Cerita Dewasa:
Ita, The Wild Girl - 1
Ceritaku sebelumnya, "Ria, My First Sex Partner" mendapatkan respons positif dari pembaca. Setidaknya aku mendapatkan nilai B. Entahlah apa yang pembaca inginkan dari sebuah cerita sex? Apakah sebuah cerita dengan gaya bahasa sastra yang rumit ataukah cerita dengan bahasa apa adanya? Apa pun itu, aku akan mencoba tetap menulis dengan gayaku sendiri, karena aku yakin pembaca suka karya yang orisinil.
Aku juga mendapatkan email yang isinya menanyakan wanita yang pernah bercinta denganku. Mohon maaf, setelah merundingkannya dengan wanita tersebut, maka permintaan seperti itu tidak akan aku layani. Jika memang serius, silakan kirim foto anda ke emailku, dan akan kuteruskan ke wanita-wanita tersebut. Ada juga email dari beberapa pembaca wanita yang isinya mengajak berkenalan. Thanks a lot girls! Aku sampai detik ini percaya bahwa aspek sex bukan yang utama bagi wanita. Karena itu, kunci utama untuk berkenalan dan menjalin hubungan denganku bukanlah sex, tapi persahabatan.
Untuk yang belum pernah membaca ceritaku, kenalkan. Aku Fire Maker, usia dua puluh tahunan, keturunan Chinese-Canada. 180 cm/73 kg. Jika pembaca tertarik menjadi temanku, email saja aku, pasti kubalas.
*****
Ita, waktu itu berusia 23 tahun. Aku mengenalnya sejak SMP. Tubuhnya 163 cm/49 kg. Ita ini hobinya makan dan tidur. Karena itu berat badannya sangat fluktuatif. Pertama kali kenal, Ita adalah seseorang yang cukup padat tubuhnya dengan berat 55 kg. Pernah pula aku bertemu dengan Ita yang gemuk sampai 65 kg.
Jika kalian para wanita merasa tidak percaya diri dengan berat badanmu, tirulah Ita. Dia tidak pernah minder atau rendah diri. Senyumnya selalu mengembang. Orangnya ceria sekali, bertolak belakang dengan Ria. Di samping itu, Ita sangat tangguh dalam mengejar berat badan ideal. Karena itu, aku sempat sangat terkejut menemukan Ita yang langsing.. hanya 49 kg! Sebuah usaha yang patut mendapatkan penghormatan dariku.
Karena sifatnya yang mudah bergaul plus wajahnya yang cantik, sejak SMP Ita sudah mengenal pacaran. Sampai kemudian di SMU, kami satu sekolah juga. Jumlah cowok yang mengisi hari-hari Ita semakin banyak. Naik kelas 2 SMU, kami satu kelas. Karena aku dianugerahi IQ yang tinggi (151), pelajaran yang oleh sebagian besar teman-temanku sulit dicerna terasa mudah bagiku. Karena itu tak heran jika PR-ku sering dicontek teman-temanku. Aku memang dengan bebas mempersilakan siapa pun belajar dariku, kecuali waktu test. Teman-temanku sering mengganti istilah 'menyontek' dengan 'belajar waktu test'. Ada-ada saja. Tetapi aku agak 'pelit' untuk yang satu ini.
Ita adalah salah satu teman wanita yang minat dan kemampuannya kurang di pelajaran eksak. Karena rumahnya tidak jauh dari rumahku, maka Ita adalah salah satu teman yang paling rajin ke rumahku. Keluarga kami saling mengenal dengan baik. Jadi kehadiran Ita di rumahku sudah seperti keluarga sendiri. Ita bebas keluar masuk rumahku, kecuali keluar masuk kamar tidur tentunya.
Bahkan sampai kuliah, walaupun berbeda jurusan, kami tetap satu universitas. Ita semakin modis dan cantik. Rambutnya disemir kecoklatan plus ion dengan busana yang mengikuti trend. Benar-benar tipikal gadis yang mengikuti perkembangan jaman. Waktu itu aku ingat Ita baru putus dari pacarnya sebulan yang lalu. Aku tahu karena aku beberapa kali menjadi teman curhatnya. Suatu sore, Ita meneleponku.
"Boy.., gue ditembak Yudha kemaren.. Wuih.. Gak nyangka anak kuper begitu seleranya tinggi amat.." cerocos Ita cerewet.
"Hah? Maksud lo.. Anak yang suka ama lo berarti seleranya tinggi. Gitu?" tanyaku keheranan dengan kepercayaan dirinya. Over confident nggak ya, kira-kira?
"Lha iya, lah! Gue kan cantik, baek, sexy, lembut dan bersahaja.."
"Hehe.." aku tertawa.
"Lho.. Kok diketawain? Bener kan, Boy?" Ita nggak terima ditertawakan.
"Hm.. Iya deh, Ita memang cantik dan sexy. Baik juga ama Boy. Tapi kalo lembut.. Hmm.. Gimana ya.. Agak kurang pas deh.."
"Waah, ngeledek lo! Aku kan lembut..!!"
"Apanya yang lembut, Ita?" tanyaku pelan sambil agak berbisik.
"Ada deh.. Boy mau tahu aja..!" jawab Ita membuatku bertanya-tanya.
Aku yang tadinya tidak berpikir macam-macam ?alias murni bercanda-, sekarang jadi curiga.
"Ya boleh dong Boy dikasih tahu kelembutannya Ita.." jawabku makin berbisik.
"Hii.. Merinding aku dengar suaramu!" kata Ita agak keras. Kami tertawa bersama.
"Tapi aku nggak naksir Yudha, Boy.." kata ita kemudian.
"Oh.. Pasti naksir Boy, kan?" godaku. Kalau betul, wah, lumayan.
"Yee, GR! Pengen laku yah?" ledek Ita.
Waduh.. Kok sepertinya aku jelek sekali sampai Ita bicara seperti itu. Tapi emang sih aku masih jomblo..
"Trus naksir siapa, Ita? Kamu boleh cerita ama aku kalau kamu mau.."
"Hm.. Itu, si Hendra. Anak angkatan atas.. Dia cakep, bodynya keren.. Sexy! Dan bibirnya.. Ugh.. Pengen kucium sepuasnya!" Ita mulai ceriwis.
Dia tidak sadar aku mendengarkannya dengan terkejut. Wah.. Anak ini.. Tapi memang sasaran Ita si Hendra anaknya cakep.
"Lho, Ita.. Aku kan tingginya nggak beda jauh ama Hendra? Body-ku juga pas kan? Bibirku juga sexy. Kenapa lebih memilih Hendra?" godaku lebih jauh. Aku tiba-tiba ingin tahu posisiku di matanya. Padahal.. Aku sama sekali tidak menyukai si Ita.
"Tau ah! Pokoknya Hendra! Gimana Boy.. Aku mau kirim surat ke Hendra nih!"
"Ya.. Terserah lo aja, Ita. Mau kirim surat ya kirim aja. Lo kan pede orangnya. Masa ginian aja nanya ke aku?" jawabku sekenanya.
*****
Besok siangnya, sepulang kuliah aku santai di ruang keluarga. Papa mamaku belum pulang kerja. Adik-adikku sedang tidur siang. Pembantuku juga tidur mungkin. Aku sedang mengotak-atik komputer saat itu. Seingatku waktu itu aku sedang membuat mini games dengan Turbo Pascal. Kudengar pintu pagar terbuka disusul suara anjingku yang menggonggong menyambut tamu yang rupanya sudah dikenalnya. Ita.
"Hai Boy.. Lagi ngapain?" Ita segera duduk di sofa sambil melihat ke komputerku.
"Lagi nyoba bikin semacam game petualangan. Tokohnya seekor anjing yang berusaha mengumpulkan benda-benda untuk menyelamatkan anak-anaknya yang diculik penjahat."
"Hm.. Ngeganggu ya? Aku mau curhat boleh?" Tanya Ita.
Tentu saja boleh. Game computer bisa kubuat kapan pun. Segera aku simpan pekerjaanku dan kumatikan komputerku.
"Tentang si Yudha atau si Hendra?" tanyaku menebak.
"Hendra. Aku nggak nyangka dia seperti itu."
"Emangnya ada yang salah dengan Hendra? Kamu jadi mengiriminya surat?"
"Aku memutuskan untuk bicara langsung dengannya. Kalau ditolak, tidak masalah. Yang penting tidak ada bukti tertulis aku pernah menyukainya. Kalau dia sok banget lalu cerita ke teman-temannya, aku bisa menyangkalnya."
"Wah.. Kamu cerdas juga.." komentarku. Emang bener sih.
"Hendra menerimaku, Boy. Tapi langsung aku putus lagi dia. Brengsek tuh anak."
"Lho, ada apa? Kamu menyukainya. Hendra menerimamu, kenapa batal?"
"Ya emang bener kita saling menyukai. Tapi si Hendra ternyata nafsu sekali. Masa begitu kami jadian, dia langsung kiss aku, Boy!"
"Hm.. Gak masalah kan jadian lalu kissing? Bagimu terlalu cepat ya?" tanyaku mencoba memahami Ita.
Aku banyak mendengar cerita dari teman-temanku yang langsung kissing pada hari jadian mereka. Jadi, aku menganggap hal itu biasa terjadi.
"Ya bener nggak masalah. Tapi masa kissing belum apa-apa, tangannya sudah mau menjelajahi tubuhku. Meremas toketku. Wah.. Cowok apaan tuh? Emang pacaran buat apaan? Nge-sex?" protes Ita. Kali ini kuakui Hendra memang terburu nafsu. Tapi aku ingin memancing Ita lebih jauh lagi.
"Lho.. Kan nggak harus diputus? Beri kesempatan dong. Lagian, seingatku, kemarin kamu memuji keseksiannya. Bibirnya yang menarik.. Kok sekarang begini? Wajar kan cowok begitu? Salah sendiri kamu cantik dan sexy, Ita?" tanyaku lagi.
"Bener aku cantik dan sexy menurutmu, Boy?" Tanya Ita. Suaranya terdengar agak berat. Menurutku dia mulai ingin menangis.
"Ya, kamu cantik dan sexy.. Wajar kalau Hendra ingin menyentuhmu.." aku agak nekat berkata seperti ini. Perkataanku kali ini keluar dari jalur empatiku terhadap Ita. Resikonya Ita akan berpikiran aku seperti hendra. Tapi ternyata Ita agak memerah mukanya. Aku belum berani mengartikan perubahan warna mukanya.
"Kalau Boy.. Apa ingin menyentuhku?" bisik Ita.
Kali ini aku seperti disambar petir. Sungguh di luar dugaanku. Sekian detik aku berusaha mencerna maksud kalimatnya. Merekonstruksi kejadian telepon kemarin, kisah Yudha, dan Hendra. Aku punya dugaan, tetapi aku belum yakin. Tiba-tiba darahku berdesir. Aku tegang memikirkan kata-kataku selanjutnya untuk memancing apa maksud Ita.
"Hm.. Ita terlalu berharga untuk sekedar di sentuh.." bisikku. Kali ini aku menyelidiki matanya. Eyes never lies. Pupil matanya mengecil. Ita menyimpan sesuatu.
"Lalu apa yang ingin cukup berharga untuk Boy lakukan terhadap Ita?" tanyanya kemudian.
Dugaanku semakin kuat. Aku hampir melonjak kegirangan ketika menemukan kesimpulanku. Tapi aku bukan pria yang gegabah. Aku masih membutuhkan tambahan informasi untuk dugaanku. Kurasakan kontolku ereksi. Entahlah, kalau otakku lagi menaikkan kinerjanya, seringkali kontolku ereksi.
"Kalau aku.. Aku akan membuat Ita melayang. Menembus awan, terbang ke langit merasakan kebebasan. Ya.. Boy mungkin akan jauh lebih berani dari Hendra.."
Aku berdebar menantikan reaksi Ita. Aku berharap pembaca mengerti. Dalam dugaan di pikiranku saat itu, cerita tentang si Hendra adalah rekayasa Ita. Aku sudah pada satu kesimpulan bahwa Ita menyukai dan menginginkanku. Dan Ita memancingku untuk mengetahui seberapa berani aku terhadapnya. Tetapi memang dugaanku ini menyisakan kemungkinan untuk salah. Jika ternyata Ita jujur, maka aku sudah telanjur mengungkapkan hasratku. Aku setali tiga uang dengan hendra. Menginginkan tubuh Ita.
"Bagaimana cara Boy membawaku terbang melayang..?" bisik Ita sambil mendekatkan wajahnya.
Aku mulai bisa merasakan hangat nafasnya. Aku jadi takut melangkah. Seharusnya aku sudah menciumnya saat itu. Merengkuh tubuhnya dan menunjukkan caraku membawanya terbang melayang. Daripada dengan kata-kata, jauh lebih baik dengan perbuatan. Tapi justru sikap Ita membuatku hati-hati. Kontolku semakin tegang. Gila.. Apa maksudmu, Ita?
Sedetik.. Dua detik.. Tiga detik.. Dan aku memutuskan untuk tidak menciumnya.
Ke Bagian 2