Cerita Dewasa:
Cinta Bersemi di Musim Hujan
Hi para pembaca sekalian ini Indra mahasiswa 21 tahun di Jogja, ini cerita ku yang ke 3, saya ucapkan terima kasih atas semua tanggapannya dari para netters. Ini ceritaku yang imajinatif bukan seperti yang pertama dan kedua. Selamat membaca!
*****
Hujan masih saja turun dengan lebatnya dan telah berlangsung selama 2 hari. Segala aktifitas jadi kacau berantakan. Tidak tahu harus berbuat apa. Jalan juga tampak lengang karena orang-orang lebih senang memilih tinggal di rumah. Begitu juga denganku, yang meski banyak rencana tapi semua jadi berantakan gara-gara hujan. Oh ya, aku bekerja secara serabutan, yang penting bisa menghasilkan dan halal.
Saat itu aku tengah memandang keluar melalui jendela. Memandang langit yang tampak menghitam, sedikitpun tak ada tanda-tanda bahwa hujan akan berhenti. Tiba-tiba sebuah taxi berhenti tepat di depan rumah. Sesaat kemudian seorang perempuan yang belum begitu jelas wajahnya dengan menenteng koper kecil bergegas turun dan berusaha membuka pintu pagar rumahku yang tertutup rapat namun tidak ku gembok. Usaha membuka pintu pagar berhasil dilakukan, namun keadaan itu membuatnya basah kuyup. Tanpa menutup kembali pintu pagar ia berlari-lari memasuki halaman rumah terus mengetuk pintu.
Aku yang sudah menyaksikan ulahnya sedari tadi langsung membuka pintu dan.. Aku terkesima. Sesosok wujud wanita paripurna berdiri di depanku dengan sedikit menggigil. Wanita yang sama sekali tidak aku kenal. Wanita yang.. Berumur kira-kira 23 atau 24 tahun yang luar biasa, seperti dalam mimpi, cantik sekali. Rambutnya lebat panjang bergerai indah. Alis mata yang tebal dan bibir tipis yang memancarkan pesona. Dia juga seperti terheran melihatku.
"Maaf.. Mbak cari siapa?" tanyaku.
"Oh." dia terlihat gugup, "Maaf Mas. Bukankah disini rumahnya Mas Dudy?"
"Dudy? Dudy Margono?" tanyaku
"Iyya," jawabnya sambil menepis butir-butir air yang melekat di tubuhnya.
"Wah, sebulan yang lalu Mas Dudy memang masih ngontrak disini, tapi sejak pindah ke Balikpapan aku yang meneruskan kontrakannya," jawabku.
Jawaban yang membuatnya terkejut dan terlihat amat kecewa.
"Oh, maaf. Mari, masuk dulu Mbak," tawarku setelah menyadari bahwa wanita itu masih di depan pintu.
"Makasih," jawabnya terus melangkah masuk.
Akupun mempersilahkannya duduk di sofa lalu minta ijin sebentar mau kebelakang untuk mengambilkan handul karena menyaksikan tubuh dan pakaiannya basah kuyup. Setelah mengambil handuk dalam lemari (aku memang menyimpan beberapa handuk sebagai persediaan kalau-kalau ada teman menginap) dan membawanya keluar. Kulihat dia agak gemetar menahan dingin meski baju yang dikenakannya cukup tebal, tapi hujan yang amat lebat rupanya tidak mau kompromi dan lagi tampaknya gadis ini kelelahan, kemungkinan baru saja melakukan perjalanan jauh. Segera kusodorkan handuk yang disambut dengan senyum, terus melap badannya yang masih berbungkus pakaian.
"Mbak siapa?" tanyaku
"Oh, maaf perkenalkan, aku Vita," ucapnya menyodorkan tangan.
"Bari," sahutku menggenggam tangannya yang dingin.
"Saya teman dekatnya Mas Dudy. Saya tidak tahu kalau dia sudah tidak disini. Sungguh, saya tadinya mau bikin surprise dengan datang tiba-tiba. Nggak tahunya.. Wah, gimana ini?" Dia terlihat panik.
"Emangnya Mbak Vita dari mana?"
"Dari Malang, Mas,"
"Gila, sejauh itu?" Tanyaku bagai tak percaya.
Dia hanya mengangguk. Aku jadi terdiam dan turut merasa sedih. Namun akal sehatku segera pulih terutama setelah melihat dia semakin kedinginan.
"Kalau nggak keberatan, silahkan Mbak Vita mengganti pakaiannya yang basah itu di kamar, nanti kita bicara lagi," ujarku sambil menunjuk kamar tamu. Iapun tersenyum (manis sekali) kemudian beranjak menuju kamar yang saya tunjukkan.
Akupun menunggu dengan gelisah. Aku dengan Dudy memang sahabat dekat, tapi tidak pernah tahu kalau dia punya teman dekat yang begini cantik. Aku juga tahu kalau Dudy itu petualang cinta. Banyak sekali gadis-gadis yang jadi korbannya mengingat wajahnya yang memang tampan, terlalu tampan malah hingga mendekati wajah perempuan, terlalu klimis.
Sebulan yang lalu oleh kantornya ia mendapat promosi menjadi kepala cabang di Balikpapan dan sejak itu ia menyuruhku menempati rumah ini yang telah ia kontrak selama 5 tahun dan baru berjalan 2 tahun sehingga aku bagai dapat durian runtuh karena ketika ia menyuruhku pindah ke rumah ini terutama karena selama ini aku hanya mampu kost di satu kamar pada satu tempat dibilangan Slipi.
Dan gadis cantik yang kini ada di kamar tamu itu, apa termasuk salah satu dari korban rayuan gombal Dudy? Aku tidak berani berpikir yang aneh-aneh tentang gadis itu. Aku positif tahuninking aja. Nggak tega aku memikirkan hal-hal yang ngeres. Dia terlalu cantik dan lembut dimataku. Agak lama Vita di kamar, mungkin sekalian mandi (kamar tamu mempunyai fasilitas kamar mandi).
Kira-kira 30 menit kemudian pintu kamar terkuak memunculkan sosok Vita yang fresh terutama dengan kombinasi busananya yang pas. Saat itu ia mengenakan T. Shirt putih dengan rok midi warna cream. Setelah mandi kecantikan Vita kian tegas. Wajahnya yang aristokrat dengan tinggi sekitar 164 serta polesan lipstik tipis dibibirnya membuatku sejenak seperti bengong, nggak bisa berucap sepataHPun.
"Mas Bari.. Kok seperti orang bengong," Ucap Vita menyadarkanku dari keterpanaan.
"Oh. Maaf. Mari, monggo. Silahkan," aku masih grogi. Vita hanya senyum melihat ulahku.
"Ada apa sih, Mas? Kok seperti orang bingung?" tanyanya lagi.
"Ya.. Aku memang lagi bengong, bukan bingung,"
"Lho, kenapa?" tanya Vita sambil duduk di sofa mengambil posisi di depanku.
Aku akhirnya bisa menguasai diri.
"Habis, setelah mandi Mbak Vita ternyata cantik sekali," jawabku mulai percaya diri.
"Ah, Mas Bari bisa saja. Tapi terima kasih deh atas pujiannya"
Kami akhirnya terlibat dalam pembicaraan yang mengasyikkan. Dia bercerita banyak. Mengenai hubungannya dengan Dudy terutama janjinya bahwa setelah Vita menyelesaikan kuliahnya mereka akan segera menikah. Itulah sebabnya ia segera ke Jakarta utnuk mengabarkan dan membicarakan rencana perkawinan mereka karena Vita baru saja lulus dan berhak menyandang gelar Sarjana Ekonomi. Tapi Vita jadi sangat kecewa karena Dudy ternyata sudah pindah tanpa memberikan kabar dan yang jadi masalah karena di Jakarta ini Vita tidak punya kenalan apalagi keluarga. Aku berusaha menenangkan dan memberinya semangat terutama karena Dudy memang sahabatku dan kuutarakan juga bahwa sesungguhnya rumah ini secara resmi masih dimiliki Dudy sebagai pengontrak, aku hanya disuruh menempati agar tidak kosong.
Saat malam tiba, hujan belum juga mau kompromii, sehingga aku tidak bisa mengajak Vita keluar untuk makan malam, terpaksa kita buat menu ala kadarnya. Beruntung karena di kulkas masih ada sisa ikan dan daging, cukup untuk diolah menjadi santapan yang enak. Kita semakin akrab terutama setelah secara bersama kita mengolah bahan mentah di dapur. Akupun tak segan-segan mencandai Vita membuatnya sering tertawa terpingkal-pingkal bahkan sesekali mencubit halus pinggangku.
Usai makan malam, kami melanjutkan pembicaraan sambil nonton TV. Duduknyapun sudah tidak berhadap-hadapan lagi tapi sudah berdampingan. Aroma parfum yang dikenakan amat sejuk dan lembut menciptakan nuansa yang romantis. Aku mencoba menggeser dudukku untuk merapat sedikit. Dia hanya melirik sambil senyum.
"Mulai berani ya, Mas?" tegurnya membuatku kembali menggeser tubuhku untuk menjauh.
"Ya, sudah. Nggak usah di geser menjauh lagi. sudah ketahuan, kok," ucapnya menarik lenganku mendekat sehingga tubuhku akhirnya teraih mendekat memepeti tubuhnya.
Darahku tiba-tiba bergolak. Hatiku diliputi perasaan yang penuh bunga, apalagi ketika tiba-tiba ia meletakkan tangan kanannya di atas pahaku. Akupun secara refleks melingkarkan lengan kiriku di bahunya. Kami sama-sama diam membisu, namun aku yakin kalau hati kami diliputi perasaan yang sama, ingin lebih dari itu. Pikiran kami tidak lagi terfokus pada TV meski mata tetap tertuju ke sana. Namun aku segera sadar bahwa pertunjukan harus dimulai dan untuk memulai inisiatif harus datang dariku karena tidak mungkin inisiatif itu datang dari gadis yang begini lembut.
Pelan-pelan kuelus rambutnya. Dia diam saja. Lalu kucium rambut yang panjang itu, harum. Diapun diam saja. Lalu rambut panjang itu kusibak dan kususupkan bibirku di lehernya, kukecup halus. Ia juga masih diam, tapi tangannya mencengkram pahaku. Aku kian berani kujilat leher, pas di belakang telinganya. Ia menggelinjang, menarik kepalanya, menoleh menatapku tajam. Aku juga menatapnya dan sejenak kemudian bibir kami saling bertaut. Kami berciuman panjang dan panas.
Aku menekan tubuhnya sehingga rebah telentang di sofa. Aku menindihnya. Tanganku merayap membelai dadanya yang masih tertutup busana. Tapi ia tiba-tiba menahan tanganku dan berusaha menatapku.
"Boleh?" tanyaku berbisik.
Agak lama ia menatapku dan akhirnya mengangguk sambil senyum. Akupun mulai meraba dadanya dengan halus sambil bibirku tak pernah henti melumat bibir tipisnya. Tanganku kian nakal mencoba berkelana dibalik T. Shirtnya dan meremas ke dua gunung kembarnya yang masih terbalut BH. Deru nafasnya terdengar memburu sementara burung dibalik celanaku kian liar dan membesar seperti mau berontak. Kurangkul tubuhnya, kurengkuh aroma tubuhnya yang harum dan tanganku kian merajalela, tanpa sepengetahuannya (mungkin) aku sudah berhasil melepas pengait BH nya sehingga dengan bebas tangan kananku membelai dan meremas buah dadanya yang keras sementara tangan kiriku masih tetap mendekapnya. Buah dadanya memang tidak terlalu besar, tapi ini ukuran yang paling pas buatku.
Kugesek-gesekkan pahaku ke pangkal pahanya yang secara spontan mulai sedikit terbuka. Kurasakan ada hawa panas di sana. Bibirku dengan rakusnya melalap bibir tipisnya. Aku enggan melepas pagutanku terutam karena bau mulutnya yang bagai bau mulut bayi, segar. Tapi ukuran sofa kurasakan amat mengganggu karena terlalu sempit sehingga mengurangi gerakan kami. Lalu kuhentikan pagutanku.
"Kita pindah, yuk," tawarku
"Kemana?" tanyanya.
"Ke kamar," jawabku.
"Mas.."
"Ya?"
Ia berusaha bangun dan aku berhenti menindihnya. Kami kemudian duduk. Ia menatap kedepan ke arah TV sementara aku memandangnya penuh tanya.
"Seharusnya kita nggak begini.." ia berhenti sejenak.
Aku diam menunggu tetap mencoba untuk mengontrol diri.
"Aku ini pacar sahabat, Mas Bari," lanjutnya.
"Ya," jawabku singkat.
Lalu kami sama-sama terdiam. Berbagai pikiran berkecamuk dikepala kami.
"Aku minta maaf, Vit," ucapku tulus.
Dia menoleh memandangku dan. Tersenyum.
"Nggak papa. Aku juga yang salah terlanjur suka pada Mas Bari dan mungkin karena kecewa pada Mas Dudy," jawabnya tenang.
Tangannya terulur mengusap pipiku.
"Kamu gagah, Mas," pujinya,
"Ayo kita ke kamar," pintanya.
"Vita nggak keberatan?" tanyaku bagai tak percaya.
"Kita bercumbu saja ya, Mas? Soalnya untuk yang satu itu aku belum pernah melakukan," ujarnya polos.
"Tapi saling raba boleh, kan?"
"Ih, Mas Bari nakal," ujarnya sambil mencubit pahaku.
Akupun segera meraih tubuhnya, mengajaknya berdiri. Lalu tubuh semampai itu kugendong. Tangannya melingkar di leherku. Sambil berjalan menuju kamarku bibirku tetap lekat di bibirnya. Setiba dalam kamar, pelan-pelan tubuh itu kuletakkan dipembaringan sambil terus memagutnya. Kami bergulingan di kasur. Tubuhnya terasa kian panas. Aku mencoba melepas kaosnya. BH yang tadinya sudah kucopot masih berada di balik bajunya. Ia membantu mencopot kaosnya sehingga tanpa susah payah aku berhasil menelanjangi bagian atas tubuhnya.
Darahku kian bergolak memandang tubuhnya yang bak pualam, kulit kuning langsat, bersih, halus tanpa ada sedikitpun cela, sempurna. Lalu tangany meraba seluruh bagian atas tubuhnya terutama ke dua gunung kembarnya yang padat dan keras pertanda birahinya juga sudah meninggi. Ketika aku berada di atas tubuhnya, secara halus kususupkan paha kananku ke selangkangannya dan dia merespon dengan membuka kedua pahanya sedikit sehingga ujung pahaku bebas melakukan aktifitas. Pinggulnya juga secara spontan ikut bergerak mengikuti irama gesekan pahaku.
Serangankupun mulai kutingkatkan. Sambil melingkarkan tangan kananku di lehernya, bibirku tetap mengulum bibirnya sambil lidahku berkelahi dengan lidahnya didalam rongga mulutnya. Tangan kiriku pelan-pelan bergerak menyingkap roknya dan secara halus mengelus pahanya, terus bergerak ke atas dan berhenti di pangkal pahanya, lalu menyentuh Cdnya. CD itu sudah basah, rupanya ia sungguh sudah birahi. Kulepas pagutanku. Mulutnya berdesah ketika tanganku berusaha menyusup kebalik Cdnya dan berhenti di bibir memeknya.
Sungguh, bibir itu sudah sangat basah. Jari tengahku mengelus-elus bibir memeknya. Ia semakin menggelinjang sambil membuka pahanya untuk memberikan jalan bagi jariku agar lebih leluasa bekerja disana. Tapi jariku masih merasa terganggu sehingga Cdnya segera kupelorotkan Ia mengangkat pantatnya agar aku mudah mencopot CD nya. Setelah itu pengait roknya kulepas, kutarik resluiting riknya dan kuturunkan rok itu dari pinggangnya, maka dihadapanku kin tergolek dalam nafas memburu sesosok tubuh wanita yang penuh pesona memandangku penuh birahi.
Ketika aku terpana melihat keindahan tubuhnya ia berusaha bangkit, tangannya meraih pinggangku lalu membuka baju kaor yang kukenakan. Setelah itu ia berusaha membuka ikat pinggangku mencopot celanaku sekalian celana dalamku sehingga akupun kini sudah telanjang, persis seperti dia. Matanya terbelalak menyaksikan burungku yang tegak mengacung, besar, panjang dan kaku.
"Wow. Besar sekali, Mas," pekiknya meraih burungku. Di elus-elusnya.
"Pernah pegang punya Dudy, nggak?" tanyaku. Ia mendongak memandangku.
"Ih, Mas Bari jangan tanya gitu, dong. Itu kan sangat pribadi," ucapnya protes.
"Sorry," sahutku. Sambil mengelus buah dadanya.
"Di cium dong, sayang," pintaku.
Iapun segera membungkuk dan mencium burungku. Betul-betul hanya dicium dengan hidungnya sesekali permukaan bibirnya menempel di kulit burungku. Tampaknya dia belum pernah melakukan oral sex.
"Di kulum dong, sayang," bisikku.
"Di masukin mulut?" tanyanya seperti nggak percaya.
"Iyya."
"Ah, aku belum pernah begini, Mas," jawabnya polos.
"Coba aja. Enak, kok," desakku.
Akhirnya dengan ragu-ragu ia memasukkan kepala burungku ke mulutnya. Lidahnya belum bermain, hanya mendorongnya maju mundur, bahkan sesekali burungku tersangkut giginya sehingga menimbulkan sedikit rasa sakit. Rupanya ia betul-betul belum ngerti, masih polos.
Setelah memaju mundurkan burungku di dalam mulutnya sekitar 10 menit, ia terlihat kelelahan. Iapun menghentikan gerakannya dan merebahkan diri telentang. Aku kemudian berjongkok, membuka pahanya, lalu kepalaku kususupkan kesana. Hidungku mencium memeknya lalu bibirku menjilati bibir memeknya. Ia terpekik sambil meremas kepalaku.
"Mas, jangan. Jorok," Aku tidak peduli.
Lidahku kian gencar berputar di itilnya membuat pantatnya bergerak naik turun sambil mulutnya tak pernah henti berdesah. Bukan hanya lidahku yang berputar meliuk-liuk di seputar klitnya, dua jari tangankupun ikut menyusup memasuki liangnya, membuatnya terpekik-pekik kenikmatan. Hanya sebentar saja jari-jariku bermain disana ketika tiba-tiba saja tubuhnya mengejang. Pantatnya terangkat tinggi, bulu rmanya ikut berdiri. Rupanya ia telah orgasme.
"Ooohh.. Maass." lenguhnya panjang.
Kedua tangannya merangkulku dengan ketat sementara burungku kian tegang. Aku hentikan aktifitasku. Kupandangin tubuhnya yang lemas. Ada senyum disana.
"Enak, sayang?" bisikku. Dia mengangguk.
"Apa Mas sudah keluar?" tanyanya tidak mengerti. Aku ketawa kecil.
"Belum. Lihat nih, masih kencang betul," sahutku mengelus-elus memeknya.
"Jadi gimana dong?" tanyanya.
"Aku masukin, ya?"
"Tapi aku belum pernah, Mas,"
"Saya tahu. Aku masukin kepalanya aja, tidak akan merusak selaput daramu."
"Betul, Mas?" Aku mengangguk mengiyakan.
Dalam hati aku memang telah berjanji tidak akan merusaknya kalau memang dia masih perawan.
"Iyya deh, Mas. Tapi pelan-pelan aja ya? Aku takut," ucapnya pasrah.
Aku kemudian membungkuk, mencium bibirnya yang basar. Dengan sabar kuelus kedua gumpalan gunungnya, sesekali kuremas. Aku berusaha membangkitkan kembali gairahnya setelah ia mengalami orgasme. Tangankupun segera berkelana ke selangkangannya dan memainkan jari-jariku ke dalam liang memeknya tapi tidak terlalu dalam. Memeknya kembali basah kuyup. Birahinya muncul lagi dalam waktu singkat. Lalu tangannya kuraih kubimbing ke arah burungku. Begitu jarinya menyentuh burungku langsung di remas dan di kocok-kocoknya.
Setelah merasa bahwa birahinya telah bergolak akupun berjongkok, membuka lebar pahanya sehingga bibir memeknya terbuka memperlihatkan itil dan liangnya yang berwarna kemerah-merahan. Burungkupun ku arahkan kesana. Kepalanya kugosok-gosokkan di permukaan memeknya. Mulutnya mendesis-desis keenakan, lalu secara perlahan tapi pasti kutekan burungku masuk sarangnya. Ia terpekik kecil. Jari-jarinya erat mencengkram punggungku. Pantantnya terangkat sehingga burungku semakin masuk menyusup, belum semua karena aku taku akan merobek selaput darahnya.
Dengan posisi burungku separuh yang masuk aku membuat gerakan maju mundur. Hal ini membuatnya betul-betul menggelinjang keenakan sementara memeknya semakin banjir rupanya ia lagi-lagi orgasme yang berkesinambungan tapi belum orgasme total. Aku kemudian menggulingkan tubuhku untuk merubah posisi sehingga ia kini berada di atas tubuhku menyebabkan aktifitas membuat gerakan dilakukan oleh Vita. Mulanya pelan-pelan, lalu ketika buah dadanya tepat di depan mulutku, maka gumpalan kenyal itupun ku kulum. Ia menggelinjang dan mempercepat gerakan pantatnya.
Tiba-tiba ia menekan pantatnya dengan kuat disertai pekik kesakitan untuk sesaat, maka seluruh batang kemaluanku amblas. Sakitnya memang tidak terlalu terasa karena memeknya sudah banjir hanya terasa ketika selaput perawannya robek. Setelah itu tak ada lagi rasa sakit, yang ada hanyalah kenikmatan yang tiada tara.
"Mas.. Robek sudah Mas.. Ooohh."
"Iyya sayang.. Maaf,"
"Bukan salah Mas. Aku yang nggak tahan," celotehnya mempercepat gerakannya.
"Maass.. Aku mau keluar lagi."
"Aku juga sayang.. Dicabut ya?" tanyaku.
"Jangan, biar aja. Sudah kepalang aduh maass.. Aku.. Kkkeeluaarr."
"Aku juga sayaanng," pekikku ketika air meniku menyemprot keluar bersamaan dengan puncak orgasmenya.
Luar biasa nikmatnya. Ia merebahkan tubuhnya yang berkeringat diatas tubuhku. Aku mendekapnya erat seakan tak mau melepas tubuhnya. Batang kemaluanku masih bersarang di dalam rongga memeknya sementara di luar sana hujan mulai berhenti menyisakan rintik yang pelan.
"Maaf, ya sayang. Akhirnya aku telah merusakmu," bisikku sambil bengecup lehernya.
"Nggak papa kok, Mas. Aku yang mau dan aku puas,"
"Bagaimana dengan Mas Dudy?" tanyaku.
"Peduli amat," ungkapnya mengangkap tubuhnya duduk diatas selangkanganku karena kemaluan kami masih saling menempel.
"Jujur saja Mas. Aku sebenarnya kesini, selain untuk memperjelas hubungan kami juga untuk menyelidiki berita kalau ia selalu gonta-ganti cewek dan sering bercinta di rumah ini. Aku juga yakin kalau cintanya padaku hanya dimulut, terbukti ketika aku menolak ML dengannya, ia tidak pernah lagi mengontakku," ujarnya ketus.
"Jadi..?"
"Jadi ya, itu. Aku nggak mau tahu lagi. Aku cuma mau pembuktian. Apa dia benar-benar mencintaiku atau hanya mau iseng,"
"Terus kita, gimana?" tanyaku.
"Terserah Mas. Bagiku, dari perkenalan singkat. Aku yakin Mas orang baik penyayang."
"Kalau aku bilang aku mau jadi pacar Vita gimana?"
"Jangan tanya aku, Mas karena aku pasti mau. Tapi berpikir dulu yang matang."
"Justru Vita yang saya minta berpikir matang. Aku saat ini masih kerja serabutan, tapi aku janji akan mencari kerja yang layak sesuai ijazahku."
"Terus, Mas?" desaknya
"Aku ingin melamarmu. Aku tidak tahu, wanita yang seperti Vita yang selalu ada dalam anganku. Terutama karena aku yang telah mengambil perawanmu," mendengar kalimatku itu ia lalu memelukku, menghujaniku dengan ciuman.
"Makasih, Mas."
Buat sementara aku akhiri dulu. Nanti kita akan lanjutkan lagi setelah mendapat tanggapan dari rekan-rekan. Untuk para penulis sekalian dari jogja gimana kalau kita bikin mailing list, biar seru.
E N D