Cerita Dewasa:
Istri Untuk Membayar Hutang � 7
Dari bagian 6
Bibir Pakde terus melata hingga lutut dan siap memasuki wilayah paha belalang Rini. Ya, paha ini dulu sangat terkenal. Saat Rini bermain volley dalam pertandaingan antar SMU, paha Rinilah yang selalu membuat para siswa lelaki meneteskan air liur. Anak-anak SMU bilang 'paha dan betis belalang Rini' selalu terbawa dalam mimpi mereka. Mungkin maksudnya saat anak-anak itu masturbasi khayalannya terbang menciumi paha Rini.
Dan paha itu kini bukan dalam impian Pakde. Paha itu kini nyata dalam rengkuhannya. Pakde mengecupi dan menjilat setiap sentimeter areal paha Rini. Duh, bukan main gatalnya. Ciuman Pakde dari mulut dan pipi serta dagunya yang bercukur bulu-bulu pendeknya begitu menggelitik sanubari Rini. Gatalnya telah manembus ke hulu hatinya. Rini kelabakan kewalahan menahan derita gatal nikmatnya. Dia menjerit-jerit minta Pakde melepaskannya. Kakinya menendang menolak tubuh Pakde.
Tetapi mana mungkin. Tubuh Pakde telah sempurna menindih dan tangannya menjepit dengan kuatnya. Aroma yang menebar dari paha Rini membuat tenaga Pakde semakin kukuh untuk tetap menguasai tingkah Rini. Tidak akan ada kata menyerah. Dan jilatan Pakde itu merambah terus hingga ke selangkangan Rini yang ditumbuhi bulu-bulu kemaluan yang sangat lembut. Pakde merem melek saat lidah dan bibirnya melumat-lumat selangkangan Rini. Dan tak ayal lagi, rambahan itu sampai ke lubang memeknya. Namun Pakde tidak melanjutkannya. Dia hanya mampir sejenak untuk kemudian dengan tangannya mendorong balik tubuh Rini hingga posisinya tengkurap di kasur.
Kini nampak pantat Rini yang menjumbul dengan indahnya. Pakde sudah kesetanan. Wajahnya langsung nyungsep ke belahan pantat Rini. Dia menjilati lubang duburnya. Tentu saja hal ini membuat Rini tersentak. Bagi Rini lubang dubur adalah hal yang sangat tak senonoh untuk didekati, apalgi dicium atau bahkan dijilati macam yang dilakukan Pakde pada dirinya sekarang ini. Tabu, katanya. Pemali, orang bilang. Tetapi tidak bagi Pakde Karto. Jilatannya terasa 'keri' menusuk-nusuk lubang pantat Rini. Bahkan dengan tenaganya dia mengangkat pinggul Rini sehingga dia berposisi nungging. Pantatnya lebih menonjol dengan lubang duburnya tepat di arah wajah Pakde. Rini yang belum sepenuhnya mau menerima ulah Pakde yang tabu berontak mati-matian untuk menghindarkan Pakde menciumi pantatnya. Dia berusaha bangun sambil,
"Tidaakk.. jangaann.. jangaann.."
Tetapi larangannya itu justru semakin memicu kehendak nafsu Pakde Karto. Dia cepat berpikir bahwa pantat Rini masih pantat perawan. Kalau dulu Herman merawani memeknya, kini dia berkesempatan merawani lubang pantatnya. Dia telikung Rini dengan sekuat tenaganya. Dia pegang erat-erat pinggulnya sambil mulutnya tidak melepaskan sedotan-sedotan pada lubang anal yang perawan itu. Dan Pakde sangat kuat. Rini tak mampu melawannya. Perasaan tabunya membuat Rini ketakutan. Tetapi yang dia bisa perbuat sekarang hanyalah menangis sambil memohon,
"Jangaann Pakdee.. ampuunn, jangaann.., ampuunn Pakdee.."
Apapun rintihan Rini tak lagi didengarnya. Ini sudak perkosaan. Dari balik dinding Herman juga mengutuk Pakdenya. Isak tangis istrinya benar-benar membuatnya iba. Akankah Pakde menyakitinya? Apa yang bisa dia perbuat untuk membantu Rini? Dan ternyata itu baru awal dari hal berikutnya yang akan membuat tangis Rini serasa tak berkesudahan.
Ciuman Pakde bergeser ke atas. Pinggul Rini dilumat-lumatnya. Juga punggung kemudian bahu dan kuduknya. Rini yang masih terisak kembali menemukan gelinjangnya. Tetapi itu tak lama. Di bawah sana penis Pakde yang demikian hebat ukurannya terasa mendesaki bokong Rini. Rini puny firasat. Sekali lagi dia berontak untuk mencegah nafsu setan Pakde Karto. Tetapi sekali lagi Pakde Karto mampu membuat isteri Herman itu tak berdaya.
Kini rambut Rini yang terurai dijambaknya. Dia gunakan rambut Rini ibarat tali kekang kuda. Dia hela rambut itu kebelakang sementara penis itu mulai menumbuk-numbuk lubang anal Rini. Rasa sakit yang hebat menimpa Rini. Lubang analnya serasa dicolok dengan kayu menyala, Panas dan sakitnya bukan main. Beberapa kali Pakde melumasi dengan ludah pada penisnya agar bisa menembus dengan lubang anal Rini. Memang ada kemajuan. Tetapi apa yang dirasakan Rini? Setiap mili kemajuan penis itu masuk menembus analnya, kepedihan tak terkatakan datang menjemput.
Dan disinilah dramatiknya. Akhirnya penis itu memang tenggelam tertelan anal Rini, tetapi akibatnya Rini kelenger, pingsan. Pakde tahu, tetapi dia sangat tenang. Dia bisa mengendalikan dirinya. Tanpa melepaskan kemaluannya pada lubang itu, dia raih wewangian aroma terapi yang tersedia di meja samping ranjang. Dia kecroti hidung Rini dengan wewangian itu. Dan, ah manjur benar. Rini terbangun dan langsung kembali menangis karena menahan rasa sakit di pantatnya. Dia tak lagi menolak karena pasti hanyalah sia-sia. Justru tolakannya semakin merangsang nafsu setannya Pakde. Dan Pakde sendiri berusaha sabar.
Untuk beberapa saat dia tidak bergerak. Pikirnya, biarlah Rini menyesuaikan diri dulu, dimana penisnya kini sedang menghunjam ke dalam pantatnya. Dia hanya peluki punggung Rini sambil merajuk dan mencumbu. "Nggak apa-apa Rin, jangan takuutt.. nanti ennaakk.. jangan takutt.." sedu sedan Rini masih terdengar.
Kembali ke Herman yang kini mengutuk habis-habisan ulah Pakdenya. Tetapi mana berani dia menyampaikan kutukkan itu hingga ke kuping Pakdenya. Yang ada tinggal rasa cemas dan semakin merasa betapa semua itu karena kesalahan dirinya. Rini telah menjadi korban tingkah lakunya yang pengecut. Ooo.., kenapa jadi beginii..??!!
Aneh, ternyata cumbuan Pakde Karto seperti menyihir Rini. Isakan tangisnya tak lagi terdengar. Walaupun masih sering terdengar kata
"Aduuhh, sakiitt.., yang pelaann.." namun tak ada uapaya menolak dari Rini saat Pakde kembali menggoyang kemaluannya pada anal isteri Herman itu. Dan setelah beberapa saat kemudian goyangan Pakde berubah menjadi pompaan sebagaimana dia memompa memeknya, Rini sama sekali tidak mengaduh tetapi, nah lihatlah.. Herman melotot keheranan.
Kini dia menyaksikan isterinya mengimbangi goyangan saat penis panjang Pakde menusuki pantatnya. Ternyata Rini dengan cepat memahami kenikmatan yang dijanjikan Pakde Karto. Bahkan ketika beberapa kali penis itu copot dari analnya, tangan Rini dengan sigap menjemputnya kembali untuk diarahkan tepat ke lubang duburnya. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat atraktip. Seorang dewi cantik manis dalam posisi menungging dia atas ranjang beralaskan sutra melengkungkan pinggulnya untuk mengangkat tinggi-tinggi pantatnya. Sementara di arah belakang seorang lelaki gagah sedang menusuk-tuskkan penis monsternya ke arah lubang pantat sang dewi. Kini Herman mempercepat kocokkan tangannya. Dia ingin meraih orgasmenya, entah untuk yang keberapa kali sejak sore tadi, saat menyaksikan pemandangan yang sangat atraktip itu.
Pakde Karto benar-benar nampak seperti joki. Kuda betina cantiknya diraih surainya. Dia memompa Rini sambil menarik rambutnya sebagai tali kekang. Dan ketika nafsu-nafsu menjemputi puncak-puncaknya. Ketika Rini merasakan betapa benar kata Pakde bahwa dia akan menerima kenikmatan yang kini sedang menapaki puncaknya. Ketika Herman dari balik dinding tak lagi merasakan lecet-lecet pada kulit kemaluannya karena kenikmatan puncak sedang merambatinya. Dan ketika Pakde Karto tak lagi mampu menahan sperma untuk tidak tumpah, dan bahkan kini telah berada di ambang nikmatnya yang paling tinggi.
Maka badai gaduh, jerit, desah dan rintih pada berhamburan. Mulut Rini menjerit dalam rintihan menahan gelora birahi sambil pantatnya dengan kencang maju mundur menjemputi kemaluan Pakde Karto. Dan Herman dari balik dinding merintih tertahan, karena khawatir tertangkap basah, sambil mempercepat koncokkan penisnya yang juga ngaceng berkilatan. Pakde Karto sendiri yang bagai serigala lapar sedang mengejar mangsa, meracau dan mendesah keras-keras menjemput spermanya yang .. naahh.. achirnyaa.. tak tertahan.. tumpah ruah.
Pantat Rini masih terus menjemputi, penis Pakde masih memompa, tangan Herman semakin menambah guratan-guratan pedih sebelum ketiganya tumbang, roboh. Rini dan Pakde bergelimpang di ranjang beralaskan sutera. Tetapi Herman bergelimpang di lantai dingin di kamarnya sendiri. Herman langsung tertidur. Hari ini begitu banyak hal yang sagat melelahkan. Tekanan fisik dan mental serta kesenangan birahi silih berganti. Dia terbangun saat matahri telah tinggi. Dia kaget geragapan. Pakde Karto pasti akan marah, pikirnya. Tetapi hal itu tak terjadi. Pakde Karto bersama Rini semalaman merguk kenikmatan madu. Mereka baru usai dan tertidur menjelang subuh. Kini nampak oleh Herman dari balik dinding, isterinya dalam pelukan Pakde Karto meringkuk dalam selimut tebal. Herman yakin mereka sama-sama bertelanjang.
Herman menjerang air untuk membuat kopi. Dia perlu ngopi. Dia juga membuat kopi untuk yang sekarang masih tidur dalam pelukan.
Perpisahan
Akhirnya Herman terbuka pikirannya. Dia akan dan harus meninggalkan Rini. Tak mungkin lagi baginya merintis dan memperbarui hubungan suami isteri dengan Rini. Hal itu dia yakini akan baik untuk dirinya dan juga baik untuk Rini. Dan dia merasa tak perlu bertanya setuju atau tidaknya pada Rini. Keputusan dia memang sepihak, tetapi itu sudah merupakan keputusan final. Mana mungkin, seorang isteri telah melakukan hubungan seksual dengan penuh nikmat dan sukacita, sementara tahu persis suaminya berada di kamar sebelahnya. Apapun alasannya.
Herman juga yakin Pakdenya bisa menerima jalan pikirannya. Dan bahkan mungkin setengahnya bersyukur. Bukankah dia sangat tergila-gila pada Rini. Dan kini kehendaknya telah kesampaian. Dan Pakde Karto menujukkan kepuasannya yang luar biasa. Siapa tahu, Pakde Karto akan meneruskan keinginannya untuk melamar dan kemudian menikahi Rini.
Pagi yang sangat cerah di Villa Rimbun Ciawi yang sejuk. Pagi itu kedua insan yang sedang mengumbar nafsu syahwatnya kembali saling bercumbu. Mereka menikmati udara segar dan cahaya matahari pagi yang hangat. Dengan latar belakang dedaunan pakis, pohon pinus dan gemericiknya kali kecil yang aitnya jatuh ke bebatuan Pakde Karto menuntun Rini ke rimbunan tanaman hias yang penuh bunga. Wewangian bunga-bunga yang warna-warni itu mengantarkan mereka terbang mengawang-awang nikmat syahwat dan birahi tanpa batas. Lama mereka berpagut. Saling kecup dan jilat pada bagian-bagian tubuh mereka yang paling merangsang nafsu dilakukan di kebun indah di belakang villa itu.
Pakde Karto tak puas-puasnya menggeluti Rini yang isteri orang lain itu. Dan sebaliknya Rini yang tak pernah lagi memikirkan Herman suaminya tak lelah-lelahnya melakukan tingkah untuk merangsang syahwat Pakdenya. Dia memang benar-benar perempuan panas yang selalu ingin hubungan seksual dengan lelaki perkasa ini. Dia merasakan betapa Pakde mampu menggali seluruh rahasia nikmat syahwat yang ada pada dirinya. Kini Rinilah yang tergila-gila pada Pakde Karto. Dia bersedia melakukan apapun yang akan diminta Pakde. Bahkan sebagaimana yang kini terjadi. Pakde menggelandang Rini untuk berasyik masyuk di dalam taman Villa Rimbun Ciawi yang sejuk dan indah ini. Mereka kini telah bergulingan di atas matras yang sebelumnya telah disiapkan Herman atas permintaan Pakdenya.
Dan Herman juga baru tahu apa maksud permintaan Pakde Karto untuk menggelar matras tadi. Tetapi Herman sekarang juga bukan Herman yang kemarin. Walaupun di depan matanya kini dia saksikan isterinya Rini bergelut nikmat bersama Pakde Karto, dia tidak lagi terbawa emosi. Yang dia pikirkan sekaranga adalah, "Pergi.., pergi, pergi, pergi, pergi..!!"
Begitulah. Herman telah berketatapan untuk meninggalkan semuanya. Meninggalkan isterinya, meninggalkan Pakde yang telah menghancurkannya dan dia juga akan meninggalkan judi togel. Selamat tinggal masa lalu!
Sementara Pakde bersama Rini sedang mendayung kenikmatan, Herman menyelinap. Dia pergi tanpa pesan.
"Mereka akan tahu, tanpa harus kuucapkan," demikianlah tekad dan keyakinannya.
*****
Puncak, Bogor 2004
Ditulis kembali oleh,
[email protected]
E N D
Ggh