Cerita Dewasa:
Eksanti, Love or Just Passion ? - 3
Lanjutan dari bagian 2
Setelah puas, mulut Eksanti bergerak ke atas, dengan ciumannya yang halus ia menikmati sekujur kulit pahaku hingga ke atas. Lalu tiba-tiba badanku diputarkannya dengan kasar. Kini aku berdiri menungging menghadap tembok dengan tangan yang menumpu dinding. Aku merasa tidak tahu apa yang akan diperbuat Eksanti dari arah belakangku. Ternyata Eksanti menciumiku mulai dari mata kaki, lalu perlahan naik ke betisku. Mulutnya sempat menyedot-nyedot sebentar di sana, sebelum akhirnya naik lagi ke paha. "Aaacch..," desahku saat Eksanti mulai menjilati belahan kedua buah pantatku. Disatukannya kedua belah pantatku sambil dijilatinya, lalu dengan perlahan ia mulai berdiri. Bibirnya terus naik menciumi punggung lalu ke pangkal leherku, sementara tangannya masih tetap meremas dan mengusap-usap lembut kedua bola pantatku. Sesaat kemudian, kembali diputarkannya badanku, lalu bibir kami berpagutan dengan gemas. Eksanti melingkarkan kaki kanannya ke pinggangku sambil menggosok-gosokkan tubuhnya ke tubuhku, naik-turun, naik-turun. Kejantananku semakin mengeras karena rasanya seperti dibelai-belai lembut oleh kulit lembut tubuhnya dan terkadang digesek-gesek kasar oleh bulu-bulu pubisnya.
Setelah itu Eksanti kembali merosot turun, berlutut di hadapanku.
"Apa kabar 'yang.. ," katanya pada kejantananku sambil tersenyum nakal menatap wajahku.
"Ooocchh.." kataku tersenyum kegelian.
Ia menjilati ujung kejantananku yang telah mengeluarkan cairan bening hingga bersih. Karena kejantananku sudah tegak menegang, maka dengan mudah ia menciumi batangnya dari atas ke bawah, terutama pada bagian bawah kejantananku. Didorongnya paha kiriku ke samping sehingga ia bisa leluasa menciumi hingga ke bagian belakang testisku, lalu ia mulai menjilatinya di sana. Dari bagian itu, lidahnya naik perlahan hingga kembali ke ujung kejantananku, lalu diulangnya beberapa kali, sehingga membuat tubuhku bereaksi, seperti terdengar suara seer.. seer.. Aku hanya bisa mendesah pasrah.
Kejantananku akhirnya dimasukkan ke dalam mulutnya, sementara tangan kanannya mengelus-elus bagian dalam pahaku. Sambil mulutnya maju-mundur memasukkan kejantananku, kini dibelai-belainya testisku dengan tangan kanannya. Kemudian sambil terus mulutnya maju-mundur, tangan kanannya meremas, mengocok batang kejantananku dan tangan kirinya membelai-belai perutku. Kejantananku disedot kuat-kuat di dalam mulutnya, sambil lidahnya berputar dan menjilati daerah yang berada persis di bawah kepala kejantananku. Tingkahnya itu menyebabkan aku terjinjit-jinjit karena menahan rasa geli yang sungguh nikmat sekali. Sesekali mata Eksanti menatap ke atas melihat reaksiku yang lebih banyak terpejam menatap ke atas. Banyak variasi lain dibuatnya, kadang kejantananku diciuminya bagai orang bermain harmonika (atau orang makan jagung rebus). Kadang kulit kejantananku agak ditarik ke atas sehingga ia dapat mengulum testisku dan mempermainkan lidahnya dalam mulut. Kadang hanya lidahnya yang menari menjilati leher kepala kejantananku yang memang sangat sensitif, lalu kembali diemutnya kepala kejantananku hingga keluar bunyi-bunyi erotis dari dalam mulutnya.
Setelah limabelas menit berlalu, aku mulai tidak tahan, aku menarik tangan Eksanti ke atas dan ia pun perlahan melepas kejantananku. Kami kembali berciuman, kali ini dengan lembut dan mesra.
Aku menggandeng Eksanti ke sudut ruangan, lalu mengatakan, "Santi, menghadaplah ke diniding." Ia pun menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan kedua siku tangannya, sambil bola pantatnya menungging yang membuatku leluasa memandangi bentuk indah kewanitaannya dari arah belakang. Otot betisnya semakin terlihat melonjong karena ia masih memakai sepatu pump hak tinggi. Aku menciumi punggungnya, lalu turun ke buah pantatnya, dan kini aku menjilati sepanjang belahannya. Aku meremas-remas kedua bola pantatnya, sambil jilatanku beranjak turun melewati anus dan mulai menyentuh kewanitaannya. Aku berlutut dan mendongakkan kepalaku ke atas dan kembali aku menjilat-jilat nikmat kewanitaannya. Kini giliran kacang kecil merahnya yang aku sedot dan aku tekan-tekan dengan lidahku yang bergerak liar berputar-putar. Hal ini menyebabkan hidungku terasa menekan-nekan, melesak ke dalam lubang kewanitaannya. "Hmm.. enaak.."
Lima menit kemudian aku merebahkan tubuh indah Eksanti di atas tempat tidur. Aku di atas, dalam posisi 69. Tubuhku sedikit bergerak naik turun sehingga menyebabkan kejantananku keluar masuk mulut Eksanti dengan lancar. Sementara itu aku menjilati kewanitaannya, dengan gerakan kepala yang agak maju mundur (seperti posisi push up yang disertai gerakan diving maju-mundur) sehingga lidahku memberikan tekanan ekstra, yang lebih keras dan lebih cepat pada dinding-dinding kewanitaan Eksanti.
Ketika Eksanti sudah sangat terangsang, tiba-tiba kegiatan itu aku hentikan. Aku kembali ke sofa, dan aku mengenakan kondom yang tadi telah aku beli sebelumnya. Ketika aku kembali, aku melihat Eksanti sedang meremas-remas sendiri kewanitaannya. Ia sudah sangat menginginkan datangnya klimaks lagi rupanya. Mukanya tampak agak kesal dan tampak mulai frustrasi, tetapi begitu ia melihat kejantananku telah mengenakan kondom, senyumnya kembali mengembang. Lidahnya keluar membasahi bibirnya. "Ayo.. cepat Mas, bara birahiku sudah siap meledak, membakar", Eksanti berkata dalam hati.
Aku membimbing Eksanti berdiri, kami saling berhadapan. Kaki kanan Eksanti aku naikkan ke atas kursi dan Eksanti dengan tangan kirinya memasukkan kejantananku ke dalam celah sempit kewanitaannya. Aku memompa maju mundur selama sekitar lima menit, lalu aku mengitari badan Eksanti, dan kini aku memasukkan kejantananku dari arah belakang. Lima menit kemudian aku menurunkan kaki Eksanti, sehingga kini kedua tangannya yang memegang pegangan kursi. Gerakan memompaku makin cepat. Kadang diselingi dengan gerakan memutar, kadang kaki kanannya aku majukan sedikit sehingga kejantananku masuk tidak lurus tetapi lebih menekan dinding samping kiri kewanitaannya. Tidak beberapa lama kemudian ia meregang, "Ooocch.. mm.. my God..!" Dan ia mencapai klimaksnya lagi. Aku menarik tubuhnya. Aku memeluk sambil tanganku meremas-remas kasar, mengusap-usap lembut kedua bukit toketnya untuk memperlama masa orgasme yang dialaminya.
Tidak lama setelah orgasme Eksanti lewat, aku membaringkan tubuhnya di tepi tempat tidur. Aku melepaskan kedua sepatunya, pantatnya menghadap ke arahku dan aku masukkan lagi kejantananku ke dalam lubang kewanitaannya dari arah belakang. Setelah beberapa menit aku menggoyang maju mundur, yang sangat menekan-nekan dinding kanan kewanitaannya, lalu aku memutar tubuh Eksanti hingga berlutut menghadap ke arah kaca rias. Kami melakukan gaya doggy style. Karena irama kecepatan gerakanku pelan, tetapi sangat keras ketika menancapkan kejantananku, maka begitu keras bunyi pahaku ketika beradu dengan pantatnya, slap.. slap.. Eksanti mulai tampak tersengal-sengal dan akhirnya kepalanya jatuh ke atas tempat tidur. Aku tetap menggoyang-goyangkan buah pantatnya, lalu tiba-tiba aku melepas kejantananku perlahan.
Wajah Eksanti tampak bertanya-tanya, gaya apa lagi yang akan aku lakukan. Aku berbaring, dan kini tubuh Eksanti yang duduk tegak, naik turun di atas tubuhku. Tangan kami saling berpegangan untuk memberi extra support bagi tubuh Eksanti yang naik turun cukup tinggi. Kejantananku sering hampir terlepas setiap kali ia menaikkan tubuhnya. Kedua mataku tak henti-hentinya memandangi toketnya yang terayun-ayun indah. Menjelang datangnya klimaks kam berdua, kembali aku memeluk erat tubuh Eksanti. Kini ia yang berbaring. Aku mengangkat kedua kakinya ke atas bahuku, dan aku bergerak maju mundur. Kadang aku satukan kedua kakinya sambil tetap memompa. Kadang kedua kaki itu aku miringkan 45 derajat sambil terus maju mundur berirama, yang semakin lama semakin cepat.. dan semakin cepat lagi.
Klimaks Eksanti yang telah tertunda kini mulai mendekati puncaknya. Aku merebahkan kedua lututnya ke depan, sehingga aku setengah berdiri sambil terus memompanya, dengan irama kecepatan yang semakin laam semakin tinggi. Rasanya puncak nikmatku pun mulai akan segera datang, dan aku tidak akan mampu menahannya lebih lama lagi.
"Lebih cepatt Mass.. lebih kerass.. Mass..", jerit Eksanti. Irama yang makin cepat dan tekanan yang makin kuat membuat seluruh batang kejantananku benar-benar merasakan remasan kuat dinding-dinding kewanitaan Eksanti yang sangat basah.
"Pijat punyakuu.., remass punyakuu.., perass punyakuu.. Santii..", aku membalas jeritannya.
"I aamm cummingg.. aacchh..", kata Eksanti yang langsung aku ikuti, "Aacchh.. aacchh..", dan lava kentalku yang telah cukup lama mendesak-desak di dalam kejantananku, tiba-tiba meledak muncrat dengan kuatnya di dalam kondom yang berada di dalam kewanitaan Eksanti.. plash.. plash.. plash (8x).
Peluh kami bercucuran. Aku bertopang pada kedua siku tanganku, di atas tubuh molek Eksanti. Eksanti mengunci erat pinggangku dengan kedua kakinya, sambil tangannya memeluk erat leherku. Aku mencium keningnya lembut, di tengah nafas kami berdua yang masih tersengal-sengal. Aku memandang ekspresi nikmat wajah cantiknya. Sesaat setelah nikmat orgasme kami berlalu, aku melihat setetes air mata jatuh di pipinya. Aku mencoba untuk bergerak mundur, tetapi Eksanti menahan gerakanku.
"Kamu menyesal?" aku bertanya lirih dengan berhati-hati, sambil menyeka air matanya.
"Nggak, Mas. Bukan karena itu", jawabnya dengan mata berbinar. "..justru aku merasa sangat bahagia, aku terharu, Mas..". Ia tersenyum. "..selain dengan kamu, belum pernah aku merasakan orgasme yang seindah ini, Mas", lanjutnya.
Lalu ia mencium bibirku, dibelainya lembut kepalaku. Sambil tersenyum ia berkata, "Terima kasih Mas, kamu baik sekali padaku", ia masih terus mengelus-elus rambutku mesra.
Kami berciuman lembut. Saat aku merasakan kejantananku telah mengecil, aku mencoba menariknya dari dalam kewanitaan Eksanti, namun ia masih menahanku. Aku mengatakan, "Santi, punyaku 'kan masih pakai sarung."
Ia menjawab, "Ooo ouuw.. sorry." Dan akhirnya ia melepaskanku. Aku pergi ke kamar mandi melepas kondom, pipis dan cuci tangan. Lalu aku membuka kran shower air hangat.
*******
Aku kembali ke tempat tidur, lalu aku membopong tubuh Eksanti dan kami pun mandi bersama. Kami saling menyabuni, dengan wajah penuh senyum puas. Setelah selesai berbilas dan saling mengeringkan badan, dengan hanya berlilitkan satu handuk besar, kami kembali ke tempat tidur. Eksanti melepas handuknya, kami berdua telanjang, dan aku membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Aku beranjak sebentar, lalu kembali dengan dua kaleng minuman dingin yang masih penuh isinya. Setelah meminum dua tiga teguk panjang, kami berbaring telanjang saling berhadapan dengan muka tersenyum.
"Mas, terima kasih yaa.. untuk kenikmatan yang barusan kamu berikan tadi", katanya.
"Sama-sama," aku menjawab. "Sayang yaa.., kita sama-sama masih menjadi milik orang lain?", lanjutku dengan nada berbisik.
"Tapi itu tidak akan menghalangi kita untuk bisa tetap berteman intim selamanya 'kan?", kata Eksanti menatap, memohon.
"Well, kita adalah dua orang yang sedang kesepian Santi dan kebetulan gaya bicara kita bisa saling nyambung. Jadi, untuk yang satu itu, kita lihat saja nanti yaa..," aku berkata tegas. Eksanti langsung menerjang, memelukku. Diciuminya kening, mata, pipi hidung dan mulutku.
"Thanks Mas, that's all that I needed for now on", sambil kembali menatapku mesra.
Sementara aku bertanya-tanya dalam hati tentang hubunganku dengan Eksanti ini, is this love or just passion?
Aku mencium bibirnya mesra.. Ia masih ingin bicara lagi, tetapi aku segera meletakkan telunjukku di bibirnya. "Ssshh.. besok pagi saja lagi bicaranya, aku capek.."
Eksanti mengedipkan matanya tanda setuju. Kami masih terus berpandangan. Mata Eksanti terlihat makin sayu karena kelelahan, digesernya aku hingga terlentang dan ia pun tengkurap dengan kedua tangan memeluk leherku dan kepalanya disandarkan di dadaku. Kami pun tertidur lelap hingga pagi hari. Again.., is this love or just passion, aku benar-benar tidak tahu.
T A M A T
Mantap