Cerita Dewasa:
Kehidupan yang Indah 02
Sambungan dari bagian 01
Waktu aku kembali, Anya duduk di pinggir tempat tidurku dan lampu kamarku sudah diterangkan. Sambil duduk di sebelahnya, aku menuangkan air es untuknya. Sementara dia minum, aku mengambil bantal bersender di ranjang. Anya duduk merapatkan dadanya di depanku. Kajadian saling mencumbu yang hampir serupa dengan di atas terulang hampir mirip situasinya. Hanya bedanya kini Anya sudah mulai berani untuk menyelusupkan tangannya ke balik baju tipisku. Jari lembutnya bermain selancar di atas perutku. Dan aku senang sekali untuk dapat mainan baru. Sebuah gitar baru, yang aneh bentuknya. Gabungan saxophone dan gitar, dengan kemampuan sangat interactive sekali. Tapi 'saxophone'-nya dikulum, sangat berdimensi manusiawi, tidak seperti polygon di komputer 3D. Itu makanya jariku menikmati sekali untuk menelusurinya. Walaupun Anya masih seperti kado yang belum dibuka. Aku senang untuk bersabar menikmati kemasan sebuah kado sebelum membukanya. Bahkan sampai pada telapak kaki Anya, kuraba-raba di sana, bermain di antara jemari kakinya, memijat dan menggaruk. Bagian yang terbagus dari dirinya adalah dia hidup. Hmm, bukan menyamakan Anya seperti barang, cuma berusaha untuk menggambarkan betapa ia begitu hidup dan begitu nyata di pelukanku.
Kini Anya mengatakan sesuatu lewat jari kelingkingnya yang sesekali masuk terselip ke bawah karet celanaku. Entah aku peka dengan bahasa kecil ini atau memang aku yang niat. Aku hanya mengangkat karet celanaku dan membiarkan jemari Anya untuk menentukan sikapnya sendiri. Jemari itu merambat halus untuk menuju sesuatu di sana. Sesuatu yang begitu pribadi untuk dibagi.
Teramat banyak indera peraba di bagian pribadiku itu, sampai-sampai aku terhenti mengulum bibir Anya, ketika jemari itu melewati bulu-bulu yang halus. Mata kami saling menatap, saat jarinya mengusap kejantananku. Tapi hanya diam tertelungkup di atasnya. Tanpa mengubah jemarinya, ia menunduk. Aku harus menetralisir keadaan yang cepat itu. Kuucapkan kalimat ini dengan nada berbisik menjelaskan, yakin, lembut dan rancu pasti deh sepertinya, "Anya, Alvi tidak bermaksud untuk ngelukain kamu, tidak. Santai saja. Ini punya kamu kok, kamu bisa tutup kapan saja kamu mau, yang pasti aku tidak bermaksud ngelukain kamu kok. Santai yah sayang yah." Lalu dengan satu gerakan yang singkat, aku melepaskan celanaku melemparnya ke ujung ranjang, berikut celana dalamku. Kutahu Anya menatapku pasti dengan ketakutan. Tapi aku dengan cepat menebar selimut tebal yang memang ada di ranjangku, menutup dengkulku, setelah bersender kembali ke dinding ranjang di samping Anya. Aku benar-benar mendiamkan diriku, hanya tanganku yang kembali mengelus rambut Anya dari belakang. Aku membiarkan Anya untuk mengambil keputusan berikutnya.
Anya menundukkan kepalanya dan merebahkannya di leherku. Jemarinya membuat garis dari dada turun pelan dan berhenti di kejantananku yang kaku tertidur di perutku. Aku tidak tahu persis apa yang ada di otak Anya ketika meraba, mengusap, menekan, mencolek dan menggenggam kejantananku itu. Sesekali juga ia menggesek-gesekkan jempolnya ke lubang air seni, ya itu termasuk memainkan bagian biji zakar dan bulu-bulu halus yang mengitarinya. Aku hanya berkali-kali mengangkat pantatku, ketika sentuhan-sentuhan itu membawa paket-paket birahi ke otakku. "Itu punya kamu sayang." Demikian kalimat yang bisa kulontarkan berulang-ulang. Aku merasa dia sudah begitu santai. Satu komentar yang dia ucapkan cuma satu, "Besar". Beneran dia cuma bilang itu, aku tidak bermaksud menyombongkan kelamin. Aku sudah berhenti membanding-bandingkan kelamin sejak aku sadar bahwa otak dan perasaanlah yang bisa menaklukkan wanita, bukan dengan kelamin sebesar tugu Monas. Iya tidak sih? Walaupun aku tahu Anya menikmatinya, tapi aku ingin dia untuk tidak bosan.
Aku mengubah posisi untuk memeluk Anya dari belakang. Menata rambutnya ke samping, lalu aku melepas bajuku sebelum menaruh bibirku ke tengkuknya. Di sana banyak bulu halus yang berdiri. Yang perlu kulakukan hanya meraba bulu-bulu itu dengan lidah tanpa mengenai kulitnya. Namun sesekali aku menjilat panjang dengan seluruh lidah basahku, dari leher bawah sampai ke belakang telinganya. Nafas hidung di telinganya, jemari di perutnya, paha, pinggang belakang, bawah lengan dan ketiak. Anya menengadahkan kepalanya ke atas, sebuah tanda untuk memberikan seluruh bagian lehernya. Tangannya membelai-belai rambutku. Malah kadang kini kedua pahanya yang dibungkus rok mini itu, sesekali membuka lebar ketika jemariku meraba pahanya. Tapi aku tetap tidak menyentuh toketnya apalagi selangkangannya, itu ada waktunya sendiri bukan?
Anya tidak menolak untuk memudahkanku melepas kaosnya. Ia seperti terkulai lemah. Tapi aku sempat untuk melihat kerisihannya. "Aku cuma pengen kamu santai. Kamu rileks yah. Tenang, aku tidak ngelukain kamu kok. Aku cuma pengen kita sama-sama nikmatin. Aku pengen kamu nikmatin dan kamu lega bareng denganku. Santai yah." Sambil membisikkan itu, aku membelai-belai rambutnya, mengusap pipinya dan menciumi keningnya. Dan kulanjutkan dengan menciuminya secara halus di bibir tipisnya. Mungkin karena itu, Anya sama sekali tidak menolak untuk membuka penutup dadanya. Aku sendiri tidak yakin apa yang kulihat tentang toket itu. Sesuatu yang menggelembung tergantung menempel di dada Anya. Aku kebingungan mendeskripsikannya. Bagiku sama saja seperti wanita normal. Cuma sesuatu hal yang menarik dari buah kelaminnya, adalah bulu-bulu halus yang tumbuh melebat di sekitar bobanya. Halus sekali. Titik pori-pori yang halus membesar itu tersebar di sekeliling bobanya. Anya menunduk malu, sesekali melihat dan menatap reaksi mukaku. aku cuma bilang di sela mengatup kedua bibirku, "Hmm, makasih yah untuk jaga dan ngerawat mereka buatku." Aku tersenyum, dan Anya menunduk tertawa kecil sambil mengelus pipiku.
Kalian pasti tahulah, bagaimana sebagai pria, aku ingin langsung merawuk buah-buah itu. Untung sisi-sisi feminim dari maskulinku mengingatkan, bahwa dengan memperlakukan buah dada secara kasar bukan tindakan seorang gentleman, kali loh. Ya sudah, aku berusaha untuk mengalihkan perhatianku, sambil gombal. "Hmm, aku tahu sekarang Nya, darimana keindahan mereka berdua berasal," kataku sambil meraba pakai ujung kuku pada lingkaran luar buah dadanya. "Hmm.." Anya sudah malas bicara sepertinya. Tapi dia menatapku. "Asalnya yah dari kamu," jawabku polos. Anya tersenyum, "Kamu lucu." Kami tertawa. Padahal dalam hati aku sempat ingin protes, "Memang Srimulat, lucu," tapi aku batalkan, karena aku lebih penasaran dengan buah dada Anya. Kuputar-putarkan kukuku melingkari buar dada itu. Aku senang sekali untukn mengusap-usap di bagian bawah buah dada itu. Tanganku terus memainkannya, berganti kiri dan kanan, sementara aku terus mengelus rambut dan telinga Anya dari belakang. Mungkin Anya penasaran kenapa aku tidak menyentuh bagian bobanya. Dia sampai mengangkat-angkat dadanya, sesekali memutar dadanya kiri kanan, agar jariku tersentuh bobanya. Sedangkan tangannya hanya mengusap-usap satu lenganku, dan satu pahaku. Aku akhirnya tahu dia bertanya, karena dia 2 kali menatap bolak balik ke arahku terus ke arah dadanya tanpa ekspresi.
Waktu dia melihatku lagi, kugaruk pelan agak tajam dari arah perut, naik ke toket bagian bawah dan langsung ke bobanya. Mau tahu reaksi Anya? Anya langsung merem, menengadahkan kepalanya ke atas, menarik nafas panjang di samping leherku, mengagetkan khan. Setelah bermain seperti itu, aku mau memuaskan Anya, pikirku. Tidak ada penolakan waktu membuka rok mini itu. Hanya karena Anya sudah agak malas berdiri, atau mungkin bersikap manja. Anya hanya berusaha mengangkat pinggulnya, dan aku menurunkan rok kecil itu. Celana dalam tipis putih itu masih ada pada tempatnya. Aku mengusap-usap perut Anya seperti ingin menghangatkan perutnya dengan kedua tanganku. Aku tahu Anya memperhatikan mukaku sambil mengusap-usap belakang telingaku. Anya duduk bersender di dadaku. Kupeluk dari belakang, tapi sambil bermain jemari di pusarnya. Sesekali meraba paha bawah dan samping juga tengah. Aku membisikan kata-kata ini, "Rileks sayang, rileks. Alvi pengen buat kamu lega. Alvi tidak ngelukain kamu sayang." (Kalau dipikir-pikir lucu juga yah kalimatnya). Tapi hasilnya adalah otot paha Anya yang kini sudah rileks membuka. Satu kalimat yang jadi ide bagus buatku, untuk tema waktu itu adalah kalimat Anya yang meniruku, "Itu punya kamu sayang. Punya kamu," katanya berbisik lemah menggugah. Maksudnya yah, kemaluan Anya adalah milikku. Aduh senangnya.
Mau tahu yang kulakukan? Satu tanganku memainkan boba Anya dari belakang, sedangkan jemariku turun ke atas celana dalam Anya. Mudah untuk mencari asal lendir-lendir halus itu berasal. Ada belahan halus lembut di pangkal paha yang membasah. Aku hanya mengusapnya halus dua arah. Tapi aku membisikkan terus menerus kata-kata ini ke telinga Anya. "Tolong Nya, buat punya Alvi basah. Tolong keluarin punya Alvi, sayang, please, tolong sayang. Tolong keluarin sayang, tolong. Keluarin punya Alvi." Bisikan yang lembut tapi banyak artinya kan. Pertama-tama Anya hanya bereaksi, sesekali mengangkat pinggulnya, mengejangkan otot pantatnya. Namun lama kelamaan Anya mulai terpejam. Tangannya makin lama makin kasar membelai kedua pahaku yang ada di sampingnya. Dan Anya mulai menjawab berbisik pelan, "Iya, iya, Anya mau basahin punya kamu. Punya kamu Anya basahin." Nafasnya mulai keras terdengar. Aku sempat membesarkan suara bisikanku, jadi suara normal kalau lagi bicara. Dan Anya juga makin cuek bereaksi. Dia jadi bervolume suara sekeras omongan biasa. Tapi saat-saat itu rasanya seperti suara teriakan. Mungkin Anya sudah susah mengontrol suaranya, kalau ia menengadah bersender pada lenganku. Anya agak kuat bergerak, sehingga aku harus meletakkannya pada pahaku dan tetap manahan kepalanya dengan lengan. Sehingga kini aku juga kesulitan untuk membisikkannya.
Ekspresi Anya, ekspresi itu benar-benar tidak kulupakan. Mulutnya terbuka. Seringkali otot-otot pipinya menarik mulut kecil itu seperti ingin tertawa, namun dengan ekspresi seperti hendak menangis. Matanya terpejam dengan kedua alis yang sepertinya ingin dipertemukan di antara kedua matanya. Beberapa rambut menempel pada pipinya yang kian membasah memerah. Menoleh ke kiri dan berbalik ke kanan. Sayang sekali, andaikata mataku adalah sebuah kamera, itu adalah ekspresi yang diincar-incar fotografer. Bukan untuk diedarkan loh. Aku cuma begitu terbawa sekali ke dalam gambaran ekspresi itu.
Aku benar-benar amat tidak berpikir untuk mengeluarkan satu kosa kata ini, "Please, mainkan kontol Alvi sayang." Kupikir itu kasar sekali yah, ternyata Anya malah menjawab, "Anya mau mainin kontol Alvi." Kemajuan yang baik bukan untuk nakal-nakal sedikit dalam sopan santun percakapan kami. Semuanya amat ekspresif. Sampai suatu saat Anya, begitu tampak bertingkah seperti orang yang menangis. Mengerang. Aku sampai terdiam kaget, herannya tanganku tetap mengikuti kemana arah pinggulnya mengejang. Diangkatnya tinggi. Menarik pinggul dengan mengangkat dadanya tinggi-tinggi. Cengkraman kuat pada pahaku juga tarikan erat di leherku. Ditambah dengan efek audio suara menangis sambil mengejang tertahan. Itu bisa membuatku terangsang, hanya dengan mengingatnya saja. Aku merasa saat-saat yang tinggi itu sudah lewat. Iya benar loh, tidak sampai muncrat-muncrat sih dari celana dalam, cuma lebih basah dari yang tadi.
Aku cuma bisa membenarkan rambut-rambut Anya yang basah menempel pada wajahnya. Anya sepertinya lelah sekali dan bagiku tampak Anya lebih mirip tertidur saat itu. Maka kuambil bantal dan menidurkannya, sambil sebelumnya mengecup-ngecupnya berkali-kali pada keningnya. Aku sendiri tiduran di sampingnya, mengamati wajah cantik itu. Mengelus-elus wajahnya. Memperhatikan tubuh telanjangnya. Aku lebih konsentrasi untuk merekam pemandangan itu, bukan memikirkan kemaluanku sendiri. "Makasih sayang, untuk banyak hal. Kamu sudah ngasih aku kesempatan untuk ngebantuin." Anya hanya senyum, di tengah mata sayunya. Mencubit perutku.
"Kamu nakal," katanya.
"Kamu jago sih," kataku ngeles.
"Kamu tuh jago." kata Anya sambil nmegambil posisi untuk memelukku dari rebahannya.
"Eh, kamu kemana?" tanya Anya, waktu aku tiba-tiba bangun berdiri.
"Aku mau nangis," candaku, padahal sih aku cuma ingin mengambil minum, barangkali Anya haus.
Setelah minum basa basi, Anya kusuruh untuk terlentang lagi dan aku memandang tubuhnya yang masih berselimut kecil sebuah celana dalam. Aku hanya senyum-senyum menatap matanya, sambil senyum-senyum berdua. Aku memangku daguku di atas kedua toketnya, menatap sambil tersenyum pada matanya dan kepada ujung-ujung bobanya. Lalu tiba-tiba aku punya ide iseng saja. Aku duduk di samping Anya yang terlentang. Jemari-jemari Anya kupegang dengan jemariku juga. Kuludahi perlahan satu bobanya dari atas. Perlahan jatuh air liurku, menjadi sekumpulan air liur di toket lembut itu. Meludahi satu boba Anya yang lain. Air liur itu berjalan turun perlahan. Namun sebelum sempat air liur mengalir turun ke bawah, aku langsung dengan cepat menjilat kedua butir-butir liur itu dengan telapak lidahku, sehingga menjadi basah buah dadanya. Semula Anya agak keheranan menatapku. Tapi lama kelamaan Anya mengerti juga rupanya. Kami jadi sama-sama tahu bahwa memang air liur akan membuat risih jika terjatuh ke sprei ranjangku. Oleh karenanya Anya hanya menatap, tetapi jemarinya meremas erat ketika saat kritis, menyuruhku untuk cepat menjilatnya. Kadang ia juga memajukan dadanya untuk mempermudah aku.
Yang bikin nafsuku, kadang ia agak mendesih. Sedangkan aku memperhatikan kedua mata Anya, selain memperhatikan gumpalan-gumpalan air liur itu yang mulai mengalir. Anya memperhatikanku menjilati, sementara aku tetap memandangi saat menjilati air liurku. Sesekali kadang meniupi permukaan toketnya yang kini sudah basah semua. Kini perlahan aku mulai meludahi perutnya juga bagian pusarnya. Kali ini aku sempat senyum-senyum, soalnya perut itu datar. Bahkan sempat aku keluarkan rayuan gombal spontan yang kalau dipikir-pikir norak juga sih, "Aku seneng banget kalau kamu sedang nyihir aku seperti sekarang ini. Mau terus dong disihir." Anya sempat ingin bangun untuk meng-kiss aku tapi aku menahannya dengan menggenggam tangannya.
"Keberatan kalau aku buka?" tanyaku polos, sambil menunggu jawaban dengan kedua alis terangkat, dan senyum sok imut begitu di pipiku. Anya hanya menatap kosong kepadaku, tersenyum kecil dengan mengumpulkan kedua bibirnya di depan seperti hendak mengingatkanku.
"Iya, itu berarti.. atau..?" tanyaku sambil memberi isyarat menggeleng atau mengangguk.
Anya mengerjai aku. Jawabannya cuma dia merem, terus senyum memiringkan kepalanya saja. Karena jelas aku tidak tahu jawabannya, dalam detik-detik itu juga aku membuka pelan celana dalam Anya, sambil menunggu reaksinya. Ternyata Anya tetap terpejam dan mengangkat pinggangnya. Tetapi selebihnya Anya hanya meletakkan lemas kaki-kakinya, sehingga aku sempat agak kesulitan.
Barulah kini pemandangan Anya tanpa material penutup tubuh, telah terlihat di depanku. Sejenak aku sampai bengong begitu melihatnya, di depanku ada seorang model, polos, dengan paha terbuka di depanku. Benaran pikiranku sampai sempat kosong, tidak tahu harus berbuat apa. Kewanitaannya benar-benar biasa saja. Bulu-bulu pada permukaannya hanya halus teratur rapih. Aku tidak pernah menanyakannya, tetapi jelas sebagai seorang model ia harus merapikan bulu-bulu itu, sok tahu aku sih. Belahannya tidak berbibir, hanya sebuah garis rapat tampaknya. Dengan kedua bukit pipi mungil yang mengapitnya.
Bersambung ke bagian 03