Cerita Dewasa:
Kevin Demonic 2: Blood Sugar Sex Magic - 3
Dari bagian 2
Kulemparkan pandanganku ke arah jam dinding yang sudah menunjukan pukul setengah tujuh malam. Rupanya sudah sekitar tiga jam aku terlelap dalam tidur dan aku baru ingat bahwa malam itu aku ada janji dengan seorang kawanku.
"Malam ini si Felix ngundang aku ke klab-nya"
"Jam berapa?" ujar Irene singkat, "Biasalah jam 11-an biasanya kan emang jam segitu"
"Hmm.. Kamu mau makan malam dirumah apa nggak?"
Ada nada kurang suka dalam kata-katanya itu. Irene memang agak antipati dengan pria yang bernama Felix itu. Sekedar informasi buat para pembaca, Felix adalah anak dari Om Willy seorang rekan bisnis ayahku yang merupakan suplier dari barang-barang elektronik di toko peninggalan ayahku.
Seperti ayahku, Om Willy adalah seorang pengusaha keturunan yang cukup sukses dan dia mensuplai toko peninggalan ayahku dengan barang-barangnya yang merupakan hasil selundupan. Dia memiliki banyak bisnis lain dan salah satunya adalah sebuah klab malam yang cukup besar yang terletak di daerah Mangga Besar yang dikelola oleh Felix anaknya. Felix berumur sekitar 28 tahun dan dulu pernah naksir dengan Irene cici-ku. Irene tidak suka padanya karena selain terkenal playboy, dia juga dikenal suka memakai drugs dan yang kutahu sekarang dia menjadi bandar yang cukup besar. Semenjak peristiwa bulan Mei lalu, praktis dia tidak pernah berhubungan lagi dengan Irene karena memang Irene mengisolir diri dari kehidupan sosialnya. Sekarang karena semua bisnis dan kekayaan ayah berada di tanganku maka aku yang jadi sering berhubungan dengan dia.
"Iya.. Gua mau makan disini.. Gua lagi ingin makan nasi campur," ujarku sambil menyalakan rokok.
Kami memang belum punya pembantu buat masak jadi buat makan sehari-hari kita biasanya beli diluar. Irene bangkit dari ranjangku lalu membelai halus rambutku sambil berkata, "Mandi gih.. Biar lebih seger.. Kamu keliatan kucel banget.. Nanti biar aku suruh si Narto yang beli".
Aku membalas dengan mengeluskan tanganku di sepanjang lekuk pinggangnya yang samar-samar terlihat membayang dari balik daster tipis yang dikenakannya. Irene tersenyum hangat padaku lalu beranjak meninggalkan kamarku. Birahiku sejenak terasa bangkit namun bayangan Rima yang masih lekat dipikiranku membuat aku enggan melampiaskan nafsuku saat itu juga. Sore tadi Rima telah meninggalkan kesan yang begitu kuat dalam diriku hingga fantasi seksualku dengannya tampil dalam wujud mimpi buruk yang baru saja aku alami.
Pukul 22:30 WIB
Aku sudah meninggalkan rumah dan sedang mengarahkan mobilku ke daerah Mangga Besar yang terkenal dengan kehidupan malamnya. Sudah cukup lama aku tidak pernah mengunjungi tempat-tempat seperti itu karena kesibukanku mengurusi bisnis ayah yang cukup banyak dan memerlukan perhatian yang besar. Telah beberapa kali Felix mengajakku ke klab malam yang dikelolanya namun baru kali ini aku menyempatkan diriku memenuhi undangannya. Sepertinya tidak enak juga menolaknya kali ini. Biar bagaimanapun aku harus menjaga hubungan baikku dengan keluarga Om Willy yang merupakan mitra bisnis terpenting dari hampir semua usahaku. Agak aneh memang mengingat usiaku yang baru 21 tahun namun elah dihadapkan pada suatu dunia yang perlu tanggung jawab dan kedewasaan.
Memang untuk urusan sehari-hari aku percayakan bisnis peninggalan ayah untuk diurus oleh salah seorang pamanku yang dapat kupercaya namun biar bagaimanapun sebagai pemilik, mau tidak mau aku harus terlibat juga didalamnya. Memang semua ada harganya, seperti harga yang harus dibayar oleh ayahku atas perlakuannya padaku, kini akupun harus membayar harga atas sebuah jati diri yang baru dan kepuasan yang telah aku nikmati selama beberapa bulan ini. Mimpi-mimpi buruk itupun aku anggap sebagai suatu harga yang harus aku tanggung sebagai Kevin Demonic yang lahir di suatu malam yang penuh darah dan hawa nafsu (baca episode 1). Karena hanyut dalam renunganku tadi maka tanpa terasa aku telah tiba di tempat tujuanku sebuah klab malam yang cukup besar dengan papan nama yang bersinar oleh lampu warna warni yang mencolok mata. Biarpun besok masih hari kerja ternyata pengunjungnya cukup ramai terlihat dari susahnya aku mencari parkir.
Di depan pintu masuk aku disambut dengan senyum ramah dari Hans seorang pria bertubuh kekar yang telah kukenal cukup lama karena dia biasanya menjadi body guard Om Willy yang cukup sering berkunjung kerumahku dulu waktu ayah masih hidup. Pria berkulit gelap dan berambut kriting khas Indonesia Timur itu segera mengantar aku masuk. Klab malam yang dikelola Felix itu terdiri dari diskotik di lantai dasar dan ruang-ruang karaoke di lantai atasnya. Aku berjalan mengikuti Hans menembus ramainya pengunjung dan kabut akibat asap rokok yang memenuhi ruang diskotik itu. Aku diantar sampai ke sebuah meja yang sepertinya telah di-reserve khusus buatku. Seorang wanita yang berpakaian cukup berani menghampiriku dan diperkenalkan Hans padaku. Namanya Rani dan dia bekerja sebagai hostess disitu.
"Bung tunggu disini saja dulu, boss lagi ada tamu diatas.. Kalau perlu apa-apa tinggal bilang saja," ujar Hans dan setelah berbisik sesuatu pada Rina diapun segera beranjak pergi.
Akupun mencoba rileks dan menikmati suasana diskotik yang didominasi oleh dentuman irama house music yang cukup memekakkan pendengaran. Rani dengan gayanya yang manja dan akrab membuatku betah menunggu di situ. Wajahnya manis dan dalam suasana yang agak remang-remang makin tampak seksi ditambah busana ketat yang dikenakannya. Bagian toketnya terlihat kencang tersembul dari kaos ketat berleher rendah yang dikenakannya. Karena cukup bising, kami berbicara harus setengah berbisik dan tiap kali berdekatan, bagian dada Rani seperti dengan sengaja digesekkan ke lenganku.
'Srr' darahku berdesir tiap kali dada berukuran 38 itu bergesekan dengan lenganku. Tanganku kuangkat dan kukalungkan pada leher jenjang milik Rani agar tubuh kami kian rapat hingga dada yang kenyal dan ranum itu tersandar penuh pada dadaku. Dalam keadaan seperti itu yang ada dalam otakku adalah rileks dan bersenang-senang. Rupanya Felix cukup pintar menjamu tamunya dengan 'barang bagus' seperti Rani ini.
Dari hasil ngobrol-ngobrol kuketahui kalau Rani juga adalah seorang penari yang pada malam-malam tertentu tampil disini (aku penasaran akan jenis tarian yang dibawakannya). Dia mengaku keturunan Batak-Sunda dan baru berusia 17 tahun. Memang dalam suasana remang-remang dan tebalnya make-up yang dikenakannya sulit dipercaya apabila cewek 'aduhai' ini baru berusia 17 tahun. Baru saja aku hendak memesan minumanku yang kedua ketika sosok sangar dari Hans kembali muncul dihadapanku dan mengundangku naik ke atas menemui Felix.
"Bung Kevin, boss sudah tunggu diatas.. Ayo" katanya dengan suara berat sambil memperlihatkan sederetan gigi putih yang kontras dengan kulit legamnya. Akupun segera bangkit dan mengikuti Hans menuju ke ruang karaoke diatas.
Rani juga mengikutiku sambil menggandeng erat lenganku hingga tiap ayunan tanganku pasti menyentuh bukit lunak di bagian dadanya yang sepertinya sudah dipersiapkan buatku. Kami berjalan melewati koridor yang pada sisinya terdapat pintu ke ruang-ruang karaoke kemudian berbelok ke kiri memasuki sebuah ruangan vip yang berukuran lebih besar dari ruangan-ruangan yang lain.
Dalam ruangan itu terdapat sofa kulit yang panjang berbentuk letter U mengelilingi sebuah meja dengan permukaan kaca besar yang rendah. Cermin menutupi seluruh dinding ruangan dan ada 3 buah televisi buat karaoke tergantung di ketiga sisi ruangan. Ruangan itu terlihat dipenuhi asap rokok hingga seperti berkabut dan beberapa gelas minuman tampak diatas meja. Rupanya Felix tadi kedatangan tamu yang cukup banyak hingga suasana ruang itu tampak agak 'hingar bingar'. Tercium jelas aroma ganja dalam kepulan asap yang seperti awan mengambang dalam ruangan itu. Felix langsung bangkit dan menyambutku dengan jabat tangan erat disertai rangkulan akrab.
"Kevin!!" katanya setengah berseru, "Wah susah banget ketemu lo yah.. Rupanya bisnis lagi bagus nih.. Sibuk terus," katanya sambil menebarkan bau alkohol dalam nafasnya.
Selain Felix, ada dua orang pria lain yang bersamanya dalam ruangan itu. Keduanya memandangku dengan pandangan agak sinis dan penuh selidik. Mungkin mereka heran melihat ada anak 'kemarin sore' sepertiku tampak begitu 'dipentingkan' oleh Felix. Aku bisa memaklumi itu mengingat usiaku yang masih 21 tahun pasti terlalu 'kekanakan' untuk bisa dibilang memiliki sebuah bisnis. Akupun diperkenalkan pada kedua orang itu sebagai rekan bisnis Felix.
Yang pertama adalah seorang pria bernama Edi yang mengaku anggota (atau lebih tepatnya oknum) Polri berpangkat Kapten dan berdinas sebagai anggota intel (katanya). Dari logatnya yang khas, sepertinya dia berasal dari sebuah daerah di Sumatera dan berusia sekitar 30-35 tahun. Seorang lagi adalah pria bernama Erwin, sepupu dari Felix. Usianya kira-kira sama dengan Felix sekitar 28-29 th.
Setelah beberapa saat berbasa-basi dengan menanyakan ini-itu, Felix segera mebicarakan tentang sesuatu hal yang rupanya menjadi alasan sebenarnya dia mengundangku malam itu. Seperti yang sudah kuketahui, selain mengelola diskotik itu Felix juga punya bisnis 'drugs' yang cukup besar (jelas tanpa sepengetahuan ayahnya). Bisnis haramnya itu telah cukup lama dilakukannya namun dia cukup lihai hingga sampai sekarang belum terjamah oleh hukum. Malahan setelah mengetahui dengan siapa saja dia berbisnis, bisa dibilang justru dialah yang menjamah hukum hingga selalu bisa mengelabui petugas yang berusaha menangkapnya.
Felix kemudian menjelaskan tentang sebuah 'proyek' barunya dimana aku diminta menjadi mitra usahanya. Felix menjelaskan kalau dia memiliki rencana untuk membuat pabrik gelap yang memproduksi CD dan vCD bajakan. Awalnya aku sama sekali tidak berminat ikut serta namun setelah mendengarkan 'presentasi-nya' yang cukup 'brilian' aku jadi tertarik untuk melakukannya. Waktu itu di Indonesia ada dua pusat produksi (sebut saja bandar) CD dan vCD bajakan. Yang terbesar ada di Jakarta dan satu lagi di Medan.
Felix berencana untuk menjatuhkan keduanya dan merebut pangsa pasar mereka. Aku hanya diminta berpartisipasi sebagai investor yang pasif. Felix membutuhkan tambahan modal dariku sebesar 120 juta. Uang itu antara lain untuk membeli alat cetak vCD dari Taiwan serta buat pembangunan fisik sarana yang diperlukan untuk itu. Rencananya pabrik akan berlokasi di kota Surabaya. Di kota itu Felix memiliki kenalan dan channel yang cukup kuat di bea cukai dan kepolisian. Lokasi tepatnya adalah di sebuah kompleks panti asuhan yang sudah mau tutup karena kekurangan dana.
Felix sudah 'deal' untuk membeli tempat itu. Menurutnya tempat itu paling tepat dan aman buat lokasi pabrik gelapnya itu.
"Kita bisa membuka kembali panti asuhan itu sebagai kedok dan di bagian belakangnya kita bangun pabrik kita," ujarnya bersemangat.
"Dengan adanya panti asuhan kan kita jadi berbuat baik juga.. Hehehe," katanya dengan senyum menyeringai.
"Lantas mengenai pemasarannya gimana?" tanyaku penuh minat.
Ke bagian 4