adalah daging kecil yang tumbuh pada bagian dalam atas memek. Walaupun masih menggunakan celana dalam, ujung jariku berusaha mencari-cari daging itu, yang menurut buku lagi kalau wanita sudah terangsang daging itu akan semakin membesar dan mengeras.
Akhirnya usahaku membuahkan hasil, jariku menyentuh daging itu. Aku semakin yakin kalau yang kusentuh adalah itil, karena saat tersentuh Nari semakin memperkeras lolongannya dan napasnya semakin memburu. Tanganku pun semakin agresif untuk menggeseknya, Nari pun semakin terengah-engah dan semakin kacau pula kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"Terus Tong..! Terus.., teruuss..! Aduh enak.., terus..! Aduh rasanya semakin enaak..! Aduuh.., aauugghh..!" dia melolong panjang sekali diikuti dengan dilengkungkannya badan Nari dan semakin basahnya memek yang kumainkan.
Ternyata dia telah mencapai orgasmenya, sungguh indah tubuhnya saat orgasme dan sungguh merdu suara lolongannya.
Aku menghentikan aktifitasku. Kulihat dia masih terpejam, mungkin masih menikmati sisa-sisa orgasme yang baru saja datang kepadanya. Cantik sekali wajahnya. Akhirnya kuputar kembali mobilku menuju ke arah rumahku, dan baru kusadari kalau tangan kiriku terasa capek sekali setelah melakukan tugas yang menyenangkan. Dan aku juga baru sadar bahwa kontolku yang menegang keras selama peristiwa itu juga telah meneteskan air mani, ini dapat kurasakan seperti ada yang lengket-lengket di ujung kepala kontolku.
Sampai dengan keluar dari garasiku untuk mengeluarkan mobilnya, Nari masih terdiam, aku pun juga. Tapi sebelum dia tancap gas mobilnya, dia berkata sambil matanya menatap ke mataku.
"Terima kasih ya Tong." katanya diikuti dengan kecupan bibirnya di bibirku.
Aku hanya diam terpaku mengalami semua ini. Peristiwa yang baru pertama kualami seumur hidupku.
Sepulangnya Nari, aku pun terus lari ke dalam kamar mandi dan melakukan onani seperti yang biasa kulakukan setelah membaca buku seks atau menonton film-film semi dan BF kegemaranku.
Bersambung ke bagian 02