Cerita Dewasa:
Hutang 02
Sambungan dari bagian 01
HUNTING DAYS
Cerita Dewi
Enam belas hari sebelum Deadline..! Saatnya romantisme picisan!
Ini kali kelima pemuda gondrong itu menjemputnya di kampus. Dewi tidak pernah merasakan kebahagiaan serupa selama hidupnya. Bagaimana tidak? Saat ia menelusuri lorong kampus, dari jauh ia sudah melihat Ray menunggu. Seperti layaknya kebanggaan seorang gadis pada kekasihnya, Dewi pun demikian. Hatinya berbunga saat ia menyaksikan pandangan keirian yang dilontarkan gadis-gadis lain saat Ray menggandeng lengannya. Pemuda itu milikku, pikirnya dalam hati, pemuda yang tinggi, berwajah sangar, tapi anggun mempesona. Khas gentleman ala barat.
Sore itu Ray tampak rapih dengan setelan kemeja biru tua kotak-kotak, dan celana teropong hitam kesayangannya. Dalam hatinya berjuta rencana sedang tersusun. Pagi tadi, ia sudah meminta Dewi untuk berdandan secantik mungkin. Kalau perlu, bawa sabun cuci muka, biar nanti siangnya Dewi tetap segar. Hari itu Ray sudah bertekad, sesegera mungkin harus selesai-sebelum Jay.
Tanpa malu-malu, pemuda gondrong itu menggandeng si gadis melintasi kerumunan mahasiswa. Seperti biasa, sikapnya tidak acuh. Beberapa gadis sempat meliriknya mesra beberapa saat sebelum kedatangan Dewi. Namun mereka urusan nanti, pikir Ray, sekarang ia ada misi yang lebih penting. Beat the fisherman contest!
Dewi menurut saja saat Ray menawarkan untuk membawakan tasnya. Mereka lalu berjalan sampai ke lapangan parkir. Tidak berapa kemudian, mereka sudah meluncur di tengah sibuknya lalu lintas.
"Kamu cakep," kata Ray sambil tersenyum, memulai perbincangan.
"Makasih," sahut Dewi dengan wajah memerah, "Kamu juga."
"Aku memang selalu cakep, kok."
"Pede sekali," ucap si gadis sebelum tertawa.
"Aku mau mengajakmu ke suatu tempat."
Dewi menatap pemuda itu dengan rasa ingin tahu.
"Ke mana?" ia bertanya. Ray hanya tersenyum, melirik sekilas.
"Ke sebuah tempat yang istimewa."
"Istimewa?"
"Ya," sahut Ray, lalu pemuda itu menoleh dan tersenyum.
Katanya, "Aku punya dua pilihan untukmu. Yang pertama, kita akan makan di salah satu restoran kegemaranku. Resikonya, nanti aku akan mencium bibirmu di sana."
Dewi menatap pemuda itu dengan heran, sebelum tertawa geli.
"Yang kedua?" tanya gadis itu setelah tawanya reda.
Ray hanya tersenyum, membiarkan kesan dramatis mengalir sejenak sebelum melanjutkan, "Yang kedua, kita ke rumahku. Aku akan siapkan sebuah meja, dengan lilin, lalu hidangan yang sudah kusiapkan sejak pagi tadi. Resikonya? Aku akan mengecup bibirmu, lalu membawamu ke langit untuk bercinta."
Kali ini Dewi benar-benar merasa geli. Ia tertawa terbahak-bahak. Pemuda yang satu ini benar-benar ceplas-ceplos kalau sedang berkata-kata. Betul-betul tanpa tedeng aling-aling (kata orang Jawa). Tapi sesuatu dari pemuda itu, mungkin senyum dan caranya melirik, membuat Dewi tidak dapat marah sama sekali. Malah si gadis merasa debaran yang aneh di dalam dadanya.
"Jadi bagaimana?" tanya Ray kemudian, membuat Dewi sedikit terkejut.
Gadis itu menatap ke luar jendela. Pikirannya menimbang-nimbang sejenak. Pikirnya, aku baru saja mengenal pemuda ini, dan sekarang ia sudah memberikan dua pilihan yang mendebarkan. Ia akan menciumku, sesuatu yang bahkan dikatakannya dengan gamblang. Tengah Dewi kebingungan, ia merasa jemari kiri Ray menggenggam pergelangan tangan kanannya. Ia menoleh dan melihat pemuda itu tersenyum menatapnya.
"Aku tahu," senyum Ray, "Kita ke resto saja."
Dewi mengangguk. Entah mengapa, sebagian kecil dari hatinya memprotes. Tempat yang sempurna, momen yang tepat, adalah senjata rahasia kedua Ray.
Acara makan siang berlalu dengan romantis. Dewi sempat terheran-heran melihat Ray begitu serius saat di rumah makan. Jarang pemuda itu melontarkan banyolan-banyolan segarnya. Tapi dari situ Dewi melihat sesuatu. Ray adalah sosok seorang pemuda yang dapat menempatkan dirinya di mana ia berada. Ia semakin terpesona. Sekejap lalu, sebelum mereka melangkah memasuki rumah makan, Ray masih penuh canda. Tapi setelahnya, ia tampak begitu dewasa.
Mereka berbincang tentang segala hal di sana. Segala sesuatu yang serius, bukan sekedar obrolan omong kosong. Di sana, Ray menanyakan tentang segala kegiatan Dewi, tentang keluarganya, dan tentang penggalan kisah hidup si gadis.
Sore sudah berlalu, saat mereka berdua melangkah keluar dari rumah makan. Ray menggandeng jemari Dewi dengan erat, membuat si gadis merasa hangat mengalir ke seluruh tubuhnya. Sampai di dalam mobil, Dewi berdebar-debar.
Tadi pemuda itu mengatakan hendak mengecupnya. Apakah ia akan melaksanakannya? tanya gadis itu dalam hati.
Ray masuk ke dalam mobil, dan mendapati gadis itu sedang tersenyum memandangnya. Pemuda itu melepaskan rambut yang diikatnya ke belakang beberapa jam lalu. Mengibas-ngibas dengan jemarinya sejenak, sebelum akhirnya menarik senyumnya keluar. Dewi tertawa melihatnya. Ia sadar, bahwa kekocakan itu sudah kembali ke posisinya. Ternyata belum. Tengah ia tertawa, mendadak pemuda itu memajukan tubuhnya. Tidak menempel, hanya mendekatkan wajah, hingga Dewi dapat mencium aroma tembakau dari napasnya.
Ray tersenyum, menatap mata gadis itu dalam-dalam. Pemuda itu tahu, bahwa gadis di hadapannya sedang menunggu. Menunggu dalam kepasrahan.
"Kamu akan marah kalau aku menciummu?" pemuda itu bertanya.
Dewi sedikit sebal. Pemuda itu lagi-lagi menanyakan sesuatu yang tidak dapat dijawab. Bagi seorang gadis, pengakuan atas suatu keinginan adalah suatu hal yang sangat-sangat berat. Dan sekarang, pemuda di depannya menuntut itu. Akhirnya Dewi memilih untuk diam, sebelum malu membakar wajahnya sendiri. Pemuda di depannya tertawa. Hening kemudian.
Suasana mulai gelap saat pemuda itu menunduk dan mengecup bibirnya. Dewi memejamkan mata, menikmati sensasi yang timbul dari kelembutan itu. Ray menempelkan bibirnya di bibir si gadis. Tidak bergerak. Tidak melumat. Hanya menempelkan. Getaran-getaran kecil merambati pori-pori kulit si gadis, tubuhnya bergetar semenit kemudian. Si pemuda lalu menarik sedikit wajahnya.
Masih dengan ujung bibir menempel, pemuda itu berbisik, "Aku sayang kamu."
Dewi membuka matanya, menatap dengan satu arti. "Aku juga sayang."
Gadis itu merasakan tubuh si pemuda bergerak, kembali ke posisinya di belakang kemudi mobil. Dewi kecewa, ia ingin dikecup lebih lama. Ia ingin rasa itu, getaran itu, menghanyutkannya kembali. Tapi pemuda itu malah memasukkan perseneling, menekan pedal gas. Mobil meluncur dalam kesunyian.
"Aku senang, kita ke resto tadi," Ray berkata memecah hening.
Si gadis menatapnya dengan senyum, "Aku juga."
"Bukan itu," kata Ray, "Kalau aku membawamu ke rumah tadi. Mungkin aku akan membuatmu benci padaku seumur hidupmu."
Dewi tidak mengerti. Lalu kata 'bercinta' yang sempat terlontar dari bibir si pemuda melintas.
Dewi menundukkan kepalanya. Sesuatu dalam dirinya berbisik, bahwa ia tidak akan pernah membenci pemuda itu, seandainya hal itu memang akan terjadi.
"Mengapa?" bisikan itu keluar dari bibirnya.
"Siapa tahu nanti aku berniat memperkosamu," Ray berkata.
Dewi mengangkat kepalanya dengan raut heran, lalu melihat cengiran di wajah Ray. Gadis itu tertawa geli. Ada-ada saja, pikirnya.
Tiba-tiba Ray menepikan mobil dan menginjak pedal rem.
"Ada apa, Ray?" tanya Dewi heran.
Ray menetralkan perseneling, lalu menarik tubuhnya ke samping. Sebuah kecupan mendarat di bibir si gadis. Kecupan yang ringan.
Sebelum Dewi membuka matanya kembali, ia mendengar Ray berkata, "Pertama, itu.."
Ketika ia membuka mata, pemuda itu terlihat sibuk melepas sepatu kulitnya.
"Lalu kedua, ini.. sial benar..," Ray berkata, seraya menggaruk telapak kakinya dengan gaya gemas. Dewi memandang terheran-heran.
"Sori, jempolku lagi birahi," gumam si pemuda tanpa menoleh.
Gadis itu tertawa terbahak-bahak. Jauh di dalam hatinya ia merasa hangat. Tergoda.
***
A Fish called Shinta
Hari ketujuh belas sebelum Deadline
Pemuda gondrong berjaket kulit itu melangkah cepat. Bibir hitamnya berkemik-kemik, menyedot sigaret kretek yang terselip di ujung bibirnya. Langkahnya terhenti di ujung sebuah anak tangga. Menatap arloji di pergelangan tangannya seraya tersenyum-senyum. Lima menit lagi, batinnya senang. Dengan satu gerakan cepat, ia membuka ritsleting jaket kulitnya dan meraih sesuatu dari dalam saku. Lalu menggigitnya di sela-sela gigi. Sebatang mawar merah darah.
Tepat lima menit kemudian, bel usai kuliah berbunyi nyaring, disusul derap riuh langkah kaki di ujung lain tangga. Ia tetap berdiri tegak, seolah tidak perduli dengan berpasang mata yang berlalu di sekitarnya dengan tatapan heran. Yang lain hanya ngontrak! Dan gadis yang ditunggunya, telah berdiri di hadapannya dalam jarak sepuluh anak tangga, dengan mata terbelalak kaget.
Ragu-ragu, si Gadis melangkah perlahan. Si Pemuda gondrong hanya bisa meringis, seraya mengedipkan sebelah mata.
"Jay? Kamu, eh.. ka-kamu ngapain?" sedikit terbata gadis itu.
Pemuda itu, Jay, melepaskan gigitannya, lalu menyodorkan mawar merah darahnya.
"Buat kamu, dari aku."
Gadis itu sedikit gemetar, mengulurkan tangan menerima. Dan bunga itu pun berpindah tangan.
Sontak, bergemuruh tepuk tangan dan celotehan usil. Teman-teman si Gadis ternyata telah bergerombol menonton 'adegan dramatis' itu sejak tadi. Si Gadis tidak kuasa menahan gelombang perasaannya yang bergantian muncul. Malu, jengah, senang, dan juga tersanjung. Seumur hidup, belum pernah ada laki-laki yang memperlakukannya sedemikian rupa. Ia hanya tertunduk, dengan wajah memerah bagai kepiting rebus. Tinggal disantap!
Pemuda itu meringis riang, ia terlihat begitu tenang dan tidak perduli pada situasi di sekitar mereka yang masih riuh-rendah oleh suara-suara nakal warga Kampus Merah. Dasar sirik!
"Heii, Shinta..?"
Gadis itu mengangkat wajahnya yang masih kemerahan.
"Hmm?" Hanya itu yang bisa keluar dari bibir indahnya.
"Cabut yuk!"
Berkata begitu, Jay langsung menggenggam jemari si Gadis dan menariknya lembut.
Gadis yang dipanggil Shinta hanya menurut saja. Ia merasa seluruh tubuhnya seolah tidak bertulang. Jemarinya yang digenggam si Pemuda dialiri keringat dingin. Mereka berlalu, dengan iringan tepuk tangan para pemirsa tercinta. Kali ini lebih kencang dari yang pertama.
Bersambung ke bagian 03