Cerita Dewasa:
Hutang 06
Sambungan dari bagian 05
THE BEST PART (HARVEST SEASON)
Schyte yang terayun
Lima hari sebelum deadline
"Tidak, aku tidak bisa," pemuda itu mendorong tubuhnya bangkit.
Napasnya tersengal, keringat mengucur di sekujur permukaan kulitnya. Menutupi kedua wajahnya dengan talapak tangan, ekspresinya menggambarkan bahwa suatu perasaan galau berkecamuk.
"Ray?" gadis di atas sofa berbisik lirih. Kepasrahan yang menyelimutinya belasan menit lalu membuat air matanya menitik keluar.
Berusaha menutupi ketelanjangannya, Dewi mengangkat tubuhnya.
Si pemuda tidak mengatakan apapun. Sikapnya diam bagai batu. Sebuah sentuhan telapak tangannya di punggung Ray, Dewi merasakan tubuh pemuda itu bergetar. Helaan demi helaan napas terdengar kemudian.
"Kamu kenapa, Ray?"
Tiba-tiba, pemuda itu melepas tangannya, menepis sentuhan di tubuh belakangnya. Kepalanya tertoleh. Dewi terhenyak saat melihat ada air mata di situ.
"Jangan," desis Ray, nadanya berat dan dalam.
"Ray, kamu kenapa?" bisik Dewi gelisah.
Pemuda di depannya bergesar menjauh. Pandangannya beralih ke lantai. Rambut-rambut yang semula lengket di lehernya, jatuh membentuk tirai menutupi wajahnya. Dewi tidak berani mendekat. Tidak berani menyentuh lagi.
"Aku," Ray berbisik, "Aku sudah membuat dosa."
Alis si gadis berkerut. Ia diam, menunggu kelanjutan dari si pemuda. Ray menoleh, menatap Dewi dengan matanya yang merah. Mereka saling bertatapan. Sejuta kata mengalir tanpa dapat dimengerti. Ray mengulurkan tangannya, menempelkan telapak tangannya di pipi gadis di depannya. Dewi memejamkan mata. Ia dapat menangkap satu kesedihan di situ. Air mata jatuh lagi.
"De, aku sudah berdosa padamu," pemuda itu berbisik lagi.
Hati Dewi bergetar. Sejak awal ia sudah tegang saat Ray benar-benar mengajaknya ke rumah pemuda itu. Ia kemudian tidak juga mengerti, mengapa ia dapat terlena seperti itu saat Ray memeluk dan menciuminya. Ia tidak mengerti, mengapa ia dapat begitu pasrah saat pemuda itu menelanjanginya, menyentuh semua bagian tubuhnya. Lama Dewi memejamkan mata. Kalau dosa itu yang dimaksudkannya, maka Dewi dapat bernapas lega. Karena dosa itu belum terlalu dalam. Belum sempat terjadi apa-apa.
Gadis itu menggerakkan kepalanya. Dengan memejamkan mata, ia mengecup telapak tangan si pemuda. "Aku tahu, Ray," bisiknya lirih.
"Kamu tidak tahu," Ray mendesis.
Dewi membuka mata, menatap pemuda itu heran. Ray menarik telapak tangannya, meraih selembar kaos yang tergeletak di lantai, lalu memberikannya pada Dewi.
Sebuah senyum di wajah pemuda itu saat ia berbisik, "Kamu pakailah."
Dewi membalas senyuman itu, mengambil baju yang disodorkan, lalu memeluk baju itu di depan dadanya.
Dingin sekali di dalam ruang tamu itu. Di tengah gelap, kesunyian datang lagi. Ray memiringkan tubuhnya dan meletakkan sisi tubuhnya di atas kedua paha telanjang si gadis. Dewi mengulurkan jemarinya untuk membelai rambut ikal si pemuda. Benak gadis itu melayang-layang. Betapa ia mencintai sosok satu ini. Sekarang tambah satu point yang meyakinkannya. Pemuda itu tidak berniat sama sekali untuk memilikinya secara fisik. Pasti itulah sebab mengapa ia menghentikan semua kenikmatan khayal tadi. Pemuda ini, batin si gadis, tahu kapan harus berhenti.
"De..?" si pemuda memanggil namanya, Dewi membuka matanya yang sempat terpejam saat kesunyian melintas tadi.
"Hmm..?" desahnya dengan nada bertanya.
"Aku mempermainkanmu. Kamu sadar itu?"
Jatung Dewi seolah berhenti berdegup. Sisiran jemarinya di rambut si pemuda terhenti. Ia seolah terbetot dalam suatu tanda tanya besar yang mengerikan.
"Apa maksudmu?" bisik gadis itu. Nada suaranya bergetar ketakutan.
Masih di atas paha telanjang si gadis, Ray memiringkan kepala, mengecup kulit yang putih bersih itu. Lalu ia menghela napasnya dalam-dalam.
"Aku memang berniat mempermainkanmu. Hanya saja, aku merasa kamu terlalu berharga untuk kupermainkan."
Dewi memejamkan matanya. Entah perasaan apa yang berkecamuk di hatinya saat itu. Air matanya mengalir ke pipi.
"Aku tak mengerti, Ray," bisiknya sendu, "Aku tak mengerti."
Ray mendorong tubuhnya ke dalam posisi duduk. Kepalanya tertoleh, menatap wajah gadis di sampingnya. Senyum mengembang di wajah pemuda itu.
"Kamu tak harus mengerti," bisiknya kemudian, sebelum membungkukkan tubuh, memunguti pakaiannya yang berserakan.
Dewi tidak berkata apapun, memejamkan mata, menggigit bagian bawah bibirnya, membiarkan keheningan mengiringi air matanya yang mengalir. Ia dapat merasakan saat pemuda itu bergerak, mengenakan pakaian, lalu bangkit berdiri. Ia tidak mendengar dan merasakan apa-apa lagi. Khawatir, Dewi membuka matanya. Ray ada di samping wajahnya. Pemuda itu berjongkok, menatapnya dengan senyum.
"Ray..," Dewi memanggil nama pemuda itu lirih.
Sebuah telunjuk menempel di bibir si gadis.
"Sshh..," bisik Ray, "Kamu pakai bajumu?"
Dewi tersenyum. Lega.
Di mata pemuda itu masih ada kehangatan. Tiada kata-kata dalam perjalanan. Tidak ada canda, sentuhan, bahkan saling pandang. Mereka tenggelam dalam suatu situasi yang menghanyutkan. Lampu-lampu kendaraan berkelebat lalu lalang. Lantunan musik lamat-lamat dari radio memberikan kesan dramatis yang menghipnotis. Sepuluh, dua puluh, empat puluh menit berlalu sudah.
Masih dalam keheningan yang sama. Ray akhirnya menghentikan mobilnya di depan Asrama Puteri. Teletik air hujan terdengar mengetuk atap mobil. Lima belas menit berlalu sia-sia. Hujan mulai turun lebih deras.
"Kamu tidak mau turun, De?"
Dewi menoleh, melihat pemuda itu tengah menatapnya. Dewi menggeleng.
"Aku tidak mau turun," katanya setengah berbisik. Ray tersenyum.
"Karena hujan, atau karena masih ingin berduaan denganku?"
Dewi balas tersenyum, "Aku ingin berduaan denganmu."
Tangan si pemuda terulur. Dengan telunjuknya Ray menelusuri garis tengah wajah si gadis. Dari kening, ke tulang hidung, bibir lalu dagu. Dewi memejamkan mata. Entah mengapa, dalam hati gadis itu terbersit sebuah ketakutan, ketakutan saat memikirkan kemungkinan bahwa pemuda itu akan meninggalkannya.
"Mau berhujan-hujan?" mendadak Ray berkata.
Dewi membuka matanya, menatap pemuda itu dengan rasa heran. Ia melihat cengiran di wajah Ray. Sebuah cengiran yang nakal. Dewi tersenyum dan mengangguk. Sambil tertawa, Ray bergerak ke samping, membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Pemuda itu memutari mobil, untuk sesaat kemudian membuka pintu yang lain. Dewi memekik saat hujan membasahi rambutnya. Ray menarik lengan gadis itu, berdua mereka memejamkan mata dan tertawa, menikmati air hujan yang membasahi tubuh mereka. Dalam tawanya, Dewi merasa pemuda itu menarik tubuhnya dalam dekapan. Mereka berpelukan di samping mobil.
Suara guntur menggelegar di kejauhan, tapi Dewi tidak takut. Ia merasa nyaman dan hangat. Satu lagi kilat cahaya, yang disusul gelegar. Ray melepaskan pelukannya, dengan senyum tersungging menarik lengan si gadis melangkah menuju teras Asrama Puteri. Dewi menyeka air di wajahnya dengan tangan. Air sudah tidak lagi mengguyur. Saat gadis itu membuka mata, ia sudah tidak menyadari kehadiran si pemuda di sisinya. Ketakutan itu datang lagi. Dengan pandangan mata gelisah, Dewi mencari-cari sosoknya di balik tirai hujan.
"Ray," serunya saat menemukan pemuda itu berdiri di samping lampu jalan, di luar pagar.
"Jangan kemari!" ia mendengar pemuda itu berseru, saat ia hendak melangkah keluar teras.
Dengan bingung, Dewi memandang ke arah sosok itu. Sosok yang tanpa berkata apapun, membalikkan tubuh dan berlari.
"Ray..!" Dewi menjerit, menyadari ketakutannya berubah menjadi kenyataan.
Ia berlari secepat mungkin. Terjatuh di rerumputan, beberapa meter di depan teras. Lututnya sakit, tapi ia mencoba untuk berdiri. Saat itulah matanya menangkap kelebat mobil yang begitu dikenalnya. Dewi jatuh terduduk di atas rerumputan. Matanya menatap nanar. Air hujan mengguyur, angin membuat setiap tetes seolah menamparnya. Satu kilat cahaya, satu lagi gelegar guntur. Dewi meraung. Ia menangis. Ia terluka. Meratap.
"Ray, aku mencintaimu. Aku yakin kau juga demikian. Mengapa? Mengapa?"
Bahkan sampai sepuluh menit ia meratap, gadis itu masih meyakini bahwa si pemuda meninggalkannya karena sebuah perasaan bersalah.
Di belahan kota yang lain, sebatang Marlboro dinyalakan. Sang iblis sendiri, terkekeh, saat menghembuskan asap dari ujung bibirnya. Sekarang tinggal menunggu, apa yang akan terjadi selanjutnya. Tidak ada perasaan bersalah. Tidak ada sesal. Tidak perlu lagi memikirkan kehangatan semu di elevator tempo hari. Kakinya menginjak pedal gas dalam-dalam. Ada noda darah di ruangan gelap yang harus dibersihkan.
***
Real Jay?
Lima hari sebelum Deadline
Motor hitam itu melaju cepat di bawah siraman hujan rintik-rintik yang mengguyur Surabaya pagi itu. Dua orang pengendaranya, sepasang muda-mudi. Sesekali tertawa-tawa riang. Mereka tampak menikmati momen itu.
"Jaayy, ujan nih, basah!" jerit Shinta.
"Lhah, emang mau kekeringan?" canda Jay sekenanya.
Gemas, Shinta mencubiti pinggang si pemuda, yang hanya dapat mengaduh. Jalanan sudah lumayan ramai. Bisa gawat kalau si pemuda kehilangan pandangan, walau hanya sesaat. Ia hanya pasrah diserang demikian rupa.
"Shin, mampir tempatku, yuk?"
"Ah? Ngapain?" Shinta terkejut.
"Ganti baju aja. Masa kamu mau ke kampus basah-basah gini?"
Shinta dapat merasakan desiran darah di vena wajahnya. Ke tempat Jay? Jauh di lubuk hatinya, ia merasa jengah, membayangkan dirinya, seorang gadis, yang nota bene masih benar-benar gadis, masuk ke rumah seorang laki-laki. Tapi benaknya mendorongnya untuk menerima tawaran itu. Di mana lagi tempat yang lebih baik untuk mengenal seorang lelaki selain di rumahnya? Benteng terakhir privasinya?
"Nggak mau? Ya udah." Jay sekuat tenaga menekan nada kecewa dalam suaranya.
Duh, umpan terbaikku ditolak mentah-mentah, batinnya gundah. Resiko perjuangan.
Tetapi, "Boleh.." Shinta berteriak menyaingi deru hujan dan kendaraan di sekitar mereka.
"Eh? Oke.." balas Jay juga berteriak, "..horee..!" sambungnya norak dalam hati.
Ia membelokkan setir dengan luwes. Lalu menarik gas penuh semangat.
Bersambung ke bagian 07