Cerita Dewasa:
Ayu Sang Kekasih 02
Sambungan dari bagian 01
Pertemuanku dengan Ayu berikutnya terjadi beberapa bulan kemudian. Waktu itu aku sedang menyiapkan tugas akhir kuliahku. Ia mengantar ibunya yang datang untuk suatu urusan dagang ke kota tempat aku studi. Aku sudah minta pada Bu Elly, ibu indekosku, kalau bisa mereka boleh tinggal di kamarku. Bu Elly orangnya baik, ia tidak berkeberatan. Ia bilang bahwa di kamar tengah ada kasur dan bantal ekstra serta selimut yang boleh aku pakai. Kuambil kasur dan kugelar di lantai di kamarku yang hanya 3 kali 3 meter. Hatiku ceria menyambut kedatangannya.
Besok paginya aku menjemput mereka di stasiun kereta api. Ayu memakai celana slacks hitam setinggi betis dan blouse berwarna merah. Rambutnya bergerai panjang. Tak tampak kelelahan pada wajahnya setelah perjalanan semalam. Kukecup pipi Ayu dan kusalami ibunya. Lalu aku bantu mereka membawa barang-barangnya. Dengan taksi kami menuju tempat indekosku. Mereka membawa mangga dan dodol untuk Bu Elly dan juga untukku. Pagi itu mereka istirahat di kamarku dan aku pergi ke kampus. Siangnya kuantar mereka ke relasi dagang ibu Ayu.
Sore hari, setelah mandi, aku duduk-duduk di kamar tamu ngobrol dengan Ayu sementara ibunya ngobrol dengan Bu Elly di kamar makan. Setelah berbicara tentang berbagai hal, tiba-tiba Ayu bertanya,
"Rik, apakah orangtuamu sudah tahu tentang kita?"
Aku belum siap untuk pertanyaan itu.
"Belum Ayu, nanti setelah sidang sarjana aku akan pulang membicarakan dengan mereka."
Wajahnya pun murung dan ia menunduk.
"Ada apa Ayu?"
"Aku takut Rik. Takut kalau mereka tidak setuju. Kita tidak sederajat. Kamu mahasiswa, sebentar lagi sarjana, aku cuma karyawati."
"Mengapa kamu bilang begitu? Aku tak peduli soal itu."
Dia diam saja. Kulihat air matanya menggenang. Kuambil sapu tanganku untuk mengusapnya.
"Rik, aku ingat masa kecil kita. Alangkah senangnya waktu kita anak-anak, kita hanya ingat bermain dan bermain. Yang ada hanya senang saja. Tidak ada kesulitan hidup."
Kugenggam tangannya. Aku merasakan hidupnya tidak mudah. Aku berjanji dalam hatiku akan membahagiakan dia kalau ia kelak menjadi milikku.
"Rik, andaikan kita sampai putus, aku akan pergi jauh.. jauh sekali."
"Mengapa kamu berpikir sampai ke situ Ayu?"
Bi Ipah keluar menyuguhkan teh bagi kami. Ayu mengusap airmatanya, menyibak rambutnya dan mencoba tersenyum,
"Terima kasih bi."
Setelah Bi Ipah meletakkan gelas-gelas itu di meja dan kembali ke belakang Ayu melanjutkan.
"Aku tak punya kepandaian, tak punya apa-apa. Kebanyakan gajiku untuk keperluan rumah dan sekolah adikku."
Memang ayahnya sudah pensiun dan ibunya dagang kecil-kecilan hingga ia harus membantu membiayai rumah tangganya.
"Kepandaian selalu bisa dicari Ayu, setelah ada kesempatan."
Tiba-tiba aku ingat bahwa aku mempunyai tabungan, hasil dari aku memberi les komputer yang jumlahnya lumayan.
"Ayu, aku punya tabungan. Tabungan kita. Hasil memberi les komputer. Sebaiknya kamu saja yang pegang Ayu. Kamu lebih tahu cara menggunakan uang. Nanti kutransfer. Dari orang tuaku sudah cukup untukku."
Segera Ayu berkata, "Jangan Rik, sebaiknya jangan."
"Milikku juga milikmu Ayu, percayalah."
Ia diam saja.
"Ayu, kamu percaya aku kan?"
Kutengadahkan wajahnya, "Senyum dong, jangan murung begitu." Iapun tersenyum sedikit lalu menundukkan kepalanya lagi.
Tak lama ibu Ayu keluar dan bergabung duduk dengan kami. Mungkin ia juga melihat bekas menangis Ayu. Malam itu kami tak kemana-mana. Setelah makan malam kami duduk ngobrol-ngobrol di kamar makan. Kami bercerita tentang berbagai hal. Tentang bisnis ibu Ayu, tentang studiku yang hampir selesai dan macam-macam lainnya. Kemudian kami pun masuk ke kamar.
Di kamar, ibu Ayu tidur di tempat tidurku sedang aku dan Ayu tidur di kasur yang di gelar di bawah. Lampu kamar kami matikan, tetapi tidak gelap benar karena ada sedikit cahaya dari luar. Udara di Bandung memang dingin hingga kami harus menggunakan selimut. Aku dan Ayu berada dalam satu selimut. Ayu rebah menghadap depan dan aku di belakangnya, seolah-olah membonceng motor. Wangi rambutnya menghambur ke hidungku. Aku dan Ayu pura-pura memejamkan mata tetapi tak lama, setelah beberapa saat tangan-tangan kami mulai "bergerilya" di balik selimut. Ayu memakai daster dengan ruitsluting di depan. Aku buka ruitsluiting itu, ia tak memakai bra hingga tanganku bebas meraba-raba toketnya. Aku lepas celanaku hingga aku cuma bercelana dalam. Tangan Ayu pun menyusup masuk meraba-raba penisku. Semua itu kami lakukan sepelan mungkin agar ibu Ayu tidak mendengar. Atau mungkin juga dia mendengar "kesibukan" kami. Kemudian kami "ngobrol" tanpa mengucapkan suatu katapun. Caranya? Dengan jari aku menuliskan huruf-huruf di telapak tangannya, setiap kali satu huruf, ia menjawab juga dengan cara itu di telapak tanganku. Bila salah tulis kuusap-usap telapak tangannya seolah-olah menghapusnya, ia juga begitu. Sampai sekarang kami masih tertawa kalau ingat cara berkomunikasi itu.
Tak lama kemudian aku mendengar ibu Ayu mendengkur. Nah sudah lebih aman sekarang. Ayu pun membalikkan badannya menghadap aku. Ia memeluk dan mengecupku. Kulepas celana dalam Ayu, dan ia melepas celana dalamku. Ia memegang penisku dan menggeser-geserkan ke memeknya. Ia menciumi leher dan dadaku Lalu ia kembali membelakangiku. Pangkal pahanya diangkatnya sedikit, memberi jalan hingga penisku bisa menyentuh memeknya dari belakang. Kucari lubangnya dan kudorong, dan masuk. Ia menggelinjang sedikit. Kugerakkan tubuhku ke depan dan ke belakang dengan irama tidak terlalu cepat. Kulakukan itu sambil tanganku meremas-remas toketnya. Setelah beberapa saat kurasakan tubuh Ayu menegang, ia menggenggam tanganku erat-erat, kudengar desahnya perlahan. Tak lama kemudian aku pun mengikutinya. Semua terjadi di bawah selimut. Sesaat kemudian Ayu bangkit keluar ke kamar mandi membersihkan diri. Setelah Ayu kembali, aku menunggu sekitar lima belas menit (agar tak ada yang curiga telah "terjadi sesuatu"), baru aku keluar untuk cuci-cuci. Sekembaliku ke kamar kutuliskan di telapak tangannya nice sleep dan kamipun tidur.
Besoknya aku bermaksud mengajak Ayu dan ibunya berekreasi. Tetapi ibu Ayu berkata ia tidak akan ikut, ia lebih senang tinggal di rumah, ia ingin membantu Bu Elly membuat kue. Apalagi relasi dagangnya berjanji akan datang ke situ. Kukeluarkan Vespa-ku. Ayu mengenakan celana slacks abu-abu dengan baju kaus berwarna krem. Baju kausnya yang ketat itu memperlihatkan lekuk-lekuk badannya.
"Kita kemana Rik?" Tanyanya.
"Kita ke pemandian air panas saja Ayu."
Kuboncengkan Ayu dengan Vespa-ku. Udara pagi itu cerah dan segar. Vespa-ku menikung-nikung mendaki jalan pegunungan. Ayu di belakang mendekap aku. Sekitar satu jam kami pun sampai di tempat pemandian air panas. Setelah memarkir Vespa aku membayar karcis dan masuk. Waktu itu bukan hari libur hingga sepi di situ. Setengah berbisik aku bertanya pada penjaga apakah bisa menyewa sebuah kamar mandi. Sebenarnya ada peraturan yang melarang menggunakan kamar mandi lebih dari seorang, apalagi dengan orang yang berlawanan jenis. Tetapi aku memberi uang lebih dan ia membolehkan aku. Setelah ditunjukkan tempatnya aku dan Ayu pun masuk ke kamar mandi itu.
Segera setelah kututup pintu kamar mandi kami langsung berdekapan dan berkecupan. Gairah mulai meluap. Ayu membuka celana jeansku. Aku juga membuka celana slacks-nya. Ia membuka bajuku, aku membuka kausnya. Ia memakai celana dalam dan bra berwarna biru muda. Aku juga cuma bercelana dalam berwarna biru muda yang tidak cukup lebar untuk menutupi penisku yang tegang menyembul keluar.
"Kok warnanya sama, tadi kamu ngintip dulu ya?" candanya.
"Itu namanya kalau jodoh," jawabku tertawa (tentu saja aku tak sengaja warna celana dalam kami bisa sama).
"Belum-belum kok sudah nongol gitu?" godanya sambil melirik ke bawah.
"Sudah kangen Ayu," bisikku.
Ia maju dan merangkul aku.
Kembali kami berpelukan dan bibir kami saling melumat. Kurasakan ia menempelkan erat-erat tubuh bawahnya ke tubuhku. Lalu ia jongkok di depanku dan melorotkan celana dalamku yang sudah tidak bisa menutupi penisku itu. Ia mengulum penisku, ia mengecup dan menjilati rambut-rambut di sekitarnya dan kantung bolaku. Lalu ia bangkit berdiri. Ganti aku jongkok di depannya, kucium perutnya, kuturunkan celana dalamnya dan kulepaskan, lalu kukecup rambut-rambutnya. Aku bangkit berdiri. Kulepaskan kaitannya bra-nya dan tak ada apa-apa lagi di tubuhnya. Kukecupi toketnya. Aku ingat teknik-teknik yang pernah kulihat di blue film dan aku ingin mempraktekkannya. Sambil berdiri Ayu merangkulku, lalu kulakukan penetrasi. Kubantu Ayu menaikkan kedua kakinya dan sambil kutopang, kedua kakinya itu melingkari tubuhku. Kuayun-ayun tubuhnya. Kami lakukan ini namun tak sampai orgasme. Kucoba pula posisi lain. Ayu berlutut dan membungkukkan badannya pada posisi menungging. Aku berlutut di belakangnya. Kupegang pinggulnya dan aku melakukannya dari belakang. Setelah beberapa menit orgasme terjadi, Ayu dan aku hampir bersamaan.
Bak mandi sudah penuh dari tadi. Aku dan Ayu masuk ke bak mandi. Ayu duduk di pangkuanku berhadapan denganku. Kami saling menyabuni tubuh kami, bercanda, bercumbu, sambil menikmati hangatnya air di bak itu.
"Rik, kamu kalau sudah lulus akan bekerja di mana?"
"Kebetulan ada sebuah perusahaan yang sudah mau menampungku Ayu. Di kota ini juga. Aku akan bekerja di bagian IT-nya."
"Senang ya Rik kalau jadi orang pinter. Engga kayak aku ini."
"Kamu juga ikut senang kok Ayu karena kamu akan jadi permaisuriku. Dulu waktu kecil kan kamu selalu jadi permaisuriku, dan sekarang juga."
Ia tertawa, "Eh, ada raja rupanya di sini."
Kumain-mainkan putingnya dengan jari-jariku dan ia menggosok-gosok penisku hingga tegang kembali. Kembali kudekap dia dan kuciumi dia. Ia mengangkat tubuhnya sedikit lalu kuarahkan penisku ke lubangnya lalu ia duduk kembali dan penisku sudah lenyap ditelannya. Dalam rendaman air hangat itu kami kembali menumpahkan kasih sayang kami. Kami berada di kamar mandi itu satu jam lebih.
Keluar dari situ hampir tengah hari. Kami pergi ke sebuah restoran untuk mengisi perut. Hari masih panjang. Aku belum ingin pulang, di rumah indekos sangat tidak leluasa. Kutanya pada Ayu bagaimana kalau mencari hotel untuk beristirahat di sana. Ayu tidak keberatan. Kami menuju ke sebuah hotel tak jauh dari situ dan memperoleh kamar dengan kamar mandi shower. Segera setelah kami masuk kekamar itu, kami segera melepaskan semua yang ada di tubuh kami. Kusergap dia dan kudorong dia ke tempat tidur. Kami melakukannya lagi. Di ruangan itu aku dan Ayu bebas melakukan apa saja. Kami mandi bersama sambil bercumbu di bawah siraman air shower yang hangat. Nonton TV bersama. Seluruh waktu kami lewatkan tanpa ada apa-apa yang menutupi tubuh kami. Setelah mencapai suatu orgasme Ayu menanyaiku,
"Rik, bagaimana kalau sampai jadi?"
Terbersit kekhawatiran di benakku karena aku sebenarnya belum siap untuk itu.
"Anak kita pasti lucu ya," jawabku seadanya sambil mengusap-usap perutnya.
Karena lelah kami sempat tidur selama beberapa jam di hotel itu, berpelukan dengan tubuh telanjang. Kami pulang sore hari dan tiba di rumah indekos menjelang gelap.
Bu Elly bertanya, "Kemana saja kalian?"
"Habis berenang dan keliling kota bu."
Aku bisa menangkap sinar kecurigaan di matanya. Malam itu kami tak banyak melakukan "gerilya" di bawah selimut karena kami sudah cape. Esoknya aku mengantar Ayu dan ibunya ke stasiun untuk kembali ke kotanya. Setelah kusalami ibunya, kuberikan sun pipi pada Ayu. Ia berkata,
"Sukses ya Rik ujiannya. Jangan lupa cepat beri kabar setelah tahu hasilnya."
Dua bulan kemudian. Tiba saat sidang sarjana. Sejak pagi aku sudah siap dengan kemeja berdasi. Aku sudah berusaha sebaik mungkin mengerjakan tugas akhirku, tetapi toh aku aku tidak bisa melenyapkan rasa tegangku ketika berhadapan dengan tim penguji. Mereka baik tetapi tampak angker sekali. Pertanyaan demi pertanyaan diajukan dan aku berusaha menjawab semuanya. Setengah jam aku harus menunggu keputusan hasil sidang dengan debaran jantungku hingga beberapa kali aku harus ke kamar kecil. Tim penguji kembali masuk ke ruangan dan aku dinyatakan lulus dengan cumlaude. Sorakan meledak di ruangan itu, teman-temanku menyalamiku. Sayang sekali Ayu tidak ada di situ. Kukirimkan telegram kepada orang tuaku dan tentu tak lupa pada Ayu. Kuterima telegram balasan dari Ayu yang menyatakan selamat atas kelulusanku.
Beberapa hari kemudian surat Ayu menyusul. Ia menyatakan kebahagiaannya dan keluarganya atas keberhasilanku. Ia juga bercanda,
"Kapan pestanya?"
Tetapi aku terhenyak membaca akhir surat,
"Rik, aku sedang bingung. Sudah dua bulan aku tidak mens."
Sekarang Ayu hidup bersamaku dengan dua orang anak. Aku teringat permainanku semasa kecil. Aku pangeran mempersunting Ayu, gadis sederhana, menjadi puteri di istanaku. Kemauan belajarnya besar, ia mengambil les komputer, bahasa Inggeris, memasak dan sebagainya. Seperti aku ia juga suka membaca. Aku bahagia memiliki Ayu.
TAMAT