Cerita Dewasa:
A Taste of Honey 3: Quicky... Quicky - 1
Setelah kencan di Ciawi, kami kemudian sering untuk membuat janji kencan lagi. Kadang di hotel di Ciawi tersebut, kadang di Cisarua atau di dalam Kota Bogor saja. Bahkan kami pernah melakukannya di dalam rumahnya ketika suaminya mengantar anaknya ke tempat neneknya.
Aku tak berani melakukannya lagi di dalam kamar kosku. Rasa takut ketahuan selalu menghantuiku kalau ia mengajak, kadang dengan memaksa untuk melakukannya di kamar kosku. Sebenarnya kalaupun ia terlihat masuk ke kamarku, orang akan maklum saja karena tahu aku memberikan les privat kepada Eka, anaknya.
Hubungan kami kelihatannya aman-aman saja. Tidak ada gunjingan mengenai kami berdua, karena kamipun saling menjaga dan menempatkan diri kami dengan baik. Kalau lagi ada orang lain kusapa dia dengan Ibu Heni, kalau pas tidak ada orang lain apalagi ketika ia mengerang di bawahku tentu saja kupanggil ia dengan mesra, Hanny.
Hanny pernah bercerita kalau dia sebenarnya tidak mencintai suaminya. Pernikahannya dulu terjadi untuk membalas budi keluarganya. Dia tidak berdaya dan tidak bisa menolak. Setiap kali berhubungan dengan suaminya, sebenarnya ia bisa mendapat orgasme, namun entah mengapa orgasmenya tidak bisa tuntas terlepas seakan masih ada yang menahan. Jadi dia sekarang melayani suaminya karena kewajibannya sebagai istri. Pak Edi juga tidak bisa berbuat banyak karena takut ditinggalkannya.
Sekali waktu sehabis olah tubuh bersamanya, kami saling bercerita tentang banyak hal. Mulai dari kehidupan kuliahku, saat-saat indah ketika kami bersama-sama dan pengalaman lainnya. Sampai ketika kusinggung tentang otot perut yang kukencangkan sehingga memberikan efek kontol menjadi lebih keras ia menanggapi dengan antusias. Iapun bercerita tentang dinding memeknya yang berkontraksi. Kami makin penasaran dengan fenomena ini.
Akhirnya kudapatkan jawabannya setelah dalam sebuah artikel di sebuah majalah kesehatan kubaca tentang senam Kegel. Ternyata kekuatan otot ini bisa dilatih dengan latihan tertentu. Setelah kubaca dan kubandingkan dengan artikel lain, aku mulai berlatih senam Kegel. Tidak sulit dan bisa dilaksanakan di mana-mana dan kapan saja.
Latihan dilakukan dengan menggerakkan otot antara anus dan kontol dengan berkontraksi seolah-olah sedang menahan kencing. Otot ini dapat dikenali dengan mudah. Pada saat (maaf) BAB ada gerakan yang menutup (maaf lagi) lubang dubur dan memotong (minta maaf untuk terakhir kali) tinja.
Aku kadang melatihnya ketika di kampus sedang mengikuti kuliah, kadang saat duduk di angkot dan melihat wanita seksi yang menggoda. Sekalian sambil membayangkannya. Aku sengaja belum memberitahukan pada Hanny. Aku ingin melatihnya sendiri terlebih dahulu. Setelah sebulan lebih berlatih maka aku merasakan kekuatan kontolku bertambah dan kenikmatan yang didapat Hanny meningkat. Hanny sendiri heran dengan kemajuanku.
Hanny semakin penasaran dengan kejutan-kejutan kecil yang kuberikan lewat otot Kegelku sewaktu kami bergumul di atas ranjang. Setelah yakin dengan hasil latihanku, barulah hal ini kukatakan padanya.
"Ihh.. Curang ya. Dapat ilmu baru nggak bagi-bagi", katanya sambil mencubit dan memukuli punggungku.
"Aku nggak enak saja. Masak murid ngajarin gurunya", kataku.
"Aihh..". Ia tersipu-sipu malu. Tangannya semakin sering mencubit dan memukuliku. Kusergap dia dan kurebahkan untuk menerima kenikmatan dari otot Kegelku.
Kehidupan terus berjalan. Tak terasa sudah enam bulan aku dengan Hanny ber-ahh, ehh, ohh ria. Ujian semester membuat aku stres dan suntuk. Hanny tahu kalau aku lagi ujian semester. Selama ujian ia sengaja tidak menampakkan diri dihadapanku, takut mengganggu konsentrasi katanya. Ekapun juga tidak berani datang untuk memintaku memberikan les.
Begitu habis masa ujian maka akupun dapat bernapas dengan lega. Rasanya badan dan pikiran lelah sekali, karena seperti umumnya mahasiswa lainnya cara belajarku juga SKS, Sistem Kebut Semalam. Karena rasa capek yang luar biasa maka malam itu aku tidur cepat sekali sampai lupa mengunci pintu dan mematikan lampu kamar.
Esoknya aku bangun kesiangan dan duduk di teras kamar. Kuperhatikan sekitarku. Pikiranku melayang, memutar ulang peristiwa-peristiwa yang terjadi selama enam bulan. Aku menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Rasanya seperti mimpi saja.
Bapak dan ibu kosku juga sangat baik kepadaku. Aku sering ngobrol dengan mereka sambil numpang nonton TV di rumah induk. Tiba-tiba aku tersentak ketika ibu kosku memanggilku.
"To.. Anto. Kamu baru bangun ya. Sudah selesai ujiannya?" ibu kosku bertanya.
"Sudah Bu, makanya tadi malam tidurnya keenakan dan bangun kesiangan", kataku sopan.
"Ya sudah. Saya mau berangkat ke pasar. Kalau mau makan ada nasi di atas meja. Tapi jangan lupa kalau sudah selesai makan cuci piringnya. Ha.. Ha.. Ha. Bercanda, jangan dimasukin hati. Pintunya jangan lupa dikunci dan taruh ditempat biasa!" katanya sambil berjalan keluar.
"Eh hampir kelupaan.. Tadi pagi kulihat Ibu Heni mengetuk-ngetuk pintu kamarmu, tapi karena kamu belum bangun ia pulang lagi. Ada apa sih?" Ibu kosku bertanya sambil membuka pagar.
"Ahh.. Paling juga urusan pelajarannya Eka", jawabku menghindar.
Ibu kosku sebenarnya cukup cantik. Sisa-sisa kecantikan masa mudanya masih terlihat. Inner beautynya muncul. Namun justru karena kebaikan dan inner beautynya itulah maka aku juga tidak berani sembarangan. Bahkan bercanda menjurus hal-hal yang porno pun aku tidak berani. Padahal kalau kami lagi ngobrol bertiga dengan suaminya, ia terkekeh-kekeh sambil memukuli tangan suaminya kalau humor suaminya mulai menjurus.
Aku mengambil kunci rumah induk di tempat yang sudah kami sepakati bersama. Kunci rumah memang tidak pernah dibawa. Takut kalau tiba-tiba ada anaknya yang datang atau aku memerlukan sesuatu. Lingkungan ini memang aman, pikirku. Aku masuk ke dalam rumah dan makan nasi panas hanya dengan ikan asin kesukaanku. Nikmat sekali rasanya ketika segelas air dingin yang kuambil dari kulkas mengantar butiran nasi terakhirku.
Aku keluar rumah, mengembalikan kunci pintu di tempatnya dan kembali ke kamarku. Dari balik kaca nako, rumah Hanny terlihat sepi. Jam segini anaknya sekolah dan suaminya kerja. Tidak ada suara tape atau radio yang biasa dia putar.
Aku mandi dan mengelus kejantananku yang mulai bereaksi. Sejak berhubungan dengan Hanny aku hanya sekali berswalayan ketika gairahku naik dan keadaan tidak mengijinkan. Hmm. Sambil bersiul aku menyabuni dan menggosok tubuhku. Tiba-tiba saja aku ingat waktu kencan di Ciawi yang pertama, dimana ia kusetubuhi dengan cepat dan masih mengenakan baju. Aha.. Aku punya rencana.
Aku percepat mandiku dan segera berpakaian. Kusemprot tubuhku dengan Eternity, yang hanya kupakai pada saat-saat tertentu, termasuk jika aku ada kencan dengan Hanny. Kukenakan kaus tanpa lengan dan celana pendek selutut dari bahan katun.
Aku mengaca di depan cermin dinding dan kulihat bayanganku. Tubuh tegap atletis dengan kumis terurus rapi. Upss, aku lupa mencukur jenggotku hari ini. Kuraba daguku. Kasar seperti digosok dengan sikat halus. Biasanya jenggotku kucukur tiga atau empat hari sekali. Kucari-cari pisau siletku, tapi tidak ketemu juga. Akhirnya aku menyerah.
Aku keluar dari kamar dan berjalan ke rumah tetanggaku tersayang. Sekilas kuamat-amati rumahnya dan keadaan sekitarnya. Sepi.
Aku membuka pintu pagar dan beberapa saat aku mengetuk pintu depan. Tok tok tok! Tidak ada sahutan. Kucoba kuketuk lagi namun juga tidak ada sahutan. Kucoba menarik selot pintu. Tidak terkunci. Kemana penghuninya pikirku.
Aku masuk, menutup pintu, meneliti ruang tengah dan kamarnya, kosong. Kulongokkan kepalaku di pintu dapur, kosong juga. Aku tidak tertarik untuk melihat kamar mandi di sudut dapur karena tidak ada suara guyuran air. Kemana Hanny, tanyaku dalam hati. Aku akhirnya kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa panjang. Kutarik sebuah majalah dan kubaca. Tidak ada berita baru, kulihat sampulnya ternyata edisi bulan lalu. Pantas saja!, makiku dalam hati. Kupilih artikel-artikel yang ringan saja.
Beberapa saat kemudian aku dikejutkan dengan sebuah hembusan nafas dan gigitan di telingaku. Saking asyiknya membaca artikel tentang penjelajahan ruang angkasa aku sampai tak sadar berada di mana.
"Heyy.. Pencuri masuk ke rumahku!" sebuah bentakan pelan dan lembut terdengar.
"Haa.. Haa.. Hi.. Hii. Kaget ya, makanya jangan suka masuk rumah orang tanpa ijin!" lanjutnya.
Rupanya Hannyku. Ia berdiri membungkuk agak menyamping. Ia hanya mengenakan daster longgar sehingga toketnya terlihat menggantung malu-malu. Rambutnya basah dijepit dengan jepitan rambut ke atas sehingga tengkuk yang ditumbuhi bulu-bulu halus dan lehernya yang jenjang seakan-akan menantangku.. Sekilas harum sabun mandi dan shampo tercium olehku. Ia mendekatkan mukanya ke mukaku dan melihat majalah yang kubaca. Dadanya sekilas menyentuh lenganku. Aliran hangat mulai menjalari tubuhku.
"Nggak, aku tadi ketuk-ketuk pintu nggak ada sahutan, akhirnya kubuka karena tidak terkunci. Kulihat kamar sampai dapur juga kosong", kataku sambil menatapnya.
"Kamu nggak lihat sampai kamar mandi sih, kan kita bisa mandi bersama", katanya manja.
"Aku sudah mandi. Cium ketekku kalau tidak percaya"
"Hussh.. Mulai kurang ajar kamu. Orang tua disuruh cium ketek".
"Kok nggak kedengaran mandinya".
"Iya, tadi baknya masih kosong sehingga aku mandi pakai shower, sekaligus keramas".
"Berapa ronde tadi malam?" kataku menggodanya tanpa merasa cemburu. Wajar saja ia digauli suaminya. Aku saja yang memang kurang ajar.
"Idiih, kamu ini memang benar-benar..".
Tangannya mencubit pinggangku. Kali ini tegangan listrik yang mengalir di tubuhku naik secara mendadak, tapi kemudian normal lagi. Kalau saja tubuhku ini alat elektronik tentu akan cepat jebol karena tegangan yang naik drastis melebihi tegangan normal.
Ia duduk di sampingku dan menempelkan tubuhnya dilenganku. Kembali dadanya menyentuh lenganku. Suhu tubuhku kurasakan makin naik.
"Sudah selesai ujian semesternya?"
"Sudah kemarin. Tadi malam keenakan tidur dan bangun kesiangan".
"Baca apa sih asyik sekali?"
"Ini ada artikel tentang ruang angkasa".
"Apa sih istimewanya?" tanyanya lagi.
Selama enam bulan aku mengenalnya, ia memang tidak berminat dengan soal-soal iptek. Ia sendiri mengakui bahwa wawasannya tentang iptek dan politik sangat kurang, namun kalau diajak bicara tentang kondisi kampung, trend busana dan hal-hal yang bersifat umum masih lumayan. Meski komentarnya kadang-kadang konyol dan terasa dangkal. Aku memakluminya, karena memang tidak ada orang yang sempurna. Nobody's perfect.
Ke bagian 2