Cerita Dewasa:
Sepanjang Jalan Kenangan (1)
Dengan kondisi badan yang cukup letih, kucoba konsentrasikan perhatian untuk mengendalikan mobil kecil biruku di keramaian jalan Tol Jagorawi. Masa liburan sekolah menyebabkan jalan bebas hambatan itu menjadi sangat ramai dan padat. Masih terbayang lambaian tangan istri dan ketiga anakku melepas kepergianku, pulang kembali ke Bandung dimana kami menetap. Aku yang tidak memperoleh cuti, terpaksa tidak dapat menemani mereka yang kusayangi, berlibur di kota tempat mertuaku tinggal.
Lepas gerbang tol, kubelokkan mobil ke kiri, menuju Ciawi. Kondisi lalulintas yang masih cukup lancar walaupun padat beriringan, membuatku lega. 2-3 Jam lagi tentunya aku sudah sampai di rumah dan tidur dengan nyaman.
Keadaan langsung berubah beberapa kilometer menjelang Cipayung. Lalulintas yang semula lancar, mendadak berhenti sama sekali. Jalan menuju Puncak dipenuhi kendaraan sampai 3 jalur, dan belum ada tanda-tanda akan bergerak. Sambil menggerutu dalam hati, kuperkeras suara radio di mobilku dengan harapan dapat mengusir rasa kantuk.
Di pertigaan jalan menuju Taman Safari, mobilku terhalang Angkot yang berhenti seenaknya mencari penumpang. Bahkan supirnyapun tidak berada di belakang kemudi. Kutekan klakson berulang-ulang, sambil berusaha mencari celah untuk melepaskan mobilku dari keruwetan itu. Hampir berhasil ketika aku dikagetkan oleh suara klakson dari sebelah kanan. Kutahu pasti berasal dari Angkot yang berhenti itu. Kurang ajar, sudahlah menghalangi jalan, masih berani membunyikan klakson. Niatku untuk memaki seketika pudar setelah melihat senyum manis dari 2 orang gadis dalam Angkot tersebut. Sambil berulang-ulang menekan tombol klakson, mereka seperti berusaha untuk bertanya melalui gerakan jari dan tangan. Sadar telah berhasil menarik perhatianku, salah seorang dari mereka mengeluarkan kepalanya lewat jendela dan bertanya,
"Mau ke Cianjur ya Om. Boleh ikut?"
Sejenak aku bimbang antara membolehkan atau menolak. Beberapa pertanyaan lain juga berkelebat dalam pikiranku: Apakah mereka baik-baik? Akankah mereka merampokku? Akankah mereka menyusahkanku? selain pikiran-pikiran nakalku setiap melihat wanita.
Akhirnya pikiran nakal dan jiwa petualangku yang menang. Kupinggirkan mobilku sambil menekan tombol Central Lock. Kedua gadis itupun masuk, sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman. Kamipun saling berkenalan dan bertukar nama. Yang seorang bernama Euis dan yang lain bernama Nyai. Mereka berdua tidaklah secantik kesan pertama saat melihatnya, tetapi cukup manis dan menarik. Keduanya masih mengenakan baju seragam SMEA dengan nama salah satu sekolah di Bogor yang tertulis jelas pada Badge di dada. Mereka terlihat masih sangat muda walaupun aku tidak terlalu yakin. Jaman sekarang ini, mudah saja mengubah penampilan dan menyamar untuk menjadi muda. Aku sempat memperhatikan tubuh mereka yang langsing dengan kedua toket yang baru tumbuh. Pikiran-pikiran nakal langsung menari-nari dalam kepalaku, yang membuat kemaluanku perlahan membesar dan mengeras. Tentunya akan menjadi pengalaman yang menyenangkan bila dapat meniduri mereka berdua. Tapi bagaimana caranya?
Perjalananku menjadi meriah dan ramai. Mereka berdua cerewet sekali, dengan logat asli Sunda yang masih kental. Dari cerita mereka, kutahu bahwa mereka bersekolah di Bogor dan pada saat liburan, mereka pulang ke orang tua mereka di Cianjur. Dasar pikiran kotor, sesekali kulontarkan kalimat-kalimat yang agak menjurus, yang dibalas dengan cubitan-cubitan. Pembicaraan semakin panas saat aku berhasil membuat mereka bercerita pengalaman masing-masing saat berpacaran.
Euis, yang menurutku lebih manis dan seksi, baru saja putus dari pacarnya yang Mahasiswa, sedangkan Nyai masih berhubungan dengan kakak kelasnya. Diluar dugaan, Nyai ternyata sudah sering berhubungan seksual dengan pacarnya, sedangkan Euis baru sampai tahap "Heavy Petting". Tidak adanya pengawasan di tempat mereka Kost menyebabkan mereka bebas berbuat apa saja. Nyai kehilangan kegadisannya saat hubungan dengan pacarnya baru berjalan 2 bulan. Mereka sengaja bolos sekolah saat itu. Di kamar kost dimana Nyai tinggal, mereka berciuman, saling meraba, meremas, sampai telanjang bulat dan hilang kendali. Hilanglah pula selaput daranya. Nyai bercerita dengan enteng dan terkesan tanpa perasaan bersalah atau menyesal. Dari cara duduknya yang gelisah, aku tahu kalau Euis yang kebetulan berada di bangku depan terpengaruh oleh cerita Nyai. Kupegang tangannya sambil kogoda,
"Kenapa? Pengen ya?"
Sambil tersipu-sipu dan berusaha menyangkal, Euis mencubiti aku di beberapa bagian badanku. Kutangkap tangannya dan berkata,
"Awas lho, kalo sampai kena 'itu' bisa bahaya."
"Itu apa?" tanyanya sambil terus mencubit. Pikiranku semakin kacau.
Di kota Cibadak, kubelokkan mobilku ke sebuah rumah makan. Turun dari mobil, kugandeng keduanya, tidak bereaksi. Kurangkul mereka berdua, tidak keberatan. Beberapa pasang mata pengunjung yang melihat kami dengan terheran-heran, tidak kami indahkan. Kami sepakat untuk memesan Sate Kambing sebagai makan malam. Sambil menunggu pesanan datang, kugoda mereka,
"Awas lho, abis makan Sate Kambing biasanya pengen nanduk."
Mereka tertawa sambil kembali mencubit. Pikiranku terus mencari jalan, bagaimana caranya membawa mereka berdua ke tempat tidur. Jalan ke arah sana kelihatannya sudah agak terbuka, tapi bagaimana kalau mereka menolak? Lalu kabur? Lalu melaporkanku pada pihak berwajib? Bisa runyam. Ini adalah satu cara untuk membuktikan cerita teman-temanku tentang gadis-gadis dari kota tempat asal mereka yang katanya "agak nakal". Kuhabiskan makanku dengan cepat, lalu kugoda mereka. Kugelitik pinggang mereka, kuelus leher mereka, seakan tidak sengaja, kusenggol toket mereka, dan kuletakkan kedua tanganku di kedua paha yang ada di kanan kiri tempatku duduk. Walau mereka berusaha mengelak, tapi tidak terlihat keberatan atau marah. Mereka tertawa sambil tersipu-sipu dan kadang membalas. Membuat pikiranku semakin tidak menentu.
Kembali ke lalu lintas jalan, aku terus berpikir. Kota Cianjur semakin dekat, tapi belum juga ketemu akal yang jitu, bagaimana ini? Dikejauhan terlihat Papan Penunjuk Arah. Terus, ke Cianjur Kota dan Bandung, kiri Mega Medung. Tiba-tiba muncul ide di kepalaku. Kutanya mereka,
"Mega Mendung itu apa? Perkebunan? Sebelah mana Pelabuhan Ratu?"
Walaupun aku tahu persis bahwa itu adalah daerah tujuan wisata yang berhawa dingin dan tidak ada hubungannya dengan Pelabuhan Ratu. Mereka berlomba menjelaskan bahwa itu adalah daerah wisata, tempat rekreasi, tempat anak muda Cianjur pacaran, dan lain sebagainya. Dengan nekad aku bertanya,
"Gimana kalau kita ke sana sebentar? Aku penasaran ingin tahu."
Tanpa kuduga, mereka tidak keberatan, bahkan terkesan senang. Waktu sudah menunjukkan pukul 22:30. Yess.. kelihatannya niatku tercapai.
Segera kubelokkan mobilku ke kiri, lalu kuikuti liku-liku jalan menuju ke tempat itu. Perlahan mulai terlihat beberapa penginapan di kiri kanan jalan. Aku masih khawatir, kalau kubelokkan mobilku masuk ke salah satunya, akankah kedua gadisku ini akan protes?
Saat kulihat penginapan yang agak terpisah dari yang lain, nekad kubelokkan mobilku memasuki halamannya.
"Kita istirahat dulu ya, capek," kataku sambil keluar dari mobil menuju ruang Receptionis.
Setelah membereskan administrasi dan langsung membayar penuh, aku kembali ke mobil sambil membawa kunci kamar. Penginapan ini memungkinkan mobil parkir pas di depan pintu. Kuparkir mobilku, kupastikan semuanya aman, lalu kamipun turun. Kuperhatikan muka mereka, agak kikuk tetapi tetap tidak terlihat menolak. Langkahku tinggal sedikit lagi.
Kamar yang kami masuki cukup besar. Ini adalah kamar termahal di penginapan ini. Terdiri dari 2 tempat tidur berukuran nomor 2, ada TV 21 Inchi, ada kamar mandi dengan air panas, tetapi tanpa AC. Bisa dimaklumi karena udara sekeliling sudah sangat dingin. Kukatakan pada mereka, bahwa mereka berdua tidur di satu tempat tidur, sedang aku di tempat yang lain.
"Jangan saling mengganggu ya," kataku pada mereka.
Kubuka tasku, kuambil perlengkapan mandi, dan juga piyama. Istriku tidak pernah lupa untuk menyiapkan segalanya. Istriku? Aku adalah pria beristri, lalu, apa yang kukerjakan di kamar ini? Bersama dengan gadis-gadis lain? Tapi setan nafsu ternyata lebih kuat. Akupun mandi dengan gejolak dan birahi yang sangat tinggi. Kemaluanku mengacung besar dan keras, ingin diremas, dihisap, lalu masuk ke rongga empuk yang basah dan hangat. Ach, pasti sangat menyenangkan. Kubersihkan dan kusegarkan seluruh tubuhku dengan air hangat. Selesai berhanduk, kusapukan pewangi yang menurutku baunya sangat maskulin ke sekujur tubuhku, termasuk di sekitar kemaluanku.
Tanpa mengenakan pakaian atasan, akupun keluar kamar mandi sambil mengeringkan kepalaku yang berambut cepak dengan handuk. Kubiarkan kedua gadisku melihat otot dan dadaku yang lumayan kekar dan bidang, walaupun tidak dilatih. Dengan sudut mata, kulihat bahwa kedua gadisku terpesona melihat pemandangan yang kusodorkan. Sambil pura-pura protes, kutegur mereka,
"Heh!! Bengong aja. Udah sana mandi! Pakai bajuku nich, daripada terus-terusan pakai seragam itu. Kotor khan?"
Kulemparkan pada mereka 2 buah Sweater, yang berbentuk leher V. Aku membayangkan, dengan baju hangatku yang pasti kebesaran untuk mereka, dada beserta garis toket pasti akan terlihat menggemaskan. Seperti terkaget, mereka melompat dari tempat tidur menuju kamar mandi.
"Hey, masak mandi berdua?" teriakku, yang tidak diindahkan oleh mereka.
Kuhidupkan TV, lalu kubaringkan tubuhku di tempat tidur sambil membayangkan 2 tubuh telanjang yang sedang berlumuran sabun di dalam sana. Kemaluan ku pun semakin besar, keras dan berdenyut-denyut.
Aku hampir tertidur saat mereka keluar dari kamar mandi, sambil menenteng seragam masing-masing di tangan. Sempat kulihat bahwa mereka berdua tidak lagi menggunakan BH, tapi mungkin masih menggunakan celana dalam. Sayang sekali. Pasti baunya akan menempel kembali ke kemaluan mereka masing-masing. Setelah menggantungkan baju seragam di lemari, mereka naik ke tempat tidur, masuk ke bawah selimut. Muka-muka kedua gadis muda yang sudah bersih dan segar semakin merangsang. Aku harus berhasil meniduri mereka malam ini, tekadku dalam hati.
Aku dan mereka sama-sama diam, sambil menatap TV walaupun aku yakin, pikiran mereka sama dengan pikiranku, tidak tertuju ke tayangan Angin Malam. Suasana di luar sangat sepi, membuat suasana semakin sunyi. Detak jantungku semakin keras, pikiranku semakin tidak menentu, sementara kemaluanku semakin mengeras, besar dan berdenyut. Aku masih khawatir. Akankah mereka teriak? Akankah mereka melawan? Ach, kalau tidak dicoba, bagaimana bisa tau? Kulemparkan bantal ke arah mereka, sambil berkata,
"Hey, koq pada diem?"
"Abisnya harus ngapain?" tanya mereka.
Sambil kurentangkan tangan, aku berkata dengan sedikit nekad,
"Mending ke sini yuk, biar anget."
Bersambung Ke Bagian 2