Cerita Dewasa:
Rebirth 01
Sinopsis: Lari bukan selalu berarti kalah. Menjauhkan diri dari problem yang menghimpit dada, ke sebuah telaga sejuk yang jauh dari hingar bingar kota, seringkali berbuah lebih dari yang kita butuhkan. Di situ Ray ditemani Fitri, gadis yang semula hanya sebagai perempuan bayaran, tapi nyatanya mampu menjadi peri yang kata-katanya ditaburi petuah-petuah bijak. Seperti pesan Fitri di akhir cerita, "Ingat. Terkadang hidup ini terasa berat. Tapi kalau kamu nyantai saja, semua akan berakhir seperti angin yang berlalu."
13 Juli 2001,
all my troubles seem so far away..
one done, other waits..
"Hai, Sayang," gadis itu memelukku mesra.
"Hai, welcome back," dan (muah.. muah..) sebuah kecupan mendarat di keningnya.
"Missed you, Ray," bisiknya mesra, tanpa perdulikan sekeliling.
"Ssshh..," kuangkat koper ungu tuanya dan bergegas meninggalkan lokasi kedatangan, sebelum lebih banyak mata memandangi kami.
"Bagaimana kabar di U-P..?" tanyaku di perjalanan.
Moogie tersenyum dan mengeluarkan sebuah kantung kain yang berbentuk persegi.
"Semuanya dalam empat mini-cassette dan dua belas foto telanjang."
"Telanjang?"
Moogie tertawa dan menggelendot manja di bahuku.
"Kamu lagi hot, ya?" bisiknya sambil tersenyum dan menggigit lembut dadaku.
"Kamu ngga sebaiknya pulang dulu?"
"Nanti saja, masih jam delapan."
Sambil terkekeh kubelokkan mobilku menuju rumah.
Setengah jam setelah sampai di rumah, "Shit," umpatku membasuh peluh yang membasahi keningku.
"Ada apa, Ray?" Moogie mengangkat tubuhnya dan menatapku dalam.
"I.. just.. can't.."
"Ha? Yang jelas dong?"
"Kita ngga bisa begini terus."
Moogie menarik wajahnya ke belakang, "Maksud kamu apa?"
"Aku ngga tega ngerusak kamu."
"Ngerusak?"
Aku tahu gadis itu pasti membelalakkan matanya. Mau gimana lagi, Non?
"Yap. I'm sorry."
"Aku ngga ngerti, Ray."
"Aku mau sudahan.."
"Apa?"
Plak-plak-plak, dan boohoo-hiks-hiks..
"Kamu jahat, Ray. Kamu jahat."
Kutatap gadis telanjang yang masih tersedu-sedu itu.
"Aku sayang kamu."
"Tapi kan bukan begitu caranya. Kalau kamu sayang.."
"Aku nafsuan."
"Ya kan bisa dicari pemecahannya."
"Aku ngga bisa.."
"Ray.. kamu.. aku.. kita kan sudah.."
"Ssshh," kudekatkan tubuhku dan memeluknya, tapi gadis itu sebaliknya menghindar sambil tetap meringkuk di sudut tempat tidur.
"Makanya itu, Moogie. Sebelum semuanya 'kebablasan'."
"Kebablasan..?" gadis itu membuka kedua tangan yang menutupi wajahnya dan melayangkan lagi sebuah tamparan ke pipiku. Kali ini lumayan keras.
"Ya kan? Perasaan.. kita belum deh..," ucapku polos.
Yang kulakukan toh hanya menusuk-nusuk lembut di tengah kegelapan kamar. Gelap? Iya dong. Aku punya 'trend' dalam hal begituan.
"Tapi, Ray.."
"Belum kan?" tegasku seraya menatap matanya.
"Aku sayang kamu, Ray," isaknya lalu menjatuhkan kepalanya di dadaku.
"Aku juga. Tapi sayang aku masih belum sembuh, oleh karena itu aku tak ingin merusak kamu, apalagi menyakiti kamu," desahku di telinganya.
"Kita ngga usah ngelakuin lagi. Kan bisa?"
"Ngga. Bukan di kamunya, di akunya."
Lalu mulutku mulai bercerita ngawur, bagaimana aku dilahirkan sebagai seorang pemuda dengan nafsu membara. Yang selama ini selalu berjuang memerangi nafsu dan segala kebejatan itu. Berkeliaran dengan derita di jiwa karena selalu 'harus terpaksa' meninggalkan gadis-gadis yang ia kasihi. Sesuatu yang sama sekali 'tidak' ia inginkan. Dan semuanya hanya 'demi' kebaikan gadis-gadis itu.
"Aku bisa menolongmu, Ray," desis Moogie setelah 'the end'.
"Tentu saja, dengan menjadi sahabat terbaikku."
"Lebih dari itu?"
"Saudara laki-laki kamu. Yang penting selalu di dekatku."
Jadi istilah kasarnya 'stock-ing'. Kapan saja, di mana saja.
"Lebih?"
"Lebih lagi aku akan merenggut milikmu. Kamu siap?"
Milikmu. Ah?
Moogie tertawa dan menyusupkan kepalanya lebih dalam.
"Moogie," desahku seraya membelai rambutnya.
"Hmm?"
"Jangan begini ah, nanti aku terangsang lagi."
Gadis itu tertawa lalu mengangkat tubuhnya. Air mata masih mengalir di pipinya.
"Wooaayy!! Apaan nih!!?" seruku saat Moogie mencium bibirku bertubi-tubi dan menjatuhkan tubuhku ke atas tempat tidur.
"Kamu baik, Ray. Mungkin itu yang bikin aku tergila-gila padamu."
Tadi jahat, sekarang baik. Besok? Jahanam, mungkin. Atau malaikat?
"Dan semua juga," tawaku menimpali.
"Ngga perduli, selama aku masih hidup," desisnya lalu mengecup pundakku. Saat itulah pertama kali aku merasakan sesuatu yang salah di hidupku.
Akhirnya kuputuskan juga hari Minggu, 15 Juli 2001, untuk melarikan diri. Melarikan diri? Memang terkadang seseorang perlu untuk lari. Lari bukan selalu berarti kalah. Dan itu bukan pembelaan diri. Itu kenyataan yang terjadi sesekali.
Setelah menelepon Pak Herman di rumahnya untuk meminta cuti tiga hari, segera kupak semua baju santaiku dan keluar dari kota Surabaya yang mulai meneraka. Kuarahkan mobilku menuju selatan. Ygy. Pulang ke kota-'nya'.
Mdn, pukul 11.30 siang.
"Berapa, Mas?" tanya petugas pompa bensin berkulit gelap itu padaku.
"Mas?" tanyanya sekali lagi dengan nada lebih keras, mengejutkanku.
"Ah, tiga puluh ribu saja," ucapku terbetot dari lamunan.
Kulihat lelaki tiga puluhan itu tersenyum-senyum seraya menekan alat pemompa bensin di tangannya.
Lelaki itu memiliki kerutan-kerutan kehidupan yang berat di sisi wajahnya. Mungkin isterinya selalu menuntut sepeda motor untuk berbelanja di pasar. Mungkin anaknya ada sepuluh, dan tiga di antaranya merengek mengerikan setiap malam berebut tetek ibunya karena harga susu yang masih tinggi. Ah, pikirku dalam hati, mengapa aku jadi se-melankolik ini. Bukankah meninggalkan seorang gadis sudah biasa kulakukan dalam sepanjang hidupku? Mungkin kali ini berbeda.
Moogie tak pernah salah apapun padaku. Dia gadis baik-baik. Gadis yang sudah kutiduri tanpa sepengetahuannya. Lagi-lagi. Dan itu sedikit menggusarkan, mengingat betapa selama ini korban-korbanku selalu tidak kuacuhkan. Mungkin sebersit rasa cinta sudah mulai menguncup di hatiku. Gombal. Mana mungkin pria seperti aku jatuh cinta. Rasa itu sudah hilang sejak bertahun-tahun yang lalu. Sejak Enni meninggalkanku sendiri di sudut kegelapan kamar.
"Mas. Mas, sudah, Mas." Petugas pompa bensin itu memanggil namaku sampai tiga kali.
"Oh, maaf," senyumku kikuk seraya menyerahkan lembar lima puluh ribuan ke tangannya.
Lelaki itu menggelengkan kepalanya, lalu menuju meja kecil tempatnya bersantai kala pompa bensin sepi. Kuangkat kepalaku dan menyipitkan mata menatap ke arah barat. Di sana semua tersimpan baik. Kenangan-kenangan indah akan cintaku. Dan kali ini aku kembali melarikan diri padanya. Pada gadis yang sudah menancapkan kukunya dalam-dalam di hatiku.
Seperti biasa. Enni pasti akan mengomel panjang lebar, "Kamu ke sini kalau ada perlu saja. Kamu memang edan."
Yah, 'edan' memang kata yang paling tepat untukku. Dan seperti biasa pula akan kukecup bibirnya seraya mengusapkan kata-kata yang selalu berhasil menaklukkannya, "Aku kan mencintai kamu." Kata-kata yang hanya bisa kuucapkan pada satu gadis. Cinta. Lalu kutolehkan kepalaku ke arah utara, beberapa saat sebelum klakson mobil di belakang memaksaku untuk masuk ke dalam mobil.
Mgt, satu seperempat jam kemudian.
Dalam hati aku sedikit meragukan apa yang kulakukan saat ini. Sungguh berbeda dengan kebiasaanku untuk membuang sedih dengan gadis lain. Kupandangi pepohonan yang berlari di tepian jalan menanjak. Entah mengapa di pompa bensin tadi kuputuskan untuk menyendiri di puncak gunung. Nafsuku untuk menemui Enni hilang seketika. Yang ada hanya rasa pedih yang masih menusuk hatiku. Moogie, sedang apa dia sekarang? Apakah gadis mungil itu menagis tersedu-sedu kala mendengar mesin penjawab telepon di rumah? Apakah ia merindukan pelukanku? Saat-saat indah mandi bersama? Dan bahkan sekarang adikku pun tidak mau diajak kompromi untuk tidak 'berdiri'.
"Nih, Pak," senyumku seraya menyerahkan selembar uang kepada Bapak penjaga portal masuk.
Bapak itu menyeringai menunjukkan giginya yang menguning, "Sendirian saja, Mas?"
Kuanggukkan kepalaku. Memang, sejauh yang kudengar jarang orang yang mampir ke telaga ini sendirian. Biasanya bersama keluarga atau simpanan mereka.
"Lagi pingin nyepi, Pak," gurauku lalu tertawa.
Bapak itu ikut tertawa dan mengangkat portal yang melintang di jalan. Kutekan pedal gas dan melaju memasuki kawasan penduduk.
Telaga Srg, kemudian..
Kunyalakan Marlboro di bibirku dan menghisap racun itu hingga dadaku terasa sesak.
"Mas, naik boat?" beberapa orang bapak sudah berdiri di belakangku.
Kugelengkan kepala dan balik bertanya, "Paling enak tidur di mana, Pak?"
Bapak-bapak itu mengubah pandangan mata yang semula penuh harapan menjadi kelam, "Banyak, Mas. Di mana-mana."
Oh, ya sudah. Pikirku dan tersenyum.
Begitulah orang sekarang. Ada duit senyum dipasang, tidak ada duit 'dicuekin'. Kualihkan pandanganku ke arah pulau di tengah telaga. Orang setempat menyebutnya pulau Kelinci. Mungkin di sana dahulunya merupakan sarang beribu-ribu kelinci. Dan sekarang tinggal namanya saja. Perut memang menjadi sarang nafsu paling utama.
Lalu ilusi melayang di kepalaku. Gadis-gadis kelinci yang telanjang berlarian di tepian pulau. Hingga datang seorag penjual sate kelinci bernama Ray yang kehabisan bahan mentah di pasar. Berburu, menembak dan melukai. Menyayat dan menyulap mereka menjadi alat pengganjal perut seharga delapan ratus per tusuk. Padahal dalam kondisi utuh dapat mencapai dua sampai empat puluh ribu. Perusak? Yah, terkadang nafsu dapat menjadi momok jiwa.
Kubuka pintu mobil dan melangkah masuk. Mendadak Marlboro ini menjadi sangat pahit. Kubuang puntung rokok melalui jendela dan menuju ke salah satu hotel yang dulu (waktu aku masih kecil) sering disinggahi keluargaku. Beberapa ekor kuda meringkik saat derum knalpot menyapu telinga mereka.
"Dua malam, Mas," ucapku seraya mengeluarkan tanda pengenal dari dompet.
Kurasakan keragu-raguan dari lelaki resepsionis itu. Dengan tersenyum kutatap matanya dan berkata, "Saya bayar di muka."
Raut wajah lelaki itu langsung berubah dan senyum mengembang di bibirnya.
"Kamar dua, Mas," ucapnya tanpa menghilangkan senyum.
Menjijikkan. Kuseret langkahku menuju bungalow di samping kiri kantor hotel.
Bungalow ini mengingatkanku pada masa kecilku. Kamarnya ada tiga (sejenak aku bingung juga, siapa yang akan tidur di situ) dan memiliki sebuah dapur dan sebuah kamar mandi di atas garasi. Tempat yang menyenangkan. Dulu ayah dan aku selalu menghabiskan waktu bermain tenis di lapangan yang terdapat di belakang hotel.
Kuletakkan tas ranselku dan membuka kamar tengah yang paling besar. Aroma daging dibakar mengejutkanku. Kulangkahkan kakiku keluar kamar dan melihat seorang penjual sate kelinci telah mengibas-ngibaskan kipas bututnya di atas tusukan daging mentah. Senyumku mengembang. Geli. Penjual-penjual di sini menerapkan mode pemaksaan untuk memperoleh konsumen. Tradisi yang tidak pernah berubah sejak aku terakhir ke sini sepuluh tahun yang lalu.
"Sendiri, Mas?" tanya penjual sate itu dengan logat jawa yang 'medok'.
Kuanggukkan kepalaku sedikit kesal. Sate mahal ini ternyata kecil sekali setelah matang. Mungkin kelincinya kena polio atau rabies.
"Nggak biasanya ada yang sendirian ke sini, Mas."
Cerewet, umpatku dalam hati. Hawa dingin mulai merasuki tulangku.
"Kalo mau saya carikan teman, Mas? Gimana?"
Eh? Teman? Hatiku tertawa saat mendengar celotehan bapak itu. Tapi rasa ingin tahu mungkin membuatku sedikit kelepasan.
Dengan tersenyum kutelan sisa daging dan nasi di mulutku, "Berapaan, Pak?"
"Ya sekitar lima sampai sepuluh, Mas."
Lima ribu? Apa itu? Memek yang baru terjun ke jurang?
"Ribu?" tanyaku membelalakkan mata.
Bapak tukang sate itu terkekeh, "Ya nggak toh, Mas. Puluhan ribu."
"Oh," ucapku pendek lalu menggigit tusuk sate ke delapan.
"Gimana, Mas?" desak si tukang sate. Ngotot.
"Terserah deh," jawabku sambil lalu.
Mungkin enak juga menghabiskan waktu semalam bersama wanita. Entah wanita yang segila apapun. Aku sedikit beku akhir-akhir ini dalam menilai wanita. Sampai-sampai pedoman 'tidak kencan dengan pelacur' kulupakan.
Bapak itu berlalu setelah menerima uang sate. Dalam hati aku sudah melupakan tentang tawarannya tadi. Lagipula dia tidak bertanya lebih lanjut. Di luar sudah mulai gelap. Adzan maghrib sudah berkumandang. Kuhela nafasku dan mendekap ujung jaket kulitku erat-erat hingga ketiakku terasa panas. Jaket ini merupakan temanku yang paling setia selama tujuh tahun terakhir. Tak pernah megeluh, menuntut, tapi bisa menghangatkanku setiap saat.
Kududukkan tubuhku di atas kursi teras dan mulai membuka halaman ke 386 dari karya sastra saduran Lo Guanzhong. Romance of the Three Kingdoms. Aku menyukai setiap penuturan dari cerita ini. Alur yang sedikit kacau dan puitis tapi membuai. Tokoh-tokoh yang memukau dengan kegagahan mereka. Intrik jenius dan polemik loyalitas. Perang dan jeritan anak manusia tertebas pedang. Tak berapa lama kemudian aku sudah masuk ke dalam kancah peperangan.
Bersambung ke bagian 02