kamu melihat pesan ini karena adblocking menyala sehingga keseluruhan koleksi kami sembunyikan. kamu berusaha menghilangkan iklan maka kami juga akan menutup seluruh koleksi
klik cara mematikan ADBLOCK
selalu guna GOOGLE CHROME serta Download free VPN tercepat
UC Browser, Operamini, dan browser selain google chrome yang tidak mematikan ad blocking menggunakan panduan di atas tidak akan dapat melihat content, harap maklum
Bokep Viral Terbaru P1 Hijab Montok Sepong Dientot Kontol Kecil Pendek 1 PEMERSATUDOTFUN

P1 Hijab Montok Sepong Dientot Kontol Kecil Pendek 1

Tidak ada voting
Hijab, Montok, Sepong, Dientot, Kontol, Kecil, Pendek
P1 Hijab Montok Sepong Dientot Kontol Kecil Pendek 1
video tak dapat diputar? gunakan google chrome, matikan adblock, gunakan 1.1.1.1
untuk menonton konten Hijab, Montok, Sepong, Dientot, Kontol, Kecil, Pendek yang ada pada kategori JILBAB published pada 2 November 2024 sila click button Download lalu click STREAMING di atas untuk menyaksikan streaming P1 Hijab Montok Sepong Dientot Kontol Kecil Pendek 1 secara free, dapat pula click STREAMING 1 etc button di bawah player. jangan lupa di fullscreen agar iklannya tidak muncul, jika keluar jendela iklan cukup tutup sahaja
Advertisement
klik foto untuk besarkan saiz dan semak halaman seterusnya

Daftar Foto :


Cerita Dewasa:


Eksanti, Proposal yang Tertunda - 2


Aku kemudian bangkit berdiri, tatapan Eksanti jatuh ke bagian bawah pusarku yang sudah membengkak dan menonjol, tak mampu tertutupi oleh longgarnya kain celanaku. Sesaat kemudian sambil tersenyum Eksanti menjulurkan tangannya sebagai tanda memintaku untuk membantunya berdiri. Dengan sigap aku menarik kedua tangannya. Eksanti bangkit perlahan, dan disaat belum berdiri secara sempurna, dengan sengaja aku perkuat tarikan tanganku. Eksanti menjerit lirih karena terkejut dan tak pelak lagi ia terhuyung-huyung dan jatuh ke dalam pelukanku. Wajahnya hanya sesenti nyaris bersentuhan dengan wajahku.

"Sorry, terlalu keras nariknya", bisikku perlahan sambil tersenyum.
"Mas, nakal icchh..!", sahutnya lirih sambil memukul dadaku perlahan.
"Masih ada yang lebih nakal lagi", kataku dengan nada menggoda dan menatap tajam matanya.
"Ap..", belum selesai ia berbicara kukecup perlahan bibirnya. Lalu dengan tiba-tiba aku memeluk erat tubuhnya.
Eksanti berteriak "Jangan Mas.., jangan.. please.. jangan".

Aku tetap bertahan mendekapnya, sambil berusaha menjilati leher jenjangnya. Eksanti meronta-ronta pelan berusaha melepaskan pelukanku, tetapi aku sadar sepenuhnya bahwa Eksantipun bisa menikmatinya.
"Mas, jang.. ngan.. disinii.., please.. nanti ada orang..", ucapnya terbata-bata, kedua alis matanya berkerut.
"Ssstt..", sahutku perlahan sambil menutup bibirnya dengan jari telunjukku.
Aku tatap terus wajahnya, ia pun balas menatap. Tak lama kemudian aku melihat sinar matanya mulai meredup dan semakin meredup, kemudian terpejam, bibirnya merekah. Aku dekatkan bibirku perlahan-lahan ke bibirnya, aku biarkan hanya nyaris menyentuh, hanya beberapa milimeter dari bibirnya. Aku nikmati kehangatan napas harum yang keluar dari mulutnya, aku hirup perlahan. Eksanti membuka sesaat kedua matanya, kemudian terpejam kembali. Tangannya meraih leherku dan menariknya, bibirnya melumat bibirku.

Rontaannya semakin melemah ketika aku menyusupkan tangan kananku kedalam belahan blouse bajunya. Jemariku meraba dengan lembut gundukan kecil dibalik behanya.





"Occh.. Mas..", Eksanti mendesah pelan sambil berusaha melepaskan rontaannya.
Pelan-pelan Eksanti semakin menikmati cumbuanku, bibirku yang sedari tadi mengecup-ngecup leher jenjangnya kini kembali mengecup mesra bibirnya. Sesaat pandangan mata kami beradu lagi, lalu Eksanti memejamkan matanya seolah-olah makin memberikan keleluasaan padaku untuk mencumbuinya lebih jauh. Jemari tanganku masih tetap memilin-milin puting kanan dan kirinya yang kini telah mulai mengeras. "Sshh..sshh..", Eksanti mendesis sambil mengatupkan bibirnya menahan rasa nikmat itu.

Cukup lama kami dengan bernafsu saling melumat bibir, hingga nafas kami terengah-engah. Ciuman kami terlepas, kemudian perlahan aku dorong tubuhnya hingga tersandar di dinding lemari itu. Aku tatap lagi wajahnya, tak lagi ada tanda-tanda penolakan. Perlahan tanganku bergerak ke atas. Aku melepas satu kancing bajunya, mataku tetap menatapnya. Masih tetap tidak ada tanda-tanda penolakan, aku lepas satu lagi, tiga kancing bajunya terlepas sudah. Kedua tangannya bergerak menumpang pada bahuku dan meremasnya.

Pelan-pelan aku membuka sedikit blouse yang sudah terlepas kancingnya itu dan aku turunkan sedikit badanku hingga bibirku menyentuh pangkal dadanya. Napas Eksanti semakin memburu. Aku turunkan lagi badanku, hingga wajahku persis di hadapan dadanya. Aku melihat ada gesper di bagian depan BH hitam yang dipakainya. Perfecto! Kulepas gesper itu dan aku lepaskan pula tali dibahunya. Toketnya yang putih itu segera menyembul keluar. Dua tonjolan bukit indahnya seolah menantangku untuk mengecupinya, dan bibirkupun menuju ke sana. Lidahku menjilati ujung-ujung putingnya bergantian kiri dan kanan.

Aku mendongakkan wajahku untuk menatap ekspresi wajahnya dan Eksanti tampak merundukkan kepalanya memandangi ulahku. Masih tidak ada tanda-tanda penolakan. Tanganku bergerak turun, meraba kedua pahanya. Sambil mengangkat kembali badanku, aku mengangkat kedua tanganku bergerak naik menyibakkan rok mini yang dikenakannya. Tanganku lebih naik lagi ke atas hingga terhenti pada bukit pantatnya.
"Hmm, that's must be G-string", pikirku menebak jenis celana dalam yang dikenakannya, karena kurasakan kedua telapak tanganku terasa hangat menyentuh bongkahan daging padat nan kenyal pada pantatnya, tak ada yang menghalanginya.
Tanganku lalu beralih ke depan meraba-raba lembut paha mulusnya dan sesaat kemudian telah berada di sekitar bulu-bulu lembut di atas kewanitaannya. Aku merasakan celana dalamnya telah membasah oleh cairan nikmatnya, dan hal itu semakin memacu detak jantungku.
"Occhh.. Mass.. enakk.. Mas..", Eksanti bergumam pelan.

Aku menaikkan kembali badanku, sementara tanganku masih beraksi di bawah sana. Kini wajahku berhadapan lagi dengan wajah cantik Eksanti. Kepalanya tersandar pasrah di dinding lemari abu-abu. Kedua matanya meredup menatapku. Aku meremas perlahan bongkahan pantatnya dan bibirnya pun merekah. Terdengar rintihan halus dari dalam mulutnya. Aku mengecup lehernya, Eksanti mendesah. Kecupan bibirku berubah menjadi lumatan dan bergerak ke bawah dan semakin ke bawah, menelusuri pangkal dadanya, lebih ke bawah lagi, menuju ke satu arah, puting susunya yang sudah runcing mengeras dengan lingkaran merah kecoklatan di sekelilingnya. Ketika bibirku mencapai lubang air susu di ujung putingnya, kembali ia merintih. Aku mengulumnya perlahan-lahan di dalam mulutku, sementara lidahku bergerak menyentuh-melumat daging kenyal itu, kemudian sesekali menjentik-jentikkannya. Kedua tangan Eksanti bergerak meremas-remas rambutku dan rintihannya berubah menjadi erangan kenikmatan.

Sambil tetap melumati puting toketnya, aku membantu Eksanti agar tetap berdiri bersandar di depan lemari dan aku mulai menyingkapkan rok hitamnya. Lalu aku berjongkok di antara kedua kaki Eksanti, dan ia dengan tegang menunggu saat-saat datangnya pelayanan istimewa dariku. Sesaat mataku melihat jelas celana dalam satin warna hitamnya yang menutup gundukan rambut-rambut halus di pangkal pahanya. Inilah permainan pembukaan yang selalu dinanti Eksanti dengan penuh antusias. Belum apa-apa, Eksanti sudah bergidik menahan geli yang akan segera datang. Aku pun menciumi paha yang mulus ditumbuhi bulu-bulu halus itu, membuat Eksanti mengerang pelan. Apalagi kemudian Aku mulai menjilati pahanya, menelusuri bagian bawah lututnya. Eksanti menggelinjang kegelian.

Aku menjilati paha mulusnya sambil menciumi celana dalamnya yang semakin membasah bercampur dengan air liurku. Eksanti merasa pahanya bergetar lembut ketika lidahku mulai menjalar mendekati selangkangnya. Panas dan basah rasanya lidah itu, meninggalkan jejak sensasi sepanjang perjalanannya. Aku menggigit karet celana dalamnya dan berusaha melepaskannya dengan gigiku. Hidungku mencium aroma harum cairan nikmatnya", Occhh.. harum sekali baunya", aku berkata dalam hati. Celana dalamnya kini telah merosot turun ke arah lututnya dan terlihat jelas olehku, gundukan kewanitaan indahnya yang berwarna coklat kehitaman, kontras dengan warna paha putihnya.

Eksanti menggeliat kegelian ketika akhirnya lidah itu sampai di pinggir bibir kewanitaannya yang telah terasa menebal. Ujung lidahku menelusuri lepitan-lepitan di situ, menambah basah segalanya yang memang telah basah itu. Terengah-engah, Eksanti mencengkeram rambutku dengan satu tangan, perlahan menekan -memaksa- aku segera menjilatnya di daerah yang paling sensitif. Tak ayal lagi aku menciumi kewanitaannya dengan ganas sambil berusaha menyelipkan lidahku yang basah di sela-sela bibir kewanitaannya yang mulai memerah.

Dengan satu tangan lainnya, Eksanti menguak lebar bibir-bibir basah di bawah itu, memperlihatkan liang kemerahan yang berdenyut-denyut, dan sebuah tonjolan kecil di bagian atas yang telah mengeras. Lidahku menuju ke sana, perlahan sekali.. Sesekali aku rasakan lidahku menyentuh-nyentuh tonjolan kecil merah diselah-sela bibir kewanitaannya itu. Aku menjilat bagian kecil yang menonjol itu, menekan-nekan dengan ujung lidahku, memutar-mutar sambil menggelincirkannya. Setiap kali aku mengecupi tonjolan yang semakin menengang keras itu, Eksanti menjerit tertahan dan mengelinjang-gelinjang nikmat sambil meremasi rambut kepalaku. "Enakk.. Mass.. teruss.. Mas..!", Eksanti berteriak-teriak kecil sambil menekan-nekankan kepalaku lebih dalam ke arah kewanitaannya.

Geli sekali rasanya, ia sampai menggeliat mengangkat pantatnya, menyorongkan lebih banyak lagi kewanitaannya ke mulutku. Serasa seluruh tubuhnya berubah menjadi cair, menggelegak bagai lahar panas. Aku kini menghisap-hisap tonjolan yang seperti sedang lari bersembunyi di balik bungkus kulit kenyal yang membasah itu. Tubuh Eksanti berguncang di setiap hisapan, sementara mulutnya tak berhenti mengerang. Terlebih-lebih ketika satu jariku menerobos liang kewanitaannya, lalu mengurut-urut dinding atasnya, mengirimkan jutaan rasa geli bercampur nikmat ke seluruh tubuh Eksanti. Kedua kakinya yang indah terbuka lebar, terkuak sejauh-jauh mungkin, karena Eksanti ingin aku menjelajahi semua bagian kewanitaannya. Semuanya!

Maka akupun segera melakukan keinginannya. Aku tidak hanya menjilat dan menghisap, tapi juga menggigit pelan, memutar-mutarkan lidahku di dalam liang yang panas membara itu, mendenguskan nafas hangat ke dalamnya, membuat Eksanti berguncang-guncang merasakan nikmat yang sangat. Dua jariku kini bermain-main di sana, keluar-masuk dengan bergairah, menggelitik dan menggosok-gosok, menekan-nekan dan mengurut. Cairan-cairan hangat memenuhi seluruh kewanitaan Eksanti, mulai membasahi bibir dan daguku. Jari-jari yang keluar-masuk itu pun telah basah, menimbulkan suara berkecipak yang seksi. Eksanti menggelinjang tak tahan lagi, merasakan puncak birahi akan segera melanda dirinya. Matanya terpejam menikmati sensasi yang meletup-letup di sela-sela pahanya, di pinggulnya, di perutnya, di dadanya, di kepalanya, di mana-mana!

Aku merasakan kewanitaan Eksanti berdenyut liar, bagai memiliki kehidupan tersendiri. Warnanya yang merah-basah, kontras sekali dengan rambu-rambut hitam di sekitarnya, dan dengan tubuhnya yang putih seperti pualam. Dari jarak yang sangat dekat, aku dapat melihat liang kewanitaan Eksanti membuka-menutup dan dinding-dindingnya berdegup-berdenyut, sepertinya jantung manusia.
Ia mengerang, menggelinjang, "Ooch.., Mas, teruss.. occhh..," ia berbisik gelisah.
Rasanya lama sekali, membuat Eksanti bagai layang-layang yang sedang diulur pada saat seharusnya ditarik. Eksanti mati angin. Tak berdaya, tetapi sekaligus menikmati ketak-berdayaan itu.

Semenit telah berlalu lau tiba-tiba.. "Auughh.. occhh..", Eksanti mendesah panjang ketika aku rasakan sampainya dirinya pada pucak kenikmatannya yang pertama, sembari tangannya meremas kasar rambut kepalaku.
Aku bisa melihat betapa otot-otot di pangkal paha Eksanti menegang seperti sedang menahan sakit. Kedua kakinya terentang dan sejenak kaku sebelum akhirnya melonjak-lonjak tak terkendali. Aku terpaksa harus memakai seluruh bahu bagian atasnya untuk menekan tubuh Eksanti agar tak tergelincir jatuh. Begitu hebat puncak birahi melanda Eksanti, sampai hampir dua menit lamanya perempuan yang menggairahkan ini bagai sedang dilanda sakit ayan. Ia menjerit, lalu mengerang, lalu menggumam, lalu hanya terengah-engah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.