Cerita Dewasa:
Kakak Kekasihku 01
Namaku Rudi tinggal di Bandung. Aku baru saja menyelesaikan kuliah di salah satu universitas di Bandung. Saat ini aku mempunyai seorang pacar bernama Maya. Maya tinggal bersama orang tuanya dan seorang kakak wanita yang bernama Mbak Sylvia. Maya berusia 23 tahun sedangkan Mbak Sylvia berusia sekitar 25 tahun, atau lebih tua 4 bulan dariku. Ada peristiwa yang terjadi tanggal 20 November 2000 yang lalu, dan hal ini akan kuceritakan kepada pembaca www.pemersatu.fun. Dalam tulisan ini aku hanya akan menggambarkan tentang Mbak Sylvia karena memang dengan dialah peristiwa ini kualami.
Sama seperti aku, Mbak Sylvia pun baru saja menyelesaikan kuliahnya, kemudian bekerja di sebuah perusahaan swasta. Mbak Sylvia mempunyai seorang tunangan dan bekerja di sebuah BUMN di Surabaya. Mbak Sylvia itu orangnya cantik dan mudah bergaul sehingga enak diajak bicara. Mbak Sylvia memiliki tinggi sekitar 160 cm atau kira-kira 5 cm lebih pendek dariku. Kelebihan yang dimiliki oleh Mbak Sylvia dibandingkan wanita lain umumnya adalah kulit tubuhnya yang sangat putih dan juga sangat mulus dengan rambut lebat tergerai sebahu. Selain itu toket dan pantatnya juga sangat indah menantang terutama jika kebetulan sedang mengenakan celana pendek dan kaos singlet yang ketat. Aku sering mencuri pandang jika Mbak Sylvia sedang mengenakan pakaian seksi tersebut. Sering aku membayangkan, betapa nikmat rasanya jika aku bisa menjamah tubuh mulusnya, tapi khayalan itu tidak pernah terwujud.
Suatu hari, saat itu hari minggu kira-kira jam 9 pagi, aku datang ke rumah pacarku dengan maksud hendak mengajaknya pergi untuk makan siang terakhir sebelum besoknya mau bersiap-siap untuk menghadapi puasa. Rencananya sih mau ngasih kejutan, tapi ternyata rencana tersebut gagal. Saat pertama datang, aku memang tidak melihat ada mobil yang biasa parkir di garasinya. Dan ternyata benar saja setelah di bell berkali-kali ternyata tidak ada seorangpun yang membukakan pintu rumahnya, bahkan tidak juga pembantunya. Setelah mencoba beberapa kali, karena tidak ada yang membukakan pintu juga aku memutuskan untuk kembali pulang, tapi saat akan masuk ke mobil tiba-tiba keluar Mbak Sylvia membukakan pintu, matanya kelihatan masih mengantuk, pasti baru bangun gara-gara terganggu suara bell.
"Lho, Rudi mau ketemu Maya ya.. ayo masuk dulu," kata Mbak Sylvia.
"Iya Mbak, tapi kok kayaknya lagi nggak ada di rumah ya," sahutku sambil masuk ke rumah dan duduk di kursi ruang tamu. Sementara Mbak Sylvia menutup pintu. Saat itu Mbak Sylvia hanya mengenakan daster tipis yang pendek, sehingga bayangan celana dalamnya dengan jelas terpampang. Aku sempat bengong dibuatnya.
"Iya kan sekarang semuanya pada pergi ke Sumedang, ya biasa nyekar kan besok puasa," Mbak Sylvia menjelaskan.
"Emangnya nggak janjian dulu?" sambungnya.
"Nggak Mbak, tadinya sih mau ngasih kejutan, tapi gagal," kataku sambil tersenyum.
"Tapi kok Mbak Sylvia nggak ikut, sendirian dong di rumah?" tanyaku sambil memandang wajahnya, cantik sekali dia padahal baru bangun tidur.
"Iya soalnya Mbak baru tidur jam 3 pagi, abis chating, jadinya nggak ikut, soalnya ngantuk," katanya sambil tersenyum.
"Ya udah telpon aja dulu ke HP-nya Maya, kali aja lagi di jalan mau pulang, soalnya tadi perginya dari jam 6. Udah ya ditinggal dulu Mbak mau makan dulu, lapar nih. Eh, mau ikut makan nggak?" ajak Mbak Sylvia.
"Nggak Mbak, tadi udah." jawabku sambil beranjak hendak menelepon pacarku, sementara Mbak Sylvia pergi ke dapur untuk makan.
Setelah tersambung ke HP pacarku, terdengar suara Maya.
"Hallo?"
"Hallo Maya.. ini Rudi," jawabku.
"Lho kok ada di rumah Maya? Ada apa?" serunya kaget.
"Iya.. tadinya sih mau ngajak Maya jalan tapi taunya nggak ada.." sahutku.
"Kenapa nggak ngomong dari kemarin? Tau mau ke rumah, Maya kan nggak akan ikut pergi," suara Maya terdengar agak menyesal.
"Ya udah pokoknya sekarang tungguin sampe Maya pulang! Awas kalo Maya pulang udah nggak ada! Soalnya sekarang udah mau nyampe ke Sumedang kok, mestinya sih nyampenya dari tadi, tapi jalannya maceet banget, jadi nyampenya telat padahal mestinya kan 1 jam juga udah nyampe," kata Maya dengan nada yang manja.
"Iya.. Tapi cepet ya.." kataku.
"Iya.. nanti si Papa disuruh ngebut nyetirnya," kata Maya sambil ketawa.
"Eh, tadi dibukain Mbak Sylvia ya..? udah bangun emang?" tanya Maya.
"Iya.. Sekarang lagi makan tuh," jawabku.
"Ya udah dulu aja ya.. mahal tuh pulsa," katanya, "Tapi tungguin ya.. biar nggak kesel nonton film aja.. ada VCD Charlie Angel's tuh baru pinjem kemaren.." tambah Maya.
"Iya.. iya.." jawabku sambil menutup telepon.
Setelah itu aku duduk di sofa depan TV, kemudian menyalakan VCD dan menontonnya. Di rumah pacarku itu aku sudah seperti di rumah sendiri, ini dikarenakan aku sudah hampir 3 tahun berpacaran dengan Maya, jadinya aku sudah sangat akrab dengan keluarga Maya. Bahkan rencananya bulan maret ini kami mau tunangan.
Setelah beberapa saat menonton film, Mbak Sylvia keluar dari ruang makan.
"Gimana, udah nelponnya?" tanya Mbak Sylvia.
"Udah Mbak, terus disuruh nunggu nih," jawabku.
"Oh.. ya udah.. tunggu aja.. kalo mau minum atau makan ambil aja sendiri ya.. Mbak mau mandi dulu nih," kata Mbak Sylvia.
"Iya Mbak, makasih.." sahutku sambil menoleh ke arah Mbak Sylvia yang berjalan melintasiku hendak mandi. Pandanganku kembali terpaku menatap bayangan tubuhnya, pantatnya terlihat begitu ranum di balik daster tipisnya, sampai Mbak Sylvia menghilang di balik pintu kamarnya. Aku kemudian kembali menonton, sementara itu dari arah kamar Mbak Sylvia terdengar suara air mengalir, karena letak kamar mandinya memang ada di dalam kamar tidur Mbak Sylvia.
Setelah kira-kira 5 menit tiba-tiba terdengar telepon berbunyi, aku segera mengangkat telepon.
"Hallo," kataku.
"Iya.. bisa bicara dengan Sylvia?" terdengar seorang pria berkata.
"Oh, Sylvia-nya lagi mandi tuh.. nanti aja telpon lagi," jawabku.
"Aduh.. gimana ya.. Saya ada keperluan penting nih.. tolong kalo bisa dipanggil aja.. mungkin mandinya bisa ditunda dulu.. bilang aja ada telpon dari Apin, tolong ya.." katanya, dari nada bicaranya keliatan orang tersebut agak panik.
"Oh iya.. kalo gitu saya coba panggilin," kataku sambil meletakkan gagang telepon.
Setelah itu aku beranjak menuju kamar Mbak Sylvia. Kudorong pintu kamar tidurnya yang memang agak terbuka, setelah di dalam aku memanggilnya beberapa kali. "Mbak.. Mbak Sylvia.. ada telpon.." kataku. Namun tidak ada jawaban, mungkin karena saat itu di kamar mandi airnya sedang mengalir sehingga Mbak Sylvia tidak bisa mendengarku. Setelah mencoba berkali-kali aku kemudian mencoba mengetuk pintu kamar mandinya. Namun saat kuketok alangkah terkejutnya aku karena ternyata pintunya terbuka sendiri, mungkin karena Mbak Sylvia tidak menutupnya dengan benar, sehingga dengan sedikit sentuhan saja pintunya jadi terbuka. Begitu pintunya terbuka terlihat Mbak Sylvia sedang membasuh tubuhnya yang putih mulus di bawah shower dengan posisi tepat menghadapku, sehingga dengan jelas terlihat sepasang toket dan kemaluannya yang tertutup bulu lebat. Mbak Sylvia terlihat kaget, dia segera menutup toket dengan kedua tangannya, sedangkan kaki kanannya agak disilangkan dengan maksud untuk menutupi kemaluannya, namun akibatnya kini terlihat bagian pantatnya yang padat dan seksi. Saat itu aku sangat kaget, senang sekaligus takut, takut Mbak Sylvia menyangka aku sengaja berbuat kurang ajar kepadanya.
"Eh.. ma.. maaf Mbak.. itu.. ee.. ada telpon dari Apin, katanya penting sekali.." kataku terbata-bata sementara tubuhku seperti mematung tanpa bisa kugerakkan dengan mataku tetap manatap tubuhnya tanpa bisa kukendalikan. "Oh.. iya.. bilang tunggu sebentar," katanya sambil tetap menutupi toket dan kemaluannya, sementara itu air dari shower terus mengguyur tubuh Mbak Sylvia, sehingga memantulkan segala keindahan yang dimiliki tubuh mulusnya.
Aku segera beranjak pergi dan kembali duduk di sofa dengan degup jantung yang sangat cepat. Aku memang sering membayangkan tubuh indah kakak pacarku ini jika sedang melamun, namun ternyata lamunanku salah, karena kenyataannya tubuh Mbak Sylvia jauh lebih indah dari lamunanku selama ini.
Sesaat kemudian terdengar langkah Mbak Sylvia keluar dari kamarnya dan berjalan melintasiku. Mbak Sylvia menutupi tubuhnya dengan selembar handuk, sehingga bagian pahanya dengan jelas terlihat begitu indah. Kemudian dia mengangkat telepon dan berbicara dengan orang yang mengaku bernama Apin itu. Dari pembicaraannya aku berkesimpulan Apin itu teman sekantor Mbak Sylvia dan menanyakan tentang file di komputer kantornya yang berisi catatan keuangan, karena kantor tempat mereka bekerja sedang diaudit menjelang akhir tahun. Mereka bicara selama kurang lebih 5 menit, sementara itu aku terus memandangi tubuh Mbak Sylvia yang membelakangiku. Aku memandangi paha mulusnya yang tertutup sekedarnya, jika saja Mbak Sylvia agak membungkuk pasti pantatnya akan terlihat cukup jelas. Aku terus menikmati pemandangan indah itu, rangsangannya begitu kuat sehingga kemaluanku terasa menegang. Jika saja tidak kutahan, ingin rasanya aku memeluk dan menciumi setiap jengkal tubuh mulus Mbak Sylvia. Namun ada juga rasa khawatir jika saja Mbak Sylvia memarahiku setelah kejadian tadi. Tapi kekhawatiranku ternyata tidak terjadi, karena setelah selesai bicara di telepon, Mbak Sylvia sambil tersenyum kecil kemudian berkata, "Kenapa Rud? kok bengong?"
"Nggak Mbak.. ee.. maaf tadi Mbak.. tadi nggak sengaja," kataku pelan.
"Iya.. udah.. nggak apa-apa.." sahut Mbak Sylvia sambil berlalu kembali ke kamarnya.
Setelah itu terdengar kembali suara shower mengalir tanda Mbak Sylvia meneruskan mandinya yang sempat tertunda. Sementara itu aku tertegun di sofa, seolah tidak percaya akan semua kejadian yang baru saja kualami. Dan sungguh, setelah melihat reaksi Mbak Sylvia yang kelihatannya tidak marah, nafsu birahiku pun memuncak. Saat itu dalam pikiranku hanya satu, aku harus bisa menikmati tubuh Mbak Sylvia, tidak terpikir sama sekali pacarku Maya yang selama ini sangat kucintai, saat itu aku seoleh terbius oleh kemolekan tubuh Mbak Sylvia. Telingaku terus mendengarkan setiap bunyi yang terdengar dari kamar mandi Mbak Sylvia sambil mambayangkan kira-kira apa yang sedang dilakukan Mbak Sylvia saat itu. Sementara mataku sekali-sekali menatap pintu kamar Mbak Sylvia yang terbuka sedikit seolah melambai mengajakku untuk masuk.
Bersambung ke bagian 02