Cerita Dewasa:
Kekasih dan Suamiku 02
Sambungan dari bagian 01
Entah kenapa dalam usiaku yang 23 tahun ini Aku jadi begitu "membara". Aku ingin Jimmy melumatku setiap malam, Aku memimpikan hal itu, bagai kehausan yang tak kunjung puas. Mimpi tinggallah mimpi. Kenyataannya Jimmy semakin tenggelam mengurus usahanya. Dia menyetubuhiku seminggu sekali, di hari libur. Sementara Aku menginginkan setiap hari. Pernah suatu malam menjelang tidur Aku kepingin banget. Aku coba mulai mengelus-elus tubuhnya, dengan "kode" begitu Jimmy telah mengerti bahwa Aku menginginkan hubungan seks. Dengan halus dan sembari meminta maaf Jimmy menolak, capek katanya. Dia memang benar-benar capek setelah seharian bekerja keras. Sebentar kemudian dia telah lelap. Tinggal Aku sendiri, susah tidur dan akhirnya hanya bisa menangis.
Suatu pagi telepon berdering.
"Sally?"
"Iya benar, siapa nih?" sahutku
"Hendrik". Kaget Aku bukan main. Sejak Aku menikah dengan Jimmy, Aku sudah melupakan lelaki ini. Sudah hampir 4 tahun tak ada kabar, kini dia tiba-tiba menelepon. Ada apa?
"Hai! Ada angin apa nih tiba-tiba nelepon?" tanyaku.
"Emm .. Ayah ada Sal?"
"Udah berangkat dong, kenapa gitu."
"Gini.. Eh, anaknya udah berapa sekarang?" Hendrik mengalihkan pembicaraan.
"Satu dong, laki-laki, hampir 3 tahun, Mas sendiri gimana?"
"Masih seperti yang dulu, belum laku."
"Ah, masa?"
"Bener!" Aku terdiam. Rasanya Aku ikut bersalah.
"Sally?"
"Ya Mas."
"Tolong sampaikan ke Ayah ya, ada temen Mas mau lihat-lihat tempat kost."
"Udah penuh tuh Mas."
"Bukan mau kost, dia mau bikin tempat kost, mau lihat hasil karyaku dulu."
"Kalau cuman itu langsung aja Mas ke sini, enggak perlu bilang Ayah dulu, pasti beliau izinkan."
"Bener nih? Kita mau ke situ, sekarang."
Tiba-tiba Aku jadi berdebar. Bingung, bagaimana Aku harus bersikap menemui mantan kekasihku ini. Jelas harus berbeda dibanding dulu. Kini Aku sudah dimiliki orang. Kembali terbayang masa-masa kami pacaran dulu. Dengan dialah Aku pertama kali berciuman. Juga dialah orang yang pertama kali menciumi buah dadaku. Juga milik dialah Aku pertama kali melihat dan merabai kelamin lelaki. Untung hanya itu, tak berlanjut, sehingga Aku bisa menyerahkan perawanku kepada suamiku.
Tak seperti biasa, selesai mandi Aku bingung memilih-milih pakaian apa yang akan kukenakan. Biasanya Aku hanya memakai daster karena memang jarang bepergian, lebih banyak di rumah. Kalaupun keluar rumah Aku memilih blouse biasa dipadu dengan rok panjang atau celana panjang, tak berani memakai blouse atau kaos ketat karena mata para lelaki yang nakal. Jimmy juga kurang suka kalau Aku menonjolkan bentuk dadaku di luar rumah. Sebaliknya, Hendrik senang kalau Aku mengenakan blouse atau kaos ketat. Untuk menyambut Hendrik, apakah sebaiknya Aku mengenakan yang ketat? Ah, tidaklah. Meskipun Aku ingin, tapi nanti bisa menimbulkan kesan tak baik. Akhirnya Aku pilih blouse yang tak begitu ketat dan rok panjang.
"Apa kabar?" sapa Hendrik ramah sambil mengulurkan tangan. Wajahnya tak berubah, masih tampan. Hanya badannya agak gemukan
"Baik aja, Mas". Tanganku digenggakmnya erat.
Hendrik datang dengan 2 lelaki. Lelaki yang satu Aku telah kenal, Si Adi, dia dulu asistennya sewaktu membangun kamar kost. Yang satu lagi kawannya yang mau lihat-lihat bangunan.
"Okey Di, langsung antar aja Pak Bambang lihat-lihat. Sama Adi aja ya Pak Bambang, udah lama enggak ketemu sama Sally, pengin ngobrol"
"Okay, gak pa-pa" kata Pak Bambang. Berdua mereka beranjak. Hendrik duduk lagi, Aku duduk di sofa berseberangan dengan Hendrik.
"Kamu enggak berubah juga. Eh.. ada yang berubah ding."
"Apanya?"
"Udah jadi Ibu, makin cantik aja .." Mungkin mukaku jadi merah. Tapi terus terang Aku senang dipuji oleh Hendrik.
"Kenalin Aku sama si Kecil dong."
"Lagi dibawa main ama pengasuh, Mas."
"Oo .. jadi kamu sendirian."
"Iya ..emang kenapa?"
"Ah enggak, cuman ingat 4 tahun lalu." Ada seberkas senyum nakal di wajahnya. Dulu kami memang cari kesempatan sepi begini untuk bercumbu. Aku menghela nafas panjang.
"Bentar ya Mas, eh, mau minum apa?" kataku mengalihkan perhatian.
"Apa aja yang kamu bikin Mas mau."
Aku buatkan teh manis panas kesukaannya.
Sewaktu Aku kembali ke ruang tamu, Hendrik telah pindah duduk, di sofa. Dan ketika Aku meletakkan cangkir di meja dengan sedikit membungkuk, Aku merasa Hendrik menatapi dadaku. Aku kembali ke tempat dudukku semula, jadi kami duduk bersebelahan.
Kami ngobrol, kebanyakan bercerita masa lalu yang manis. Tiba-tiba Hendrik mencengkeram kedua lenganku.
"Sally .." matanya tajam menatapku. Aku diam deg-degan. Mendadak tanpa kuduga Hendrik mencium bibirku. Nekat juga ini orang. Beberapa detik Aku merasai lumatan bibirnya di mulutku, lalu Aku berontak, kudorong tubuhnya.
"Mas! Sadar enggak sih kamu!"
"Sal .. Mas ngak bisa ngelupain kamu, hanya kamu wanita satu-satunya di hatiku."
"Sally tahu Mas, tapi sekarang Sally milik Jimmy .."
"Berilah Aku kesempatan buat melepas rindu, Sayang .." katanya lagi.
"Mas .. Sally isteri orang lho .. ngak boleh gitu dong."
"Sekedar melepas kangen, Yang .." katanya sambil mendekat lagi.
Tahu-tahu bibirnya sudah mendarat di mulutku. Aku mengelak, tapi mulutnya terus mengejarku tubuhnya memepet tubuhku. Tak bisa lain aku menyerah. Kubiarkan bibirnya melumati bibirku. Tangannya merangkulku. Aku langsung teringat di sofa ini dia pernah juga mengulumiku. Kenangan yang indah. Hendrik terus menciumiku, perasaan nikmat mulai menjalar. Tak boleh berlanjut. Kudorong lagi tubuhnya. Hendrik makin memperketat pelukannya. Tangannya mulai meremasi dadaku. Percuma saja Aku berontak, Hendrik lebih kuat. Lagi pula Aku mulai menikmati serangannya setelah jari-jari Hendrik mengelusi boba dadaku.
Oh .. dia telah membuka bra-ku!
Harus stop, tak boleh berlanjut.
Tapi rasa nikmat manjalar di dadaku dan terus ke bawah, dan Aku basah! Oh .. Mas .. jangan mulai! Aku bisa tak tahan .. Aku memang sedang kehausan .. tapi bukan begini, Aku bukan isterimu ..
Entah bagaimana tadi, kenyataannya Aku sekarang telah rebah di sofa dengan dada telanjang. Hendrik menindih tubuhku sambil terus menghisap-hisap boba dadaku.
Kurasakan Hendrik sekarang berbeda. Dulu cumbuannya begitu romantis, halus, kini nafsunya yang lebih kentara.
Bahkan rokku telah tersingkap..
Pinggulnya telah menindih selangkanganku..
Tubuhnya telah bergoyang-goyang ..
Selangkanganku merasakan kerasnya gesekan batang kontolnya, walaupun masih ada beberapa lembar kain di antara kelamin-kelamin kami..
Aku makin basah ..
Tubuhku mulai terangkat, rasanya ..
Sekonyong-konyong Hendrik bangkit gugup. Aku ikut bangkit, kulihat dari kaca jendela dua orang kawannya sedang menuju ke arah kami. Celaka!
Hendrik bisa dengan cepat berberes, karena pakaiannya memang belum terbuka. Tapi Aku? membereskan bra, menutup kancing blouse, mana sempat?
"Masuk aja .." bisik Hendrik.
Setengah berlari sambil tangan menutupi buah dada, Aku masuk ke ruang tengah, lalu langsung ke kamar. Aku menenangkan diri. Nafasku masih tersengal, gemetaran menahan sesuatu. Kurang ajar. Dibikinnya Aku tinggi, lalu dilepaskan. Hhh .. rasa menggantung memang tak nyaman. Aku ingin "diselesaikan" .. Aku butuh waktu beberapa saat lagi untuk menurunkan nafsuku yang terlanjur naik.
Ketika Jimmy pulang, entah kenapa Aku jadi salah tingkah. Aku tak berani menatap matanya. Aku merasa bersalah. Kenapa Aku tadi membiarkan Hendrik meremasi dadaku dan lalu menghisap-hisap bobanya? Bukankah semua yang ada dalam diriku --termasuk kedua buah kembar ini-- sudah menjadi milik Jimmy? Tapi Hendrik lebih dulu memacariku dan Aku dulu mencintaiku. Ah itu hanya alasan pembenaranmu saja! Tapi toh tak terjadi apa-apa antara Aku dengan Hendrik, tak lebih dari hisap-hisapan. Itu juga tak seharusnya kamu lakukan. Pokoknya tak boleh ada pria selain Jimmy yang boleh menyentuh tubuhmu. Tapi Jimmy jarang menyentuhku. Itu juga bukan alasan! Baiklah, Aku janji tak akan mengulanginya lagi. Oh, semoga Jimmy tak tahu perubahan perilakuku ini.
"Mas jahat begitu sih," omelku begitu esoknya Hendrik menelepon lagi.
"Sorry Yang .. habis kangen banget sih."
"Mas memang suka ganggu isteri orang ya?"
"Ampuun .. enggak lah. Sama sekali enggak pernah. Mas enggak ada maksud mengganggu isteri orang. Kemarin itu Mas hanya melepaskan rindu sama kekasih."
"Huh .. dasar .."
"Mas kesitu sekarang ya, Yang."
"Jangan!"
"Pokoknya Mas mau ke situ. Tunggu ya, daag." Telepon ditutup. Nekat bener.
Giliran Aku yang cemas. Konflik antara menolak kehadiran Hendrik karena ingin setia, dengan keinginan mengisi kesepian sambil mengulang kenangan manis. Antara menolak dan menginginkan. Mungkin terlambat untuk menolak. Hendrik sekarang sudah duduk di sofa sebelahku. Kali ini dia datang sendirian, dan pandai memilih waktu. Saatnya anak-anak kost sedang kuliah, Ayah dan Ibu pergi dan Si Randi dibawa baby sitter main ke tetangga. Dia juga pandai memanfaatkan waktu dengan efisien. Menolak kubuatkan minum tapi langsung mencumbuiku di sofa. Entah setan mana yang membujukku untuk menyambut lumatan bibirnya dengan lumatan pula. Hendrik makin "ganas". Tubuhku ditindih dengan ketat, seluruh mukaku diciuminya, lalu leherku. Dengan agak kasar dibukanya dasterku, lalu direnggutnya bra-ku. Mulutnya dengan rakusnya melumati kedua buah dadaku bergantian kanan kiri. Lalu turun ke perutku, pusarku dijilatinya. Terburu-buru dia membuka celana dalamku. Eh! Aku membantunya dengan mengangkat pantatku. Dan ..oh!
Mengapa Aku memberikannya? Bagaimana dengan janjiku kemarin?
Mengapa Aku mengizinkan lidahnya menari-nari di sekitar clitorisku?
Karena membuatku terbang melayang di angkasa?
Kalau kemudian Aku mendesah, melenguh, dan merintih-rintih, itu biasa. Tapi, di tengah rintihanku Aku minta Hendrik untuk segera masuk, adalah luar biasa bagiku.
Kenyataannya memang begitu.
Hanya dalam beberapa detik Hendrik telah bugil. Pemandangan yang telah biasa Aku lihat. Waktu pacaran dulu Aku sering mengelus-elus kontolnya yang kini sedang menuju ke selangkanganku.
Saat-saat awal masuk inilah nikmatnya. Dari kondisi basah, "hampa", dan melayang tak tentu, menuju pada kondisi "terpenuhi" dan pinggul mendarat kembali ke bumi, dengan "masa transisi" berupa simulasi-simulasi nikmat pada dinding-dinding memek. Masa pendaratan tak lama. Ketika pinggul Hendrik naik-turun, Aku kembali melayang-layang.
Hendrik memang keterlaluan. Kedua tangannya menyusup di bawah punggungku lalu mengunci tubuhku, dan dengan demikian dia bebas menyodokku dengan hentakan tanpa Aku bisa "mundur" apalagi menghindar. Tapi untuk apa mundur dan menghindar kalau hentakan tadi malah menambah sensasi kenikmatan?
Untunglah, walaupun dalam keadaan melayang-layang begitu Aku sempat ingat satu hal. Sehabis suatu sodokan, kedua tangan dan kakiku mengunci tubuh Hendrik sebelum dia menarik pinggulnya kembali. Aku peluk. Kubisikkan dekat kupingnya.
"Jangan keluarin di dalam."
Hendrik mengangguk-angguk, lalu memompa lagi begitu Aku mengendurkan kakiku.
Omonganku masih didengar, Hendrik menepati janji. Ditumpahkannya seluruh spermanya ke atas perutku. Banyak. Semoga dia tak telat mencabutnya. Aku memang sedang "polosan", tak memakai proteksi apapun..
Aku mengurung di kamar sendirian, menangis terus. Aku benar-benar berdosa, merasa diriku ini kotor. Aku telah membiarkan Hendrik, bekas pacarku, menyetubuhiku. Bodohnya, Aku menikmatinya. Isteri macam apa Aku ini? Cinta Mas Jimmy yang tulus telah kukhianati, hanya karena dia akhir-akhir ini jarang menyentuhku. Bukankah sibuknya Mas Jimmy untuk keluarganya, Aku dan Randy? Oh .. Aku hanya bisa menyesali dengan menangis terus-terusan.
Mengulangi suatu pengalaman yang memberikan rasa nikmat memang sifat manusia dan setan ada di mana-mana.. Beberapa kali Hendrik nelepon mau datang, telah berhasil Aku tolak. Untung Aku punya alasan kuat, Ayah atau Ibu sedang ada di rumah. Tapi pembicaraan teleponnya pagi ini membuatku tak kuasa untuk menolak.
"Aku kangen Sally, pengin ke situ."
"Ada Ibu Mas, lagian baby siter ngasuh di rumah."
"Kita jalan-jalan ke luar aja yuk."
"Kemana Mas?"
"Ya .. kemana ajalah. Aku jemput ya."
"enggak enak Mas, ada Ibu."
"Sally, Aku mohon kita bisa ketemu. Mungkin ini pertemuan untuk perpisahan."
"Kenapa gitu?"
"Minggu depan Aku pindah tugas ke Kaltim," jelasnya. Ke Kaltim? Oh, jauh amat. Tiba-tiba Aku merasa kehilangan. Baiklah Aku mengalah.
"Oke Mas, kita ketemu di Mall aja," kataku menyebut nama shopping center, beberapa menit dari rumah dengan kendaraan umum.
"Makasih, sayangku."
Satu jam kemudian Aku sudah di dalam mobil Hendrik yang dipacu keluar Jakarta.
"Aku ingin pertemuan kita ini punya kesan yang mendalam," katanya.
"Ke mana kita Mas."
"Ke tempat yang berkesan."
"Apa itu."
"Nanti kamu tahu." Kulirik jam tangan, jam sembilan lewat sepuluh.
"Jangan jauh-jauh Mas, waktuku terbatas." Saat makan siang Aku harus sudah ada di rumah. Mas Jimmy terkadang pulang untuk makan siang.
"enggak kok, bentar lagi sampai."
Mobil masuk ke pintu gerbang yang dijaga Satpam, lalu berjalan pelan menyusuri bangunan-bangunan semacam bungalow. Seorang lelaki setengah berlari memandu mobil sampai ke pintu garasi. Hendrik membawaku ke suatu motel tempat pasangan selingkuh berkencan. Ada rasa tak enak sebenarnya. Tapi karena menyadari bahwa hari ini adalah pertemuan terakhir dengan mantan kekasihku ini, Aku bisa menerima perlakuannya ini.
Di ujung garasi ada tangga ke atas dan berujung pada pintu. Melewati pintu ini kita masuk pada ruang dengan sofa set, ada TV besar, mini bar, dan kulkas. Lelaki tadi yang rupanya room-boy menyodorkan kuitansi dan langsung berlalu setelah menerima uang dari Hendrik. Aku duduk di sofa.
"Udah sering ya bawa cewe ke sini."
"Eemm .. sering sih enggak, sesekali. Maklumlah .."
"Jadi saya ini Mas anggap seperti mereka itu?"
"Eit, jangan begitu dong, Yang. Ini cuma masalah tempat."
"Ya, justru itu kenapa enggak di rumah Mas aja?"
"Adik Mas yang dari Jawa sekarang tinggal di rumah. enggak enak."
Meskipun masih ada rasa tak enak, kenyataannya Aku tak menolak ketika Hendrik mulai menciumiku di sofa. Lalu menelanjangiku sebelum dia juga berbugil. Lalu step berikutnya seperti yang sudah-sudah. Hendrik merebahkanku di sofa, membuka kakiku lebar-lebar untuk menempatkan tubuhnya diantaranya, mengarahkan kepala kontolnya ke selangkanganku, menekan, dan masuk. Lalu mulai bergoyang kiri-kanan dan memompa naik-turun. Tubuhnya kadang bertumpu di badanku sambil kedua lengannya mencengkeram, kadang bertumpu pada kedua telapak tangannya. Suatu proses tahap-tahap persetubuhan yang sama (dan biasa) yang dia lakukan beberapa hari lalu di rumahku.
Yang tidak biasa adalah ketika stimulasi yang dia lakukan mulai membuatku "naik", Hendrik telah "selesai". Ketika Aku mulai merasa melayang-layang, tiba-tiba dihempaskan kembali ke bumi tanpa penyelesaian yang nikmat. Ketika Aku sedang merambat naik menuju puncak kenikmatan, Hendrik telah orgasme. Beberapa hari lalu Hendrik mampu membawaku melayang tuntas, kali ini berbeda. Dia membuatku "tanggung", rasa menggantung.
Dia rupanya merasakan apa yang kurasakan. Pada second round di kamar yang keempat dindingnya dipenuhi cermin, benar-benar berusaha membuatku "tinggi". Seluruh tubuhku di eksplore dengan sabarnya, tak buru-buru masuk. Aktivitas Hendrik di cermin yang sedang memompa tubuhku terlihat jelas dan mampu menambah rangsanganku. Bahkan ketika Aku menggaknjal kepalaku dengan bantal, Aku bisa melihat keluar masuknya kontol Hendrik pada pintu memekku melalui cermin dinding di depanku. Aku memang sempat melayang tinggi, tapi apa boleh buat. Hendrik lagi-lagi keburu selesai.
Ah! Pertemuan perpisahan ini tak membuat kesan yang mendalam sebagaimana yang kami harapkan. Dua ronde persetubuhan hanya membuatku makin "geli-geli" saja. Dan tentu saja Aku lalu jadi gelisah sepanjang siang, sore sampai malam. Malam harinya Aku coba melampiaskan hasratku yang menggakntung ini kepada Mas Jimmy. Tapi lagi-lagi dia tak memberikan response positif atas "sinyal" yang kuberikan. Reaksi yang ditunjukkan Mas Jimmy cukup membuatku maklum, dia sedang tak berminat malam ini. Oh iya, ini memang bukan malam libur, masih 4 malam lagi, di mana Mas Jimmy akan melaksanakan kewajibannya memberiku nafkah batin, yang terjadwal dan jarang berubah!
Ketika malam semakin larut, Aku masih juga belum bisa tidur. Kupandangi wajah Mas Jimmy yang terlelap nyenyak disebelahku. Betapa damai wajahnya dan begitu bersih. Tiba-tiba Aku merasa sedih dan lalu menangis. Teganya Aku mengkhianati pria baik hati ini..
Aku bangkit dan duduk di depan cermin. Aku buka kancing baju tidurku. Sepasang buah bulat kembar ini masih indah. Mas Jimmy dan Hendrik sering mengatakannya. Apakah Mas Jimmy sudah tak tertarik akan keindahan ini? Dan Hendrik, oh .. tadi siang dia begitu rakusnya menciumi dan mengulumi bobanya. Bahkan dia berniat menggigiti dan dengan tegas Aku larang. Aku berdiri. Kupandangi tubuh bagian bawahku lewat cermin. Lengkungan-lengkungan itu masih menggiurkan. Begitu pula yang dikatakan dua pria terdekatku. Perutku masih bisa dikatakan rata, setelah punya anak. Bawahnya lagi? Oh, lagi-lagi Aku menangis. Menyesali mengapa Aku mengizinkan kontol lain selain milik Mas Jimmy memasukinya? Lama Aku terisak pelan sendirian. Untung Mas Jimmy begitu pulas. Seandainya dia tahu Aku menangis terus bertanya kenapa, bagaimana Aku menjawabnya?
Untunglah kini Hendrik telah pergi jauh, ke Kalimantan. Seandainya suatu saat dia datang lagi dan mengajak berhubungan seks, Aku akan mampu menolak tegas. Selain karena rasa bersalah pada Mas Jimmy, juga karena Hendrik "sama saja" dalam hal kualitas persetubuhan. Padahal Aku sudah berkorban dengan mengkhianati Mas Jimmy.
Bersambung ke bagian 03