Cerita Dewasa:
Kekasih dan Suamiku 01
Aku malu membeberkan kisah hidupku sendiri sebagai ibu rumah tangga baru yang terlibat love affair, namun agar pembaca tahu tentang salah satu pernik kehidupan seorang isteri yang kesepian. Dan yang tak bisa menahanku untuk bercerita ini adalah karena Aku memang gemar menulis sejak di bangku Sekolah Dasar. Seseorang telah mengenalkanku pada dunia maya ini beberapa bulan lalu.
Aku wanita 'udik' 23 tahun, telah berkeluarga dan punya satu anak lelaki umur 2 tahun. Aku memang kawin muda, 18 tahun. Begitu tamat SMU Aku dinikahkan dengan pria pilihan orang tua. Suamiku, Jimmy namanya, waktu menikah denganku usianya 35 tahun, sudah mapan, punya usaha sendiri. Kenapa Aku mau menerima lamaran seorang pria yang 17 tahun lebih tua? Pertama, karena Aku memang dididik untuk patuh kepada orang tua dan Aku anak tunggal. Kedua, lingkunganku di pedalaman selatan Jakarta memang mengharuskan gadis seusiaku segera menikah. Ketiga, Jimmy memang baik hati. Dia begitu sibuk mengurus usahanya sampai "lupa" mencari calon isteri. Keempat, meskipun Aku punya banyak kawan lelaki dan beberapa diantaranya naksir Aku, tapi semuanya hanya sebagai teman biasa saja. Tak satupun yang pernah Aku "jatuhi" cintaku, kecuali seseorang yang sempat mengisi hatiku, tapi banyak halangan (nanti Aku ceritakan tentang Hendrik ini). Pendeknya, Aku belum punya pacar. Kelima, Aku termasuk tipe penyayang anak-anak. Sudah banyak anak-anak tetangga yang Aku "pinjam" untuk kuasuh. Aku ingin menjadi seorang Ibu.
Tahun-tahun pertama masa perkawinanku memang membuatku bahagia. Jimmy begitu mengasihiku, penyabar, penuh pengertian. Apalagi setelah Si Randy, anak kami lahir, rasanya Aku adalah ibu yang paling bahagia di jagat ini. Jimmy juga sangat menyayangi anak lelakinya. Makin semangat mengurusi usahanya yang akhir-akhir ini terkena dampak krisis ekonomi. "Aku berjanji akan bekerja keras hanya untuk kamu dan Randy," katanya suatu ketika. Terharu Aku mendengarnya. Aku berterima kasih kepada orang tuaku telah mempertemukan Aku dengan Jimmy. Menikah dengan pilihan orang tua memang tak selalu pilihan yang salah.
Kerja keras Jimmy dan anak buahnya membuahkan hasil. Perusahaannya telah berhasil memperluas pasar sampai Kualalumpur dan Chiang-Mai. Krisis ekonomi tak hanya berdampak buruk, tapi malah membuat produk usaha kami jadi mampu bersaing dalam harga. Keberhasilan ini membawa dampak lain, yaitu pada Aku sendiri. Waktu Jimmy banyak tersita oleh pekerjaannya, sehingga mengurangi waktu buatku. Apalagi Randy sudah dapat "dilepas", Aku jadi punya banyak waktu luang. Aku sering kesepian. Dalam sepi ini Aku sering mengharapkan Jimmy pulang, lalu mencumbuku, dan diteruskan dengan hubungan seks yang nikmat. Ya, akhir-akhir ini kehidupan seks kami jadi meredup. Jimmy menjadi jarang memberiku "nafkah bathin", jarang menyetubuhiku.
Kehidupan seks-ku waktu remaja boleh dibilang "kuno". Kawan lelaki banyak, pacaran baru sekali, itu pun secara back street, diam-diam, karena orang tua tak memberi restu. Kami hanya sekedar cium-ciuman dan meraba-raba. Sehingga dengan Jimmy suamiku-lah hubungan seks-ku yang pertama kulakukan. Kepada Jimmylah keperawananku kupersembahkan.
Kadang Aku menangis sendiri dalam sepi, ingat beberapa tahun lalu Jimmy begitu menggebu-gebu melumatku sampai Aku terasa melayang-layang, mandi keringat dan lalu kelelahan. Itu dilakukannya hampir setiap hari. Bahkan dikala libur, Jimmy "minta" beberapa kali dalam sehari. Senyum sendiri Aku ketika ingat kejadian pagi di hari libur, kami ngentot di ruang tamu dan hampir "tertangkap basah" oleh anak buah Jimmy.
Aku dan Jimmy sedang duduk-duduk santai di ruang tamu. Hari libur itu suamiku sedang menunggu stafnya yang akan melapor hasil penjualan bulan berjalan. Kami duduk saling merapat, lalu mulailah Jimmy mencumbuiku. Diciuminya seluruh wajahku, lalu leherku. Tangannya mulai menyusup ke dasterku. Dengan lembut disentuhnya boba dadaku, sentuhan lembut beginilah yang membuatku terhanyut. Lalu diremasnya buah dadaku perlahan. Aku mulai terangsang. Jimmy memang nakal. Dipelorotkan sarungnya, dan nongollah batang kontolnya yang amat tegang. Aku tak menyangka dia tak memakai celana dalam. Rasanya sehabis "permainan pagi" tadi kami mandi dan Jimmy mengambil pakaian dalam lalu pakaian kebesarannya: oblong dan sarung. Entah kapan dia melepas CD-nya. Ditariknya tanganku ke selangkangannya, kubelai-belai kontolnya dengan penuh perasaan. Sementara Aku sendiri tambah terangsang.
Jimmy cepat-cepat melucuti pakaianku, lalu sarung dan oblongnyapun telah tergeletak di lantai. Kami telah telanjang bulat. Aku ingin Jimmy segera "mengisi" selangkanganku yang telah melembab. Kutarik Jimmy ke kamar.
"Di sini aja deh," katanya menahan tarikanku.
"Malu mas, dilihat orang," protesku.
"Enggak akan kelihatan dari luar deh," sahutnya.
"Kunci dulu dong pintunya." Jimmy melepaskan tindihan ke tubuhku, bangkit menuju pintu. Pria itu telanjang bulat dengan kontol yang tegang. Aku mempersiapkan diri, rebah terlentang di sofa, sebelah kakiku terjuntai ke lantai. Sebelah lagi Aku angkat ke sandaran sofa.
"Oh ..! " Jimmy terperangah melihat posisiku. Ditubruknya Aku. Dibenamkan mukanya ke selangkanganku. Nafsuku makin memuncak ketika kurasakan "kilikan" lidah Jimmy di bawah sana. Untung Jimmy segera tahu bahwa Aku sudah "siap". Dia bangkit, bertumpu pada kedua lututnya di antara kedua pahaku, mengarahkan "si gagah" ke mulut memekku. Aku memejamkan mata menunggu saat-saat nikmat ini..
Tiba-tiba pintu diketuk. Jimmy bangkit, urung penetrasi. Secara refleks Aku menyambar daster dan menutupi tubuh telanjangku. Dari posisi rebahku ini Aku bisa melihat melalui kaca jendela lebar, seseorang berdiri di depan pintu. Pak Sakir pagi ini memang di undang suamiku untuk melapor. Aku langsung beranjak sambil memunguti bra dan CD-ku, tapi Jimmy mencegahku sambil menutup jari telunjuknya di bibir. Lalu, hampir tanpa suara dia kembali merebahkan tubuhku, membuka pahaku lebar-lebar, lalu mulai memasukkan kontolnya dan menusuk.
Aku harus menutup mulutku dengan telapak tangan dan berusaha mati-matian untuk tak mendesah, apalagi merintih. Padahal, pompaan Jimmy enak dinikmati sambil mendesah, melenguh, merintih, bahkan teriak! Apa boleh buat, kondisi tak mengijinkan. Aneh juga rasanya. Kami sedang asyik menikmati seks, sementara beberapa meter di dekat kami, berdiri seseorang menunggu, sambil sesekali mengulang mengetuk pintu, tak tahu apa yang sedang kami lakukan. Tak tahu? Entahlah, akhirnya Jimmy mencapai orgasme sedangkan Orgasmeku tak optimal, sebab tak "lepas", harus menutup mulut. Tak apalah, toh nanti malam kami akan lakukan lagi. Aku cepat-cepat memunguti pakaianku yang berserakan di lantai, lalu masuk kamar. Jimmy menemui Pak Sakir hanya dengan belitan handuk di pinggangnya, seolah bersiap mau mandi..
Pembaca, perkenankan saya flash-back dulu, agar Anda mendapatkan gambaran yang utuh tentang diriku. Masa remajaku cukup menyenangkan. Aku banyak dikenal di lingkungan sekolah, terutama cowoknya, karena Aku gampang bergaul. Dari banyak teman cowok, beberapa di antaranya pernah mengungkapkan cintanya kepadaku, atau meminta Aku jadi pacarnya. Tapi semuanya Aku jawab sama, cuma berteman, Aku belum ingin terikat. Mereka mengatakan Aku mirip Sally, itu lho yang suka nongol bareng Bagito waktu melawak sebagai bintang tamu.
"Tapi kamu lebih seksi," kata mereka. Seksi apanya? Mereka tak mau terus terang mengatakannya. Akhirnya Aku tahu sendiri. Bila Aku sedang jalan-jalan, di Mall atau gedung bioskop, atau jalan kaki dari halte bus ke rumah dan sebaliknya, bila berpapasan dengan cowok, Aku perhatikan mereka, terutama cowok dewasa, setelah menatap mukaku matanya langsung menuju dadaku. Mungkin bentuk dadaku ini sehingga mereka mengatakan Aku seksi?
Mulanya Aku memang tak menyadari akan "kelebihan"ku ini. Bentuknya sama dengan umumnya buah dada, dua bulatan kembar. Tapi setelah hampir setiap mata cowo mengarah ke sini, Aku jadi memperhatikan, apanya sih yang menarik perhatian mereka? Ukurannya barangkali. Kalau kami rombongan cewe pulang sekolah jalan-jalan di Mall mampir ke lingerie-corner, bra yang kubeli memang nomornya paling besar. Menyadari hal ini, Aku jadi lebih berhati-hati mengenakan pakaian atasan. Kalau tak perlu benar Aku jarang memakai atasan yang ngepas, sebab tonjolan kembarnya makin nyata, walaupun bra yang kupilih jenis yang tipis ..
Rumah kami sering didatangi mahasiswa yang ingin kost, sewa kamar, atau ngontrak. Ayah tak pernah menerimanya.
"Tanggung," kata Ayah. "Cuma punya satu kelebihan kamar."
Sampai pada suatu saat Ayah terpaksa menyewakan kamar yang kosong itu, karena diminta oleh sahabat Ayah yang tinggal di Bandung untuk anaknya, Didin. Didin tinggal setahun lagi menyelesaikan kuliahnya. Aku masih di SMP. Ketika Didin menamatkan kuliahnya dan cabut dari rumah pindah ke Jakarta, kamar diisi lagi oleh anak lelaki kawan Ayah yang tinggal di Salatiga, Hendrik namanya. Aku masuk SMU.
Awalnya tak ada apa-apa antara Aku dan Hendrik. Aku mulai tertarik karena Hendrik sebagai anak kost bersedia membantu Ayah, Ibu dan Aku, selain karena dia cerdas. Aku serasa mendapatkan guru privat untuk mata pelajaran Matematika, Fisika dan Kimia. Hendrik selalu ada waktu buatku kalau Aku nanya-nanya PR ketiga mata pelajaran itu. Penjelasannya malah lebih enak dibanding guruku, mudah dimengerti. Aku bebas saja keluar masuk kamarnya. Sudah biasa kalau Aku mendapati Hendrik hanya bercelana pendek di kamarnya. Kadang Hendrik juga masuk ke kamarku, dengan seijinku. Pernah ketika Hendrik masuk ke kamarku dan kami ngobrol sambil Aku terus melipat lengan di dadaku. Aku baru saja selesai mandi dan belum sempat mengenakan bra, hanya t-shirt saja. Aku dan juga seisi rumah menganggap kami seperti kakak-adik. Anehnya, kalau Hendrik liburan semester dan pulang kampung, aku merasa sepi, Aku merindukan kehadirannya. Sebaliknya, bila teman sekolah (cowok) main ke rumah, roman muka Hendrik menunjukkan rasa kurang senang. Sampai suatu ketika, ternyata Hendrik menganggapku bukan sekedar adik saja ..
Sore itu kami sedang membahas satu soal PR Fisika yang rumit di kamarnya. Aku tercenung memandangi soal, tak tahu apa yang musti Aku buat, sementara Hendrik sibuk membongkar buku referensi. Ketemu catatan kuliahnya. Kami meneliti tulisan tangan yang sebagian kabur itu, sehingga wajah kami begitu berdekatan.
"Ketemu caranya ..!" teriak Hendrik kegirangan, lalu tiba-tiba dia mengecup pipiku. Aku sejenak kaget dan terpana. Tempelan bibir Hendrik pada pipiku barusan terasa sampai di dalam dadaku, berdebar-debar. Hendrik tampaknya juga kaget sendiri atas kelancangannya. Matanya tajam menatapku. Lalu tangannya mengelus pipiku bekas kecupannya tadi. Terus tangannya bergeser ke daguku, diangkatnya daguku. Aku masih terpana, tak bereaksi. Pun ketika dia menunduk mendekatkan wajahnya ke mukaku. Detik berikutnya bibirnya telah menempel di bibirku. Aku merasa aneh. Belum pernah seorang pria sampai mencium bibirku. Aku mendorong bahunya sampai ciuman terlepas. Entah mengapa, Aku jadi pengin marah. Hendrik tahu situasinya, cepat-cepat dia memegang tanganku dan meminta maaf.
"Sorry ya Sall .." hanya itu yang keluar dari mulutnya.
"Kenapa Mas seberani itu?"
"Karena Mas sayang ama kamu, Sally ..maafin Mas ya ..". Kenapa Aku harus marah? Ucapannya barusan tak mengagetkanku. Aku telah menduganya dari perilakunya selama ini, begitu perhatian padaku. Jujur saja, Aku juga mulai menyayanginya.
"Okay deh Mas, Sally maafin."
"Mas sayang ama kamu."
"Iya, Sally tahu."
"Apa jawabmu, Sally?" Aku diam. Rasanya berat mau bilang, 'Sally sayang juga'. Tak sepataHPun keluar dari mulutku.
"Sally ..?"
"Entahlah Mas .." sahutku, tapi Aku merebahkan kepalaku di dada Hendrik. Lalu Hendrik mencium bibirku lagi, kali ini Aku tak menolak, tapi masih pasif. Saat kurasakan nikmat menjalar ke kepalaku, Aku mulai membalas lumatannya. Hendrik makin semangat ..
Sore itu Aku merasakan ciuman pertamaku.
Pertemuan-pertemuan kami berikutnya selalu dihiasi dengan cium-ciuman. Bahkan Hendrik mulai berani meraba-raba tubuhku. Pertama kali telapak tangan Hendrik menyusup ke dalam bra ku kurasakan hanya geli. Tak ada enaknya. Begitu pula ketika jari-jarinya menyentuh boba dadaku. hanya geli. Tapi lama kelamaan, Aku menikmati isapan mulut Hendrik di boba dadaku. Enak, serasa melayang, dan lalu kurasakan basah di bawah sana.
"Dadamu bagus" pujinya berulang-ulang. Pelajaran lain yang kudapat adalah tentang ketegangan tubuh Hendrik.
Kami sedang duduk di karpet kamarku bersandar pada dinding sambil berciuman. Aku bermaksud meraih pinggangnya mau kupeluk, tapi Hendrik menggeser duduknya sehingga tanganku menyentuh selangkangannya. Sekilas Aku merasakan sesuatu yang keras di balik celana pendek Hendrik. Kembali Aku meraih pinggang, tapi Hendrik menahan tanganku untuk tetap di situ. Bahkan menuntun tanganku untuk mengusap-usap di daerah sana. Aku menurut saja. Sambil terus berpagutan bibir, kini tanganku dituntun ke pinggangnya. Aku peluk erat. Aku merasakan tangan Hendrik kembali ke selangkangannya dan melakukan sesuatu. Aku tak bisa melihat apa yang dilakukannya, karena kami terus saling melumat bibir. Beberapa saat kemudian, tanganku diambil dari pinggangnya kembali ke selangkangan. Aku kaget. Telapak tanganku merasai benda keras dan hangat. Ciuman terlepas. Hendrik memang nakal. Tadi dengan diam-diam dia melepas rits celana dia, melorotkan CDnya dan mengeluarkan "isi"nya. Baru kali ini Aku melihat kelamin lelaki dewasa yang sedang tegang. Melihat sesungguhnya, bukan hanya gambar. Dengan wajah "tanpa dosa" Hendrik menuntun tanganku untuk mengocok kontolnya. Dan anehnya, Aku nurut saja. Juga ketika dengan agak kasar dia membuka bra-ku dan menciumi bobaku. Sampai akhirnya lenganku, sampai atas, serasa diciprati cairan hangat. Hendrik ejakulasi. Entah apa yang kurasakan waktu itu. campuran antara rasa aneh, jijik, rasa bersalah, tapi juga sedikit kepuasan telah mengantarkan Hendrik sampai ke puncak ejakulasi.
Hanya begitulah pacaran kami yang paling "liar". Hendrik tak pernah memaksakan kehendaknya. Apa yang aku larang, dia menurut. Suatu siang di kamarnya yang terkunci, kami bercumbuan sampai "panas". Hendrik sudah telanjang bulat. Dia juga telah berhasil melepaskan jeansku. Ketika CDku hendak dilepaskannya pula, dengan tegas Aku menolak.
"Mas Enggak akan berbuat itu, sayang .." katanya sambil terengah.
"Iya, Sally tahu. Tapi Enggak Mas"
"Pengin ciumin aja"
"Enggak Mas, Enggak"
"Lihat aja deh, sebentar"
"Mas!" seruku sambil melotot.
Dia lalu seperti tersadar, dan minta maaf. Dia tak pernah mengulangi permintaannya yang bagiku nyeleneh itu. Satu permintaan nyelenehnya lagi adalah waktu Aku, seperti biasa, hendak melepaskan ketegangannya dengan mengonaninya. Tanganku baru mulai mengelusi kontolnya ketika dia minta hal yang tak biasa.
"Yang .. bisa Enggak."
"Kenapa?"
"Jangan pake tangan."
"Lalu?" tanyaku lugu.
"Dikulum.."
Aku marah, sehingga batal untuk membuatnya ejakulasi. Sejak itu dia tak pernah lagi minta dikulum. Bahkan kelak dengan Jimmypun (suamiku) Aku tak pernah melakukannya.
Ortuku tak menangkap perubahan hubunganku dengan Hendrik. Mereka masih menganggap hubungan kami sebagaimana kakak beradik. Akupun takut bercerita hal ini kepada Ortuku. Aku khawatir mereka tak merestui hubunganku ini. Yang jelas Aku makin sayang kepada Hendrik. Kami memang saling mencintai.Hingga ketika kuliahnya selesai dan meraih gelar insinyur, tanpa ragu dia melamarku melalui Ayah. Hendrik kelihatan amat terpukul ketika lamarannya ditolak Ayah..
Bersambung ke bagian 02